Dilahirkan
dalam keluarga Katolik yang taat membuat saya sejak kecil aktif dalam berbagai
kegiatan-kegiatan gereja di salah satu paroki di Jakarta. Mengenal banyak imam
dan biarawan-biarawati menjadi peneguhan tersendiri bagi saya di kala itu. Saya
tumbuh di dalam Gereja Katolik dan saya merasa iman saya sudah cukup kuat waktu
itu hingga pada akhirnya saya mulai berpacaran dengan seorang yang bukan
Katolik (Non-Kristen). Niat awal dan harapan saya, kekasih saya ini dapat saya
ajak menjadi seorang Katolik seperti saya. Tahun demi tahun saya lewati
bersamanya namun ternyata sangat sulit. Motivasi saya ternyata salah. Iman
memang tidak dapat dipaksakan. Kami berbeda, tragisnya ini menyangkut iman
saya. Beberapa waktu lamanya saya dilema. Apakah saya yakin bahwa ini jodoh
saya? Apakah Tuhan memberikan saya jodoh yang tidak seiman? Sebagai manusia
yang diberi kehendak bebas saya sadar bahwa saya harus memilih. Saya tidak
dapat menyalahkan Tuhan kelak karena saya manusia berakal budi dan bukan robot.
Keputusan
untuk menikah secara Katolik saya ambil dan perjuangkan. Namun apa yang
terjadi? Pihak keluarga calon suami saya tidak menentang perkawinan di Gereja.
Sejak awal, saya tahu bahwa keluarga calon suami saya membebaskan saya dalam
hal iman. Saya makin idealis, pasti saya tetap akan setia menjadi seorang
Katolik selama perkawinan saya. Apa yang saya alami ini pasti juga dialami
banyak umat yang lain. Kekecewaan saya terhadap Gereja bermula ketika saya
berusaha untuk mengurus perkawinan secara Katolik.
Saya
kecewa karena saya merasa prosedurnya sangat berbelit-belit, tidak praktis,
saya merasa dipersulit oleh Gereja. Saya berharap saya akan dipermudah karena
saya ini aktifis gereja loh. Mengurus prosedur perkawinan beda agama ternyata
tidak mudah. Masalahnya calon suami saya tidak terlalu suka mengikuti semua
prosedur ini yang buat dia tidak penting. Saya lelah karena saya tidak merasa
didukung oleh suami saya untuk menikah secara Katolik". Saya bertanya
kepada pastor, kenapa perkawinan Katolik ini sangat ribet, repot, sulit? Pastor
hanya menjawab, "Karena perkawinan Katolik itu hanya sekali seumur hidup
sampai maut memisahkan, maka persiapannya tidak bisa ekspres/ mudah".
Bahkan Gereja tidak mengijinkan pemberkatan perkawinan dilakukan 2x sesuai
keyakinan masing-masing. Kekesalan saya berujung pada keputusan, lebih baik
saya menikah secara Non-Katolik saja. Betul, bahwa prosesnya ternyata lebih
mudah dan praktis. Keputusan saya menikah di luar Gereja menyebabkan saya
secara otomatis terputus hubungan dengan Gereja (ekskomunikasi) karena saya
tidak dapat lagi menerima sakramen-sakramen lagi.
Apa
yang saya alami ini saya sesali sungguh-sungguh. Setelah saya menikah saya
merasa ada yang hilang dalam diri saya. Suami saya tidak melarang saya pergi ke
Gereja Katolik merayakan misa. Namun, idealisme saya sebagai seorang Katolik
luntur dengan sendirinya selama perkawinan saya karena tidak ada lagi kehidupan
doa, saya merasa sendirian. Saya berpikir "biarlah begini yang penting
Yesus tetap di hati saya, Yesus tahu bahwa saya mencintaiNya". Anak-anak
saya pun akhirnya tidak mendapatkan pendidikan iman Katolik. Jika saya ingat
betapa dulu saya sangat aktif di gereja, saya menangis. Apa yang saya anggap
benar ini pada akhirnya salah. Jika saya memang mencintai Yesus, saya harus
berbuat sesuatu untukNya. Bukan hanya soal hati. Iman bukan hanya di hati, tapi
iman itu harus berbuah dan berdampak nyata.
Delapan
tahun perkawinan saya, saya tidak dapat menahan diri lebih lama lagi dalam
kondisi ini. Saya mencintai suami saya, tapi saya lebih mencintai iman saya
yang telah lama saya tinggalkan. Saya bicara kepada suami saya bahwa saya ingin
mengurus perkawinan secara Katolik (konvalidasi). Ternyata suami saya tidak
mendukung saya secara penuh. Saya frustrasi namun saya mulai berdoa supaya hati
suami saya dilembutkan. Sejak saat itu saya mulai tekun berdoa meski banyak kesempatan
saya merasa putus asa dan merasa sendirian. Di usia perkawinan saya yang ke-15
saya baru mendapatkan dukungan dari suami saya untuk melakukan konvalidasi
perkawinan. Saat itu saya rasanya sepertinya ingin berteriak kepada Tuhan,
"Tuhan, 15 tahun lamanya saya meninggalkanMu secara sadar karena egoisme
diri saya sendiri. 15 tahun saya diuji. Kini saya menang karena Tuhan juga
telah menang atas maut dan kejahatan. Terima Kasih Tuhan!".
Saya
menyesal, mengapa saya tidak berjuang untuk menikah secara Katolik. Saya salah
jika mengatakan prosedur perkawinan di Gereja Katolik itu repot setelah saya
mengalami semua ini. Penyesalan saya seperti tidak terbalas. Saya tahu tidak
semua saudara seiman mungkin kuat selama 15 tahun dalam kondisi seperti yang
saya alami. Banyak dari mereka akhirnya meninggalkan Gereja Katolik, pindah
gereja, pindah agama, menanggalkan iman karena alasan-alasan manusiawi. Ya apa
yang saya alami ini adalah rahmat Tuhan, dan saya sangat bersyukur untuk ini.
Bukan berarti mereka yang akhirnya tidak Katolik lagi tidak diberi rahmat, tapi
apakah mereka tahu dan dewasa secara Katolik untuk mengambil keputusan menikah?
Da apakah mereka mau berjuang?
Langkah
pertama yang saya lakukan adalah saya datang ke pastor paroki saya dimana saya
saat ini berdomisili. Saya menyampaikan niat saya dan puji Tuhan saya sangat
dibantu oleh beliau. Setelah 15 tahun saya meninggalkan Gereja Katolik, saya
mengakui semua dosa-dosa saya dalam Sakramen Rekonsiliasi dan mengurus semua
berkas konvalidasi. Kebahagiaan saya tidak terbendung ketika akhirnya saya
mengucapkan janji perkawinan Katolik di hadapan imam dan seluruh umat bersama
suami dan 2 anak saya. Saya belajar untuk tidak merasa kuat dan merasa iman
saya sudah kuat. Dalam kesombongan itu Iblis bekerja lebih leluasa untuk
menjatuhkan saya. Maka saya kini berdoa, "Tuhan, tambahkanlah iman
kami!"
Untuk
saudara/i saya yang saat ini mengalami perkawinan di luar Gereja Katolik,
mulailah berdoa dan berjuang untuk mengurus perkawinan secara Katolik. Apa yang
anda perjuangkan tidak akan pernah terbayar oleh apapun setelah anda kembali
kepada Yesus dan GerejaNya. Mencintai Yesus berarti juga mencintai GerejaNya.
Salam dan doa saya selalu.
Copas: Parokiku dot org
Baca juga
tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar