Umat katolik tidak hidup
dalam masyarakat yang homogen, hanya terdiri dari satu agama saja, melainkan
dalam masyarakat heterogen. Istilahnya, masyarakat majemuk. Dalam hidup
berdampingan dengan orang dari suku dan agama lain tak bisa dihindari
perjumpaan yang melahirkan hubungan khusus antar dua manusia yang berbeda
keyakinan. Saat pacaran biasanya soal perbedaan ini tak terpikirkan, karena
hidup sudah dirasuki romantisme pacaran. Ketika hendak menikah, baru orang
sibuk memikirkan.
Jika menikah dengan cara
islam, maka yang katolik harus masuk islam dengan mengucapkan kalimat syahadatin. Hal ini disebabkan karena
islam tidak punya ritus nikah campur. Demikian pula dengan agama lain. Artinya,
bila menikah di luar Gereja Katolik, orang katolik harus meninggalkan iman
katoliknya.
Akan jauh berbeda bila
pernikahan dilangsungkan dalam Gereja Katolik, karena dalam Gereja Katolik ada
ritus pernikahan campur, baik beda Gereja maupun beda Agama. Jika menikah dalam
Gereja Katolik, pihak yang non katolik tidak harus masuk katolik. Pihak non
katolik tetap pada iman keyakinannya. Gereja Katolik tidak boleh memaksa orang
lain memeluk iman katolik hanya karena pernikahan. Hal ini sejalan dengan
semangat Kristus dan Para Rasul yang tertuang dalam dokumen Dignitatis Humanae. Dasarnya adalah
bahwa iman itu merupakan hak asasi seseorang yang harus dihormati.
Menikah dengan orang
Protestan ada ritus pemberkatan ekumenis. Upacara pemberkatan nikah bisa
berlangsung di gereja protestan (atau gereja katolik) dan dipimpin oleh
pendeta, tapi yang meneguhkannya
adalah pastor.
Oleh karena itu, kaum muda
katolik hendaknya menggunakan solusi yang ada dalam Gereja Katolik. Jangan
tinggalkan Gereja dan Kristus hanya demi pernikahan.
by:
adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar