Wakil
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Tengku Zulkarnain, bersama
rombongan ditolak menginjakkan kaki oleh sekelompok orang Dayak di Kabupaten
Sintang, Kalimantan Barat. Rombongan, yang baru mendarat di Bandara Susilo
dengan pesawat Garuda, terpaksa melanjutkan perjalanan ke Pontianak.
Aksi penghadangan ini menimbulkan respon oleh beberapa
pihak. Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, seperti dikutip dari Kompas Online, ikutan memberikan tanggapan atas peristiwa tersebut. Haedar seakan mau
mengguri orang Dayat soal toleransi. Beliau menghimbau, jika berbicara soal
toleransi antarumat beragama, maka semua unsur masyarakat seharusnya siap hidup
dalam keberagaman. “Semua pihak, kalau ingin menegakkan toleransi, ya harus
siap dalam keberagaman. Saya ulangi, seluruh pihak. Itu poin saya,” ujar
Nashir.
Sekalipun dalam pernyataannya Nashir menekankan seluruh pihak, namun pernyataannya itu
sangat jelas ditujukan kepada orang Dayak. Frase seluruh pihak hanyalah sebagai kedok bahwa Nashir mau bersikap
netral. Frase itu adalah gaya bahasa diplomatis. Di baliknya seakan Nashir mau
mengajari orang Dayak bertoleransi. Padahal sudah ratusan tahun orang Dayak
hidup berdampingan dengan orang Melayu, dan nyaris tak pernah terdengar riak
perselisihan. Konflik orang Dayak dan Madura disebabkan karena orang Madura
yang bersikap kasar terhadap orang Dayak. Hal yang sama dengan kasus penolakan
ini.
Saudara Andreas, yang memimpin Forum Pemuda Dayak DAD
Sintang, menyampaikan pernyataan terkait dengan penolakan itu. Dikatakan bahwa
mereka menolak Sekjen MUI itu karena pernyataan Tengku Zulkarnain di salah satu
media sosial yang menista perasaan warga masyarakat Dayak. Ditegaskan bahwa
warga Dayak Kabupaten Sintang tidak membenci MUI, tetapi lebih kepada pribadi Tengku Zulkarnain, yang
kebetulan menjabat wakil sekjen MUI.
Jadi, pernyataan Nashir, yang seakan mau menggurui orang
Dayak untuk bertoleransi, sungguh berlebihan dan aneh. Berlebihan karena pesan
itu menjadi sumbang, seperti mengajari ikan berenang. Orang Dayak sudah tahu
hidup bertoleransi. Bila perlu Haedar Nashir perlu belajar dari warga Dayak di
Kalimantan. Dikatakan aneh, karena pesan itu muncul ketika ada kejadian yang
menimpa salah satu atribut islam. Kenapa ketika MUI mengeluarkan fatwa
penistaan agama kepada Ahok, Nashir tidak berkomentar.
Bagi saya, kasus penolakan ini tak jauh beda dengan fatwa
MUI. Ketika dirasakan dan ditafsir bahwa Ahok telah melakukan penistaan, maka
MUI mengeluarkan fatwa. Demikian pula halnya dengan Forum Pemuda Dayak DAD
Sintang. Ketika dirasakan bahwa Tengku Zulkarnain telah melakukan penghinaan,
maka mereka menolak kedatangannya. Menolak kedatangan orang sama artinya
mengeluarkan fatwa. Bentuk fatwa Forum Pemuda Dayak DAD Sintang atas Tengku
Zulkarnain adalah menolaknya menginjakkan kaki di tanah Dayak Sintang.
Jadi, jika Nashir mempersoalkan aksi penolakan sekelompok
orang Dayak terhadap wakil sekjen MUI, Nashir juga harus mempersoalkan fatwa
MUI atas Basuki Tjahaya Purnama, alias Ahok. Jika Nashir mendukung langkah MUI
mengeluarkan fatwa penistaan agama kepada Ahok, maka Nahsir juga harus
mendukung langkah Forum Pemuda Dayak DAD Sintang menolak kedatangan wakil
sekjen MUI.
Koba, 16 Januari 2017
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar