Pada
upacara perkawinan, ada ritus penerimaan mempelai di depan gereja oleh imam.
Setelah ritus tersebut, bersama imam dan misdinar, mempelai dan rombongan
keluarga berarak masuk menuju altar. Dalam perarakan ini, calon pasutri
berjalan berdampingan. Hal ini berbeda dengan kebiasaan Eropa dewasa ini,
dimana mempelai pria sudah berada di depan, lalu disusul mempelai wanita yang
berjalan didampingi sang ayah.
Gereja
Katolik tetap mempertahankan kebiasaan berjalan berdampingan bagi calon
pasangan suami istri. Ada makna yang mau dipertahankan di sini. Pertama, ritus tersebut mau menunjukkan
kesetaraan/kesederajatan pria dan wanita di hadapan Allah. Kesetaraan berarti
bahwa pria tidak lebih unggul dari wanita atau sebaliknya. Pria dan wanita
sederajat. Kesetaraan ini berakar pada tradisi kitab suci, dimana wanita adalah
penolong yang sepadan dengan pria (Kej. 2: 37). Namun kesetaraan itu hendaknya
mewarnai kehidupan sebagai suami isteri. Hal ini sejalan dengan nasehat Yesus
untuk saling mengasihi dan saling melayani.
Kedua, jalan
bersama memasuki gereja menjadi motivasi untuk hidup bersama-sama. Ritus
tersebut hendaknya selalu menginspirasi suami isteri untuk selalu bersama-sama
datang ke gereja. Jangan sampai, setelah menikah hanya isteri yang ke gereja,
sedangkan suami di rumah; atau datang ke gereja sama-sama tapi masuk ke gereja
dan duduknya terpisah. Datang ke gereja dan duduk berdampingan selama ekaristi
merupakan salah satu bentuk pembaharuan ikatan dan komitmen perkawinan.
Nongsa
Point, 4 Okt 2017
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar