Rabu, 03 Januari 2018

JANGAN HALANG ANAK MENERIMA KESELAMATAN

Di sebuah paroki ada kebijakan khusus tentang baptisan bayi. Anak yang orangtuanya bermasalah dalam perkawinan tidak diperkenankan untuk menerima sakramen baptis. Yang dimaksudkan dengan bermasalah dalam perkawinan adalah pasangan suami istri yang hidup bersama tanpa ikatan resmi pernikahan. Dengan kata lain, mereka yang kumpul kebo.
Memang tidak semua mereka yang hidup perkawinannya bermasalah, yang anaknya tidak diperkenankan menerima sakramen baptis. Ada dua kategori pasangan, yaitu pasangan yang benar-benar tidak mungkin mendapat status perkawinan yang resmi/sah, dan pasangan yang karena faktor sepele tidak mau segera meresmikan perkawinannya. Artinya, untuk anak dari pasangan pertama boleh dibaptis, karena perkawinan orangtuanya tidak bisa diperbaiki lagi, sedangkan anak pasangan kedua tidak boleh dibaptis hingga orangtuanya meresmikan terlebih dahulu perkawinannya.
Pertanyaannya, haruskah anak menerima hukuman dari pelanggaran dan kesalahan orangtuanya?
Bagi saya, menghalangi anak menerima sakramen baptis lantaran orangtua tidak segera meresmikan perkawinannya tak ubahnya dengan perilaku teroris. Menghantam sasaran utama dengan mengorbankan orang tak berdosa. Inilah yang dilakukan para teroris. Mereka meledakkan bom bunuh diri dengan target tertentu, namun orang-orang tak berdosa dan tak terkait juga menjadi sasaran. Yang berbuat salah adalah orangtua, tapi kenapa anak yang tak tak tahu apa-apa dikaitkan, bahkan menerima akibatnya.
Apakah Gereja memang mengajarkan demikian, atau itu hanya kebijakan segelintir orang dengan mengatas-namakan Gereja?
Saya tidak tahu apakah larangan itu merupakan aturan dan ajaran Gereja atau pribadi orang tertentu. Akan tetapi, untuk menjelaskan persoalan ini, saya berangkat dari dua hal, yaitu makna sakramen baptis, dan syarat penerimaan sakramen baptis bagi bayi.
Dalam Kitab Hukum Kanonik dinyatakan bahwa sakramen baptis bertujuan untuk keselamatan dengan pembebasan dari dosa, dan dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah serta digabungkan ke dalam Gereja (kan. 849; bdk KGK no. 1257, 1263, 1267; SC 6; LG 11). Jadi, bisa dikatakan bahwa sakramen baptis mempunyai makna keselamatan, yang membuat seseorang menjadi anak Allah dan anggota Gereja. Keselamatan ini berasal dari Allah. Dalam sakramen baptis, Allah memberikan keselamatan-Nya sehingga orang menjadi anak-Nya dan menjadi warga Gereja.
Dapat dikatakan bahwa keselamatan itu terjadi karena kebersatuan si terbaptis dengan Kristus. Rasul Paulus sudah menegaskan bahwa dengan pembaptisan orang bersatu dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan. Bagi Paulus mengambil bagian dalam wafat dan kebangkitan Kristus merupakan pokok sakramen baptis (Roma 6: 4; Gal 3: 27; Kol 2: 12; bdk. SC 6). Jadi, dengan ikut mati bersama Kristus, orang juga akan ikut dibangkitkan bersama Kristus. Itulah keselamatan.
Karena demi keselamatan manusia, sakramen baptis dilihat sangat penting. Pentingnya penerimaan sakramen baptis ini sudah ditekankan oleh para rasul. Dalam Kisah Para Rasul 2: 38, St. Petrus mengatakan, “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu...” Santo Petrus menekankan perlunya baptis untuk pengampunan dosa. Hal yang sama ditegaskan oleh St. Paulus, “Dan sekarang, mengapa engkau masih ragu-ragu? Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan...” (Kis 22: 16).
Melihat maknanya, dapat dikatakan bahwa sakramen baptis sangat penting bagi manusia. Untuk orang dewasa yang mau menerima sakramen baptis harus dipersiapkan, demikian pula orangtua dari anak yang mau dibaptis (kan. 851). Bahkan kan 867 §1 menegaskan bahwa para orangtua harus mengusahakan agar anaknya dibaptis pada minggu-minggu pertama setelah kelahiran. Dengan kata lain, Gereja meminta orangtua untuk mengusahakan supaya anaknya dibaptis sehingga anak tersebut memperoleh rahmat keselamatan. Jadi, bukannya menunda apalagi menghalangi, melainkan tetap “menyalurkan” rahmat keselamatan.
Selain itu, Hukum Gereja juga mengajarkan bahwa bayi yang dibuang atau ditemukan hendaknya dibaptis (kan. 870), dan janin keguguran, jika hidup, sedapat mungkin dibaptis (kan. 871). Ini menunjukkan betapa pentingnya sakramen baptis. Bagaimana jika janin yang keguguran itu berasal dari pasangan yang belum resmi menikah alias kumpul kebo? Apakah juga tidak boleh dibaptis? Jika anak yang dibuang boleh dibaptis, orangtua bisa saja membuang anaknya dengan harapan anaknya dibaptis. Kacau bukan?
Apa persyaratan agar anak bisa dibaptis? Agar baptisan bayi itu menjadi layak atau licit, kan. 868 §1 menulis:
1.     Orangtuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya;
2.     Ada harapan cukup beralasan bahwa anak itu akan dididik dalam agama katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orangtuanya mengenai alasan itu.
Dengan bahasa sederhana, jika orangtua meminta kepada pastor untuk membaptis, dan bersedia mendidik anaknya dalam ajaran iman katolik, maka siapapun tak boleh menghalangi rahmat keselamatan Allah untuk anak. Apa yang tertulis dalam kan. 868 §1 di atas akhirnya melahirkan prinsip umum: “Anak tidak boleh dikenakan sanksi atas pelanggaran orangtuanya.” Oleh karena itu, jangan halangi anak menerima sakramen baptis, karena dengan baptisan mereka menerima anugerah keselamatan. Katekismus Gereja Katolik menegaskan, “Gereja meminta dengan sangat kepada orangtua, agar tidak menghalang-halangi anak-anak, untuk datang kepada Kristus melalui anugerah pembaptisan kudus.” (KGK no. 1261).
Apa yang saya utarakan di atas adalah berdasarkan ajaran Gereja. Terlihat jelas bahwa Gereja tidak melarang atau menghalangi penerimaan sakramen baptis bagi anak dari orangtua yang hidup perkawinannya tidak sah secara Gerejawi. Anak yang dibuang saja, sekalipun orangtuanya tidak jelas apakah resmi menikah atau tidak, dianjurkan untuk dibaptis, apalagi anak dari pasangan yang jelas, meski perkawinannya belum resmi. Jadi, jika ada orang yang menghalangi, orang itu benar-benar memiliki kuasa melebihi Gereja.
Bromo, 15 Agustus 2017
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar