Rabu, 30 Mei 2018
Senin, 28 Mei 2018
BELAJAR DARI KELUARGA KUDUS – 2

Minggu lalu kita sudah melihat 3 teladan dari keluarga kudus
untuk keluarga-keluarga katolik. Ketiga teladan itu adalah kesediaan untuk mendengarkan, perhatian serta menjaga dan melindungi. Sekarang kita akan melihat teladan lainnya.
Dalam Lukas 2: 22 – 40 terdapat begitu banyak teladan dari
keluarga kudus. Menghantar anak kepada
Allah. Yosef dan Maria bersama-sama membawa Yesus yang masih bayi ke Bait
Allah. Mereka tidak pergi sendiri-sendiri, tapi bersama. Di sini terungkap juga teladan lain, yaitu taat pada perintah Tuhan;
mempersembahkan Yesus sesuai perintah Allah. Pada ayat 40 tersirat teladan
Yosef dan Maria terhadap Yesus, yakni mendidik, merawat dan menjaga. Teladan
inilah yang membuat Yesus “bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat dan
kasih karunia Allah ada pada-Nya.”
Ada bersama. Sikap ada bersama sepertinya begitu mewarnai
kehidupan keluarga kudus. Yosef selalu berada bersama Maria sejak hamil. Ketika
menghadapi ancaman, Yosef juga ada bersama keluarganya. Saat Yesus tidak ada
bersama waktu pulang dari Bait Allah, Yosef ada bersama Maria mencari anak
mereka. Mereka tidak saling lempar kesalahan. Bahkan, ketika Yesus memanggul
salib ke Golgota dan kala tergantung di salib, Maria ada bersama Dia (Yosef
sudah meninggal terlebih dahulu).
Berserah diri. Keluarga kudus adalah
keluarga yang penuh bersyukur. Apapun yang terjadi, mereka berserah diri kepada
kehendak Allah. Sikap ini terungkap dalam spiritualitas Maria, “Aku ini hamba
Tuhan, jadilah padaku menurut kehendak-Mu”. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya,
sikap ini juga tampak dalam diri Yesus (Mrk 14: 36).
Demikianlah beberapa teladan keluarga kudus yang dapat
diterapkan dalam keluarga-keluarga katolik. Masih ada banyak teladan keluarga
kudus, yang ada dalam Kitab Suci. Dengan membaca Injil, umat dapat menemukan
teladan lainnya.
by: adrian
Jumat, 25 Mei 2018
MUNGKINKAH TERORISME DIBASMI SAMPAI KE AKAR-AKARNYA?
Kamus
Besar Bahasa Indonesia Online mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan
kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan. Sedangkan
Wikipedia mengartikan terorisme sebagai serangan-serangan terkoordinasi yang
bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda
dengan perang, terorisme tidak tunduk pada tata aturan perang.
Untuk
saat ini, terorisme selalu dikaitkan dengan perjuangan dengan kekerasan untuk
mencapai cita-cita yang didasarkan pada ajaran agama. Sepertinya hanya agama
islam selalu dikaitkan dengan tindakan terorisme, bukan cuma karena semua
pelaku teror beragama islam tetapi juga karena ajaran agamanya. Para pelaku teror
ini mendasarkan tindakannya pada ajaran agama.
Tentulah
semua negara tidak menghendaki adanya teroris di negaranya. Bangsa Indonesia,
ketika dilanda badai teroris, berusaha untuk melawan terorisme. Ada tekad untuk
memberantas terorisme ini hingga ke akar-akarnya. Dengan kata lain, terorisme
akan ditumpas hingga tuntas. Perlu diketahui bahwa terorisme yang kini melanda
Indonesia adalah terorisme yang mengatas-namakan agama, yaitu agama islam.
Jadi, bila dikatakan terorisme, maka selalu merujuk pada islam radikal.
Menjadi
pertanyaan, mungkinkah terorisme ditumpas sampai ke akar-akarnya?
Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa
yang menjadi sumber ideologi terorisme tersebut. Dalam islam aksi terorisme
dapat dipahami atau sedikit disamakan dengan konsep jihad. Memang konsep jihad
ini akan berbeda-beda pemahamannya antara islam moderat dan islam radikal. Kita
tak perlu masuk dalam perdebatan ini. Yang penting kita tahu bahwa ada
kecocokan antara jihad dan terorisme, dalam kacamata islam radikal.
Nah,
dari mana sumber ajaran jihad yang bisa dijadikan ideologi terorisme itu?
Jawabannya singkat: Al-Qur’an. Dalam Kitab suci umat islam ini terdapat ajaran
bagi umat islam untuk melaksanakan jihad. Berikut ini beberapa surah jihad atau
dikenal juga sebagai ayat-ayat pedang, yang selalu dijadikan dasar aksi
terorisme (kutipan al-qur’an diambil dari
dudung net).
Rabu, 23 Mei 2018
Tanya - Jawab Modul IV Pertemuan Jambore OMK Koba
OMK
Koba, dibantu para Tim Pendamping OMK, mengadakan jambore OMK di Lingku pada 16
– 18 Maret 2018. Karena konsep jambore lebih pada have fun, maka pendalaman materi dilakukan pada pra-jambore. Di sini
para peserta akan dibagi ke dalam kelompok kecil ( 5 – 7 orang) untuk mendalami
modul yang telah disiapkan. Ada empat modul dengan empat pertemuan. Modul keempat
bertema, “Aku Kristen, Aku Katolik; Kenapa Konflik”. Pada setiap pertemuan
modul ada kesempatan diberikan kepada peserta untuk bertanya, malah pertanyaan
itu berhadiah. Tekanan utama pada kesempatan ini ada pada pertanyaannya, bukan
pada jawaban, karena sasarannya adalah timbulnya daya kritis peserta. Berikut
ini tanya jawab modul pertemuan keempat (untuk pertemuan ketiga silahkan baca
di sini).
T
|
Apa arti Gereja
sesungguhnya?
|
J
|
Ada
banyak arti dari “Gereja” itu. Gereja bisa diartikan dengan gedung atau rumah
Tuhan, tempat beribadah. Gereja juga dapat diartikan sebagai lembaga rohani
yang menyalurkan kebutuhan spiritual umatnya. Gereja adalah juga kumpulan
umat pilihan yang dikhususkan Allah untuk diselamatkan.
Kitab
Suci melihat Gereja sebagai umat atau jemaat Allah; Tubuh Kristus dan Bait
Roh Kudus. Lebih jauh soal ini, silahkan baca di “Pengertian Gereja dalam Kitab Suci”. Baca juga "Arti dan makna Gereja".
|
T
|
Kenapa masih ada
konflik antar umat dlm satu Gereja?
|
J
|
Akarnya
adalah tidak ada kasih. Dengan kata lain, umat tidak melaksanakan apa yang
diperintahkan Yesus. Karena, jika perintah kasih diwujud-nyatakan, maka bisa
dipastikan tidak ada konflik. Sebab, jika ada perselisihan, kasih mengajak
kita untuk saling mengampuni, bersikap lemah lembut, dll.
Menurut
Rasul Paulus, konflik yang terjadi pada umat mau menunjukkan bahwa umat masih
sebagai manusia duniawi (1Kor 3: 3). Paulus mau supaya umat tampil sebagai
manusia rohani. Karena itu, Paulus pernah berkata, “Marilah kita hidup dengan
sopan, seperti pada siang hari, .... jangan dalam perselisihan dan iri hati.”
(Rom 13: 13)
|
T
|
Bagaimana cara kita
bisa menyakinkan diri sendiri agar iman kita bisa tumbuh?
|
J
|
Salah
satu sikap iman adalah sikap berserah. Melihat semua peristiwa yang terjadi
dalam hidup, entah sesuai atau tidak, dalam kacamata iman dengan
menyerahkannya kepada kehendak Allah. Sikap ini sangat bagus dicontohkan oleh
Bunda Maria dan Tuhan Yesus. Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu
|
T
|
Dengan apa iman itu
dapat dibentuk? |
Senin, 21 Mei 2018
BELAJAR DARI KELUARGA KUDUS – 1
Keluarga kudus itu adalah Yosef, Maria dan Yesus. Mereka ini
dijadikan contoh keluarga ideal. Orang katolik yang menikah diajak untuk
membangun rumah tangga dengan semangat yang dimiliki oleh keluarga kudus. Apa
saja yang harus diikuti?
Kesediaan untuk
mendengarkan. Matius 1: 18 – 24 menampilkan teladan Yosef yang mau
mendengarkan suara Tuhan. Yosef tidak mengikuti egonya. Sikap ini juga tampak
dalam diri Yesus (Lukas 2: 41 – 52). Sikap mau menang sendiri sering menjadi
akar konflik rumah tangga. Sebagai pemimpin rumah tangga, seorang suami
biasanya lebih suka didengarkan, dan tak mau mendengarkan. Karena itu, tak
salah jika para suami mau bersikap seperti Yosef, untuk mau juga mendengarkan
suara dari luar dirinya. Dengan kesediaan untuk mendengarkan, konflik tidak
akan terjadi.
Perhatian. Lukas 2: 41 – 51
menampilkan sikap perhatian Yosef dan Maria kepada Yesus, anak mereka. Mereka
begitu peduli, dan kepedulian itu mereka wujud nyatakan. Mereka tahu Yesus
tidak ada, dan langsung mencarinya. Mereka tidak membiarkan Yesus tumbuh
berkembang begitu saja.
Menjaga dan melindungi. Matius 2: 13 – 15 dan
19 – 23 menampilkan teladan Yosef yang setia menjaga dan melindungi keluarganya
dari kejahatan. Dia tidak mau membiarkan keluarga, khususnya putranya, mendapat
celaka. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh buruk di luar rumah tangga yang
berusaha menghancurkan keluarga. Pengaruh buruk itulah yang harus dihindari,
dan ini menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua.
Demikianlah beberapa teladan keluarga kudus yang dapat
diterapkan dalam keluarga-keluarga katolik.
by: adrian
Jumat, 18 Mei 2018
FENOMENA TERORIS SATU KELUARGA: INI MOTIVASI PARA TERORIS
Sejak
kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua, 9 Mei lalu, sejumlah aksi terorisme
terjadi secara simultan. Hari Minggu, 12 Mei ada aksi teroris di Cianjur, di
tiga lokasi gereja di Surabaya, dan di Sidoarjo. Keesokan harinya Surabanya
kembali diguncang aksi teror. Kali ini terjadi si Malpotabes Surabaya. Hingga
sehari menjelang Bulan Suci Ramadhan, masih terjadi beberapa aksi teror di
daratan Sumatera.
Indonesia
memang sudah tak asing dengan aksi teror. Namun aksi teror di Surabaya
memunculkan satu fenomena baru dalam aksi terorisme Indonesia, yaitu munculnya
satu keluarga inti sebagai pelaku terorisme. Selama ini para teroris itu adalah
personal yang tidak terkait dalam ikatan keluarga utuh. Peristiwa bom Bali
memang menampilkan dua tokoh kakak beradik sebagai pelaku teror, namun itu
tidak utuh seperti yang terjadi di Surabaya. Kejadian terorisme di Surabaya dan
Sidoarjo menampilkan keluarga utuh: ayah, ibu dan anak-anak.
Munculnya
pelaku teror dari satu keluarga utuh ini membuat orang kembali mempertanyakan apa
alasan atau motivasi orang mau terlibat dalam terorisme. Selama ini banyak
orang menilai bahwa mereka yang terlibat dalam terorisme, bahkan hingga menjadi
pelaku bom bunuh diri, hanya bertujuan ekonomi. Dengan ikut dalam aksi teror,
mereka akan mendapat uang. Seandainya pun mereka mati dalam aksi bom bunuh
diri, keluarga yang ditinggalkan akan mendapat santunan. Artinya, masih ada
yang menikmati keuntungan ekonomi tersebut. Karena itu, orang mengatakan bahwa
para pelaku terorisme itu umumnya berasal dari latar belakang keluarga ekonomi
kurang mampu.
Akan
tetapi, alasan ekonomi tersebut di atas tidak dapat diterapkan pada pelaku
teror yang berasal dari satu keluarga utuh. Misalnya seperti yang terjadi di
Surabaya, pada aksi teror di tiga lokasi gereja dan di Malporestabes. Jika demi
alasan ekonomi, apa yang didapat para pelaku bila semuanya (satu keluarga)
meninggal akibat aksi bom bunuh diri. Sama sekali mereka tidak mendapat sedikit
pun keuntungan ekonomi, karena ayah, ibu dan semua anaknya meninggal dunia.
Karena
itu, apa yang menggerakkan orang untuk terlibat dalam aksi terorisme?
Senin, 14 Mei 2018
TERORISME: DARI #KAMI TIDAK TAKUT KE #KAMI SUDAH MUAK
Dalam
waktu 1 minggu bangsa Indonesia diguncang teror oleh para pelaku terorisme,
yang terkait dengan Negara Islam Irak Suriah atau biasa disebut ISIS. Teror
pertama terjadi di rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, pada Rabu, 9 Mei, menewaskan
4 orang anggota brimob dan 1 anggota teroris. Selang sehari terjadi lagi di
lokasi yang sama, yang menewaskan 1 orang anggota brimob dan 1 anggota teroris.
Sebuah ironisme bahwa kejadian, yang melenan lebih banyak anggota polisi ini,
justru terjadi di markas kepolisian yang memiliki kemampuan tempur.
Pada
hari Minggu, 13 Mei, terjadi aksi terorisme di tiga kejadian. Pada sekitar
pukul 02.00 dini hari, tim Densus 88 berhasil mencegat sekelompok teroris di
Cianjur. Anggota teroris ini berhasil dilumpuhkan. Pada pagi hari, di saat umat
kristiani hendak beribadah, aksi teroris terjadi di 3 lokasi berbeda di
Surabaya, yaitu Gereja St. Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia dan
Gereja Pentakosta Pusat Surabaya. Aksi teror bom bunuh diri ini, yang dilakukan
oleh 1 keluarga (ayah, ibu dan 4 anak), menewaskan lebih dari 10 orang,
termasuk para teroris. Dan sekitar pukul 22.00 ada aksi teroris di daerah
Sidoarjo, yang sekali lagi dilakukan oleh sebuah keluarga, namun aksi ini
terbilang gagal karena bom keburu meledak.
Jika
kita fokus pada aksi terorisme pada hari Minggu ini, terlihat pola gunung. Aksi
terorisme di Cianjur dan Sidoarjo merupakan kaki Gunung Teror Minggu, karena
kedua aksi ini merupakan aksi yang gagal. Sementara aksi terorisme di tiga
gereja merupakan puncak Gunung Teror Minggu. Karena itu, di beberapa akun media
sosial jaringan teroris juga di media sosial lainnya, aksi tersebut
dipuji-puji.
Menghadapi
aksi terorisme, mulai tanggal 9 Mei hingga 13 Mei, langsung muncul taggar #kami tidak takut, yang
bertebaran di media sosial. Beberapa tokoh nasional, termasuk Bapak Presiden
Jokowi, juga mengeluarkan seruan “Kami tidak takut”. Sasaran seruan ini ada
dua, yaitu kepada kaum teroris dan juga kepada warga Indonesia. Kepada kaum
teroris, seruan ini mau mengatakan kepada mereka bahwa aksi teror yang mereka
buat tidak akan menimbulkan efek ketakutan. Ketakutan merupakan salah satu
tujuan utama aksi teror, karena orang yang takut akan mudah dikendalikan.
MENGENAL MUSUH EKONOMI KELUARGA
Ketika hendak menikah, pasangan calon suami istri pasti punya
cita-cita membangun rumah tangga yang bahagia. Cita-cita itu juga menjadi
tujuan perkawinan katolik (kan 1055 §1). Memang kebahagiaan tidak selalu
terletak pada kelimpahan materi. Uang bukan segalanya, tapi terkadang segalanya butuh
uang. Dengan kata lain, uang bisa menjadi sarana ekonomi penunjang tercapainya
cita-cita keluarga bahagia, meski bukan satu-satunya.
Akan tetapi, untuk mencapai cita-cita itu dibutuhkan
perjuangan. Ada banyak tantangan dan musuh yang berusaha membawa suami istri
menjauh dari kebahagiaan. Beberapa musuh ekonomi keluarga yang perlu dikenali
dan dilawan adalah sbb:
1.
Malas.
Hampir semua kebutuhan rumah tangga menggunakan uang, dan uang didapat dengan
bekerja. Rasul Paulus berkata, “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia
makan.” (2 Tes 3: 10). Karena itu, harus disingkirkan sifat malas, dan
tumbuhkan sifat giat, tekun, ulet dan rajin.
2.
Boros. Boros dipahami sebagai
sifat menghamburkan uang tanpa tujuan penting. Sifat ini muncul ketika orang
tidak bisa membedakan mana kebutuhan dan keinginan, serta tak bisa membuat
skala prioritas dalam hidup keluarga.
3.
Selingkuh. Ketika orang selingkuh,
pastilah biaya pengeluaran bertambah. Selain itu, perselingkuhan berdampah pada
rusaknya relasi keluarga. Semua ini menjadi faktor yang menjauhkan suami istri
dari cita-cita membangun keluarga bahagia.
4.
Judi.
Orang berjudi biasanya selalu punya pikiran menang, padahal selalu kalah.
Karena itu, uang yang seharusnya bisa dipakai untuk kebutuhan rumah tangga
hilang di meja judi.
5.
Iri Hati. Sifat
ini biasa mewarnai kehidupan masyarakat. Ketika tetangga sudah punya ini, kita
juga ingin punya. Karena itu, membeli sesuatu bukan didasarkan pada kebutuhan,
tapi karena tak mau kalah dengan tetangga.
by: adrian
Jumat, 11 Mei 2018
Tanya - Jawab Modul III Pertemuan Jambore OMK Koba
OMK Koba
mengadakan jambore OMK di Bangkanesia, Lingku pada 16 – 18 Maret. Sebelum acara
jambore tersebut, para peserta mendalami modul pertemuan dalam kelompok kecil. Ada
empat pertemuan modul. Tema pertemuan modul ketiga adalah “Aku Kristen, Aku
Katolik”. Di sini diajak untuk melihat nilai-nilai kekristenan, yang juga
merupakan kekatolikan. Setiap pertemuan ada ruang tanya-jawab. Berikut ini
beberapa pertanyaan yang muncul pada pertemuan ketiga (untuk pertemuan kedua
silahkan baca di sini). Inti dari acara ini bukan pada jawaban, tetapi pada pertanyaan, karena yang mau disasar adalah daya kritis peserta.
T
|
Apakah menjadi
katolik cukup dengan cinta kasih
|
J
|
Jika
protestan hanya mengandalkan iman (yang didasarkan pada Surat Roma), katolik
melengkapinya dengan perbuatan. Ini didasarkan pada Surat Yakobus 5, “Iman
tanpa perbuatan adalah mati.” Cinta kasih merupakan wujud perbuatan sebagai
tanggapan iman. Bila kita hanya cukup dengan cinta kasih saja, kita tak jauh
beda dengan kaum humanis-ateis.
|
T
|
Apakah kasih sama
dengan cinta kelembutan hati?
|
J
|
Tentu
saja tidak sama, karena kasih itu lebih luas dari kelembutan hati. Kelembutan
hati merupakan satu bentuk dari kasih, sementara kasih tidak bisa hanya
dibatasi pada kelembutan hati.
|
T
|
Bagaimana cara
mengubah sikap seseorang yang selalu tanpa cinta karena tekanan psikologis
sejak kecil?
|
J
|
Pertama-tama
harus didekati dengan kasih. Dibutuhkan kesabaran, karena mengubah orang
seperti ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan proses yang
bisa sangat panjang. Selain itu, harus juga disertai dengan doa. Biarkanlah
Roh Kudus melembutkan hatinya, sehingga benih kasih dapat bersemayam dan
tumbuh.
|
T
|
Kenapa Bunda Teresa
rela mengabdikan diri untuk melayani anak-anak kelaparan? |
Rabu, 09 Mei 2018
Senin, 07 Mei 2018
PERCERAIAN VS PEMBATALAN
Bapak A menikah dengan B
di Gereja St. Fransiskus. Pastor X yang memberkati pernikahannya. Setelah 7
tahun hidup bersama, A dan B berpisah. Beberapa tahun kemudian bapak A menikah
lagi dengan C di Gereja St. Fransiskus, diberkati oleh pastor Y. Apakah Gereja
Katolik mengenal perceraian?
Hingga kini Gereja katolik
tidak mengakui adanya perceraian. Pernikahan dalam Gereja Katolik adalah
monogami dan tak terceraikan. Ini merupakan kehendak Allah. Karena itu, Gereja
tak punya kuasa untuk mengubahnya. Yang terjadi pada contoh di atas bukan
perceraian, tetapi pembatalan. Perceraian adalah pemisahan hubungan pernikahan
yang sah, sedangkan pembatalan pemisahan hubungan pernikahan yang tidak sah. Jika suatu
pernikahan itu sah, maka Gereja tidak punya wewenang untuk memutuskannya.
Berbeda jika pernikahan itu tidak sah sejak awal, maka demi hukum pernikahan
tersebut dinyatakan batal. Artinya, tidak pernah ada pernikahan meski ada
upacara pemberkatan.
Sekedar perbandingan, mari kita lihat
kasus Lance Amstrong, pembalap
sepeda, yang 7 kali menjuarai tour de
France (1999 – 2005). Lance memiliki piagam, medali dan foto-foto saat
berdiri di podium nomor 1. Berita tentangnya juga banyak ditemukan di media
massa. Namun, sekitar tahun 2011 Amstrong mengaku telah menggunakan doping. Dan
setelah terbukti, maka pada tahun 2012 Persatuan Balap Sepeda Internasional
mencabut 7 gelar juara tour de France.
Artinya, pada tahun 1999 – 2005 Lance Amstrong tidak pernah menjuarai tour de France.
Demikian pula dalam
pernikahan katolik. Karena sejak awal pernikahan itu tidak sah, maka pernikahan
itu dibatalkan demi hukum. Dengan pembatalan ini orang kembali menyandang
status liber, sehingga bisa menikah
lagi. Wewenang pembatalan ini ada pada dewan tribunal keuskupan.
by: adrian
Sabtu, 05 Mei 2018
Rabu, 02 Mei 2018
Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2018: Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian
Saudara
dan saudari yang terkasih,
Komunikasi
adalah bagian dari rencana Allah bagi kita dan jalan utama untuk menjalin
persahabatan. Sebagai manusia kita diciptakan seturut gambar dan rupa Sang
Pencipta, dan karenanya kita bisa mengungkapkan dan membagi hal-hal yang benar,
baik dan indah. Kita mampu melukiskan pengalaman-pengalaman kita sendiri serta
tentang dunia sekitar kita, dengan demikian menciptakan kenangan sejarah dan
pengertian tentang pelbagai peristiwa. Namun, apabila kita begitu saja menuruti
hasrat pribadi serta kebanggaan pada diri, maka kita dapat merusak cara kita
memanfaatkan kemampuan berkomunikasi. Hal ini dapat dilihat sejak awal sejarah,
dalam dua kisah alkitabiah tentang Kain dan Habel serta Menara Babel (bdk. Kej
4: 4 – 16; 11: 1 – 9). Kemampuan untuk memelintir kebenaran merupakan fenomena
yang melekat pada kemanusiaan kita, baik pribadi maupun masyarakat. Sebaliknya,
manakala kita setia pada rencana Allah, maka komunikasi akan menjadi sarana
efektif bagi pencarian kebenaran dan kebaikan secara bertanggung jawab.
Saat
ini, dalam dunia komunikasi serta sistem digital yang sedemikian cepat berubah,
kita menyaksikan penyebaran dari apa yang dikenal sebagai “berita palsu” (fake news). Kenyataan ini mengundang
kita berefleksi, dan itulah sebabnya saya memutuskan untuk kembali mengangkat
pokok tentang kebenaran dari Pesan Hari Komunikasi Sedunia para pendahulu saya,
sejak Paus Paulus VI. Pada tahun 1972 Paus Paulus VI mengangkat tema “Komunikasi Sosial demi Melayani Kebenaran”.
Maksud saya adalah memberikan dukungan pada komitmen kita bersama untuk
membendung penyebaran berita palsu serta mengangkat keluhuran martabat
jurnalisme dan tanggung jawab pribadi para jurnalis untuk menyampaikan kebenaran.
1. Apa yang “Palsu” tentang Berita Palsu?
Wacana
“berita palsu” telah menjadi objek diskusi dan debat yang sengit. Umumnya berita
palsu mengacu pada penyebaran informasi sesat secara daring (on line) atau melalui media tradisional.
Berita palsu terkait dengan informasi palsu tanpa berdasarkan data atau
memutar-balik data dengan tujuan menipu dan mencurangi baik pembaca maupun
pemirsa atau pendengar. Penyebaran berita palsu dimaksudkan untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu, mempengaruhi keputusan-keputusan politik, dan melayani
kepentingan-kepentingan ekonomi.
Langganan:
Postingan (Atom)