Ekstremis
islam mengancam kebebasan beragama di seluruh dunia, terutama di negara-negara
Barat, Timur Tengah, dan Afrika. Demikian laporan yang dirilis oleh sebuah
yayasan Vatikan (Aid to the Church in
Need), yang memberikan bantuan kepada orang-orang di daerah konflik. Laporan
ini mengatakan “kekerasan bermotif agama” telah menimbulkan serangan di satu
dari lima negara di seluruh dunia dalam dua tahun terakhir.
Laporan
itu, yang dirilis secara bersamaan di Vatikan dan Filipina pada 15 November,
mengatakan bahwa “tujuan utama ekstremis islam adalah menghilangkan komunitas
agama lain.” Dari 196 negara, 38 menunjukkan “bukti pelanggaran kebebasan
beragama yang signifikan.”
Studi
ini menunjukkan bahwa kebebasan beragama memburuk di 11 dari 23 negara, yang
dikategorikan sebagai “negara-negara penganiaya”, termasuk Banglades, Tiongkok,
Indonesia dan Pakistan. Setidaknya tujuh negara – Afganistan, Irak, Nigeria,
Korea Utara, Arab Saudi, Somalia dan Suriah – yang digambarkan sebagai “terburuk”.
Laporan
ini menggambarkan ancaman ekstremisme sebagai “mematikan dengan niat genosida.”
Serangan mereka termasuk “pembunuhan massal, pemerkosaan, penyiksaan ekstrem,
seperti membakar orang hidup-hidup, penyaliban, dan melemparkan orang dari
gedung-gedung tinggi.”
Laporan
itu mengatakan bahwa ekstremisme “jelas berkembang dengan baik” dan ada bukti “penyebaran
ideologi militan” di negara-negara dengan gerakan ekstremis seperti Banglades,
Nigeria, Filipina, Indonesia, dan Pakistan.
Krisis Pengungsi
Kebangkitan
kekerasan ekstremis menciptakan peningkatan mendadak jumlah pengungsi. Pada akhir
2015 PBB memperkirakan sekitar 65,3 juta pengungsi mengungsi di seluruh dunia. Ini
rekor tertinggi. “Banyak orang melarikan diri terutama akibat penganiayaan
agama,” kata laporan itu. Ekstremisme telah menyebabkan “rezim kecenderungan diktator”
untuk menerapkan kontrol ketat atas kebebasan beragama, mempengaruhi tidak
hanya umat islam, tetapi juga orang dari agama lain.
Laporan
itu mengatakan bahwa di Tiongkok, dimana lebih dari 2.000 gereja dan salib
telah dihancurkan, kebijakan “sinisisasi” telah menyebabkan penahanan para
pemimpin agama. Korea Utara puncak daftar global pelanggar kebebasan beragama
dengan “penolakan hak untuk kebebasan berpikir, beragama dan hati nurani.”
Tanda-tanda Harapan
Namun
laporan itu mengatakan bahwa meskipun peningkatan intoleransi berbasis agama,
pemimpin agama global telah mulai melakukan dialog dan memberikan pemahaman.
Pada
bulan Mei lalu, Paus Fransiskus bertemu dengan Ahmed el-Tayeb, Imam Besar Islam
Sunni. “Pertemuan bersejarah itu,” berlangsung 30 menit, dating pada waktu
serangan ekstremis meningkat terhadap orang Kristen. Dalam konferensi di Maroko
pada Januari, Cendekiawan Muslim dari lebih 120 negara mendesak negara-negara
muslim “melindungi minoritas non-muslim dari penganiayaan.”
Laporan
itu mengatakan bahwa sebuah “sinar harapan” harus diakui adalah “kesediaan
beberapa pemimpin islam untuk meningkatkan respon terkoordinasi.” Pastor Martin
Berta, asisten Aid to the Church in Need,
kepada wartawan di Manila mengatakan bahwa membantu orang Kristen yang
dianiaya dan menderita adalah prioritas utama” yayasan ini.
Dia mengatakan laporan itu bertujuan untuk mendesak rezim untuk menegakkan
kebebasan beragama dan hak untuk kehidupan manusia. “Sudah saatnya mengakhiri
kekerasan agama dan belajar merangkul satu sama lain terlepas dari iman, ras
dan budaya,” kata imam itu.
diolah
dari UCAN Indonesia
Baca juga tulisan lainnya:
Tinjauan Buku: Sejarah Teror
Tidak ada komentar:
Posting Komentar