Publik
Indonesia kembali geger setelah muncul video viral Ustadz Abdul Somad (UAS)
yang dinilai telah menghina agama Kristen. Ketika beberapa eleman masyarakat
dari kelompok agama tertentu mempersoalkan UAS dengan video tersebut, Sang
Ustadz membuat pembelaan. Dikatakan bahwa video tersebut merupakan ceramah
keagamaan yang disampaikan kepada kalangan terbatas, bukan bersifat publik dan
bahwa ceramah itu sudah dilakukan 3 tahun lalu. Sang Ustadz sendiri mengaku
dirinya tak salah (jadi, yang disampaikannya itu adalah benar), sehingga tak
perlu merasa minta maaf. Justru yang salah adalah yang menyebarkan video itu.
Orang
yang masih punya (otak) akal budi tentu akan tertawa menilai pembelaan seperti
itu. Persoalan video itu bukan terletak pada kepada siapa ceramah itu
disampaikan atau kapan dan dimana disampaikan, tetapi isi ceramah itu yang
dinilai telah melecehkan agama Kristen. Jadi, pembelaan yang dilakukan tidak
menyentuh isi ceramahnya. Yang waras mungkin akan bertanya, apakah jika
disampaikan untuk jemaah terbatas orang bebas menghina, menghojat dan menista
pihak lain?
Terlepas
dari masalah itu, kasus ini dapat ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, bagaimana menyikapi persoalan
penghinaan agama dalam ceramah keagamaan; kedua,
siapa korban dari video viral UAS; dan ketiga,
sikap umat Kristen (katolik dan protestan) dalam hal ini. Mari kita lihat
satu per satu.
Pertama, masalah ujaran kebencian dan penghinaan memang sudah diatur dalam
undang-undang. Bahkan pihak kepolisian menambah dengan surat edaran no.SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Dalam surat edaran itu,
disebutkan tujuan dari peraturan ini. Salah satunya adalah demi terpeliharanya
kerukunan hidup berbangsa dan bernegara yang berbhineka tunggal ika serta
melindungi keragaman kelompok dalam bangsa. Namun ada satu topik ujaran
kebencian yang penanganannya akan menemukan kesulitan, yaitu ceramah keagamaan.
Pada poin 2 (g) surat
edaran Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian dikatakan bahwa ujaran
kebencian itu bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap orang
dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan beberapa aspek, salah satunya adalah
agama. Dan poin 2 (h) dijelaskan
cara penyampaian ujaran kebencian itu, yang di antaranya adalah ceramah keagamaan. Jadi, ujaran
kebencian itu bisa terjadi lewat ceramah keagamaan yang menyulut rasa benci
kepada sekelompok agama tertentu.
Persoalan adalah apakah ceramah keagamaan yang menyampaikan ajaran
agama bisa dimasukkan dalam kasus ujaran kebencian atau penistaan? Ada banyak
ajaran islam, yang ada dalam Al-Quran bersinggungan dengan agama lain, yang
jika dilihat dari sudut pandang tertentu akan dinilai melakukan penistaan. Misalnya,
ketika membahas surah An-Nisa: 157, mau tidak mau si penceramah (ustadz atau
da’i) akan mengatakan bahwa Yesus itu tidak pernah disalibkan di kayu salib.
Yang mati di kayu salib itu adalah orang yang menyerupai Yesus. Atau ketika
membahas surah Al-Maidah: 41, mau tak mau penceramah akan mengatakan bahwa
Alkitab sudah dipalsukan. Bukan tidak mungkin penceramah juga akan mengutip
surah Al-Baqarah: 75 untuk semakin menguatkan argumennya.
Demikianlah
halnya dengan kasus UAS. Tentulah hal ini menjadi kesulitan tersendiri. Rasanya tak mungkin menjerat si penceramah atau UAS yang tengah
menyampaikan ajaran agamanya. Menjerat mereka dengan jerat ujaran kebencian
sama saja berarti penjerat ajaran agamanya. Apakah ini bukan merupakan
penistaan terhadap agama islam? Bukan tidak mustahil, umat islam akan melakukan
demonstrasi dan melihat hal tersebut sebagai kriminalisasi ustadz.
Aspek
kedua sebenarnya adalah siapa yang
dihina oleh UAS dalam video viralnya tersebut: apakah orang Kristen atau
dirinya atau umat islam? Sekilas orang akan mengatakan bahwa ceramah keagamaan
yang disampaikan UAS dalam video tersebut jelas-jelas menghina agama Kristen,
karena yang dibahas adalah salib. Sangat menarik menyimak kata-kata seorang
pendeta yang menanggapi kasus ini. Dia mengatakan UAS mengatakan hal tersebut
karena dia tidak tahu apa-apa soal salib Kristus (atau memang demikian ajaran
islam?). Soal penghinaan, agama Kristen sudah terbisa. Karena itu, Persekutuan
Gereja tak setuju ucapan UAS dibawa ke ranah pidana.
Jadi,
orang Kristen sebenarnya tidak ambil pusing dengan persoalan yang ditimbulkan
dari pernyataan UAD itu. Orang Kristen, baik katilik maupun protestan, sudah
terbiasa dihina, bahkan Tuhannya pun dihina, tapi malah mengampuni. Berbeda dengan
islam, yang wajib membela jika agamanya dihina. Jika orang Kristen merasa tidak
tersinggung, lantas siapa yang telah dihina lewat pengajaran UAS itu? Ada adagium:
hanya yang hina dapat menghina. Dari
adagium ini dapatlah ditarik kesimpulan siapa korban dari pernyataan UAS dalam
video viral tersebut. Tentulah pembaca dapat mengetahuinya. Satu hal yang dapat
dipastikan adalah tidak ada sikap menghargai dan menghormati.
Bagaimana
sikap orang Kristen (protestan dan katolik) terhadap pernyataan UAD tersebut? Kami
pernah membuat tulisan terkait penghinaan agama, dengan judul tulisan Bagaimana Umat Kristen Menyikapi Penistaan Agama dan Sikap Orang Katolik terhadap Non Katolik (untuk membacanya, silahkan klik pada judulnya). Pada prinsipnya,
umat kristiani tidak akan ambil pusing berhadapan dengan penghinaan yang
dialamatkan kepada atribut agamanya (tidak seperti umat islam). Dasarnya adalah
pada ajaran agamanya. Baik umat protestan maupun katolik, sama-sama diajarkan
untuk mengampuni, mengasihi, mendoakan dan
memberkati. Semua itu sesuai dengan
apa yang diajarkan dan diteladankan oleh Yesus Kristus, yang justru sering
dihina, bahkan termasuk dalam ceramah UAS.
Karena
itu wajar bila Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) menghimbau dan meminta umat
kristiani tidak terpancing dan tersulut emosi terkait dengan ceramah keagamaan
UAS. Mereka juga tak setuju jika persoalan ini dibawa ke ranah pidana.
Lantas,
kenapa ada kelompok agama yang tetap membawanya ke ranah hukum? Pertama-tama,
kita harus menghargai tindakan mereka, yang mungkin saja menghormati jalur hukum.
Dasarnya adalah, negara ini adalah negara hukum. Siapa saja yang berbuat salah
harus berhadapan dengan hukum. Tidak ada yang kebal terhadap hukum. Jadi,
tindakan mereka ini mungkin hendak menguji sejauh mana hukum itu menjadi
panglima di negara ini.
Akan
tetapi, tindakan mereka itu sama sekali tidak mewakili umat kristiani dan bukan
juga sesuai dengan ajaran agamanya (beda dengan umat islam). Tindakan mereka
yang hendak melaporkan UAS ke kepolisian semata-mata hanya didasarkan pada hukum.
Jadi, jika memang masalah ini sudah sampai ke ranah hukum, maka “bola liar” ada
di tangan aparat penegang hukum. Di sini aparat hukum akan menghadapi situasi dilema
(seperti yang sudah kita bahas di atas). Mempersoalkan ceramah keagamaan UAS
sama saja dengan menghina agama islam dan ustadz. Dan hal ini tentu akan
menimbulkan persoalan sosial lainnya, yaitu gelombang Aksi Bela Islam, seperti
yang terjadi dengan kasus Ahok. Akan tetapi, jika tidak mempersoalkan (artinya,
hukum tidak ditegakkan dengan tegas), maka selalu akan muncul persoalan serupa
dikemudian yang tak akan dapat ditangani.
Jadi,
apa yang harus dilakukan? Ini merupakan tugas kita semua. Bukan hanya aparat hukum
dan aparat pemerintahan saja, melainkan juga semua warga masyarakat. Semua kita
harus kembali menyadari bahwa negara ini tidak dibangun oleh dan untuk satu
kelompok agama saja, melainkan untuk semua orang yang mencintai Indonesia. Dengan
adanya kesadaran itu, maka akan terbangunlah sikap saling menghormati dan
menghargai.
Batam,
21 Agustus 2019
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar