Tahun
2003 adalah tahun dimana saya harus meninggalkan masa belajar di SMA dan
beralih menjadi mahasiswa. Ada satu pilihan, yaitu menjadi mahasiswa
arsitektur. Sebagai salah seorang dengan pengetahuan terbatas, maka hanya
Universitas Gajah Mada yang menjadi pilihan satu-satunya. Tapi, singkat cerita
SAYA GAGAL.
Teman
saya menyarankan agar saya mempertimbangkan masuk jurusan Teknik Arsitektur di
universitas swasta seperti Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Universitas
Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), dan juga Universitas Islam Indonesia (UII). Sebagai
seorang mantan anak TPA (Taman Pendidikan Alquran) dengan predikat lulus
terbaik, tentulah UKDW dan UAJY sama sekali tidak masuk dalam kriteria, karena
mereka berada di bawah yayasan Kristen dan Katolik. Selain itu keluarga saya,
yang berada dalam lingkungan Muhammadiyah kental, pasti tidak setuju jika saya
sampai masuk ke universitas Kristen atau Katolik.
Sholat Istikharah (sholat
minta petunjuk) adalah jalan satu-satunya bagi umat muslim ketika ia bingung
menentukan pilihan. Dan itulah yang saya lakukan. Sebuah petunjuk dari Atas datang
dan sungguh mengagetkan. Di pagi hari yang cerah di bulan Juli, saya mantab
memilih Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Satu
tahun pertama di kampus sungguh menyiksa perasaan saya. Namun bukan dari
teman-teman kampus, melainkan dari saudara dan teman sekolah saya yang notabene adalah seorang muslim. Saya merasa
berat untuk menunaikan sholat di sela-sela waktu kuliah dengan cara
sembunyi-sembunyi. Saya juga takut melakukan gerakan sujud sementara di depan
saya terpasang salib Tuhan Yesus.
Sejak
kerusuhan 1998, saya sudah muak dengan yang namanya diskriminasi dalam bentuk
agama maupun ras. Inilah salah satu alasan saya memilih kampus yang bernaun di
bawah yayasan Katolik. Di sini saya punya teman dari berbagai kalangan agama,
mulai Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan sampai yang
atheis sekalipun. Saya juga punya teman dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
Awalnya
yang namanya jadi anak kuliahan, saya berharap sekali bisa ikut demonstrasi
jalanan, tapi sayang sekali kampus ini “terlalu damai” untuk disulut sebuah
permasalahan yang bernuansa agama atau suku. Baru di sini saya bisa bercanda
tanpa ada batasan dengan teman-teman saya yang berasal dari aneka suku bangsa. Hingga
saat ini saya memiliki 4 orang sahabat, dua di antaranya beragama katolik. Persahabatan
kami membuat kami merasa seperti keluarga saja. Dari persahabatan kecil ini
kami bahkan pernah mendesain sebuah masjid cantik dan sebuah gereja yang
sungguh menawan secara bersama-sama.
Ketika
saya menonton film Rudy Habibie (Habibie & Ainun 2) dan mengetahui bahwa
Habibie muda pernah melakukan sholat di dalam gereja hingga seseorang bernama
Romo Mangun menghampiri Habibie, maka beliau bilang bahwa seandainya pemikiran
orang seperti Habibie maka sudah tidak perlu lagi adanya rumah ibadah. Ya..,
saya pun pernah mengalami hal itu ketika saya berada di Senado Square Macao
sedang waktu sholat ashar sudah tiba. Karena saya tidak yakin dimana masjid,
maka pilihan satu-satunya adalah sholat di dalam sebuah gereja yang bernama St.
Dominic Church.
Satu
hal yang saya yakini bahwa sholat adalah urusan saya pribadi dengan Allah SWT,
tidak peduli saya dimana, sedang apa atau dalam keadaan apa. Bagi saya, lebih
baik sholat daripada tidak sama sekalai. Sekali lagi, Atma Jaya mengajarkan
saya untuk berpikir seterbuka ini. Kampus ini pun pernah mempersilahkan saya
untuk shlat ghaib bagi salah seorang teman kami yang meninggal di luar kota. Begitu
damainya ketika belasan teman-teman muslim bisa berjajar bersama dan berjamaah
melakukan sholat ghaib di sebuah ruangan yang sudah terlanjur di seting untuk
misa arwah (di sana sudah ada belasan lilin bernyala, salib dan patung Bunda
Maria).
Saya
pernah bertemu langsung dengan Romo Mangun ketika beliau menjabat sebagai Ketua
Kwartir Daerah Gerekan Pramuka di Yogya. Waktu itu saya mau berangkat ke Jepang
untuk mewakili Indonesia di Jambore ramuka tingkat dunia. Yang saya tangkap
dari keberadaan sosok Romo Mangun adalah pribadi yang sangat bijaksana, bahkan
pada tahun 1998 saya bertemu beliau, saya tidak tahu apa artinya Romo. Baru
kemudian saya tahu artinya.
Pengalaman
lainpun datang ketika saya diundang untuk menghadiri sebuah diskusi kecil
tentang pluralisme dengan Romo Paul (kalau tak salah beliau pernah jadi Rektor
Universitas Sanata Dharma). Sekali lagi saya bertemu dengan sosok pemimpin
agama yang sungguh bijak.
Setiap
Romo yang pernah saya temui selalu memberi wejangan yang intinya begini: “Hidup itu mesti bisa saling menghargai,
mesti bisa saling menyayangi, dan karena itulah Tuhan menciptakan kita untuk
bisa saling mengenal satu dengan yang lainnya!”
Mungkin
karena kurangnya pengetahuan agama yang saya miliki, mungkin saya kurang ikut
pesantren atau apapun yang bisa Anda tuduhkan pada saya, tapi selama saya
mengikuti pengajian dan kajian dakwah, jarang sekali saya mendengar seorang
ustadz mengajarkan hal tentang kesama-rataan sedemikian indahnya. Justru
pelajaran tersebut harus saya dapatkan dari seseorang dengan kepercayaan yang
berbeda.
Ketika
suatu waktu saya membuka biografi Nabi Muahmmad SAW, maka pelajaran tentang
saling menghormati dan menyayangi antar sesama manusia telah diajarkan beliau. Bahkan
Allah sudah menuliskan sebuah ayat yang berbunyi Lakum Diinukum wa Liya Diin, yang artinya: “Bagiku agamaku, bagimu
agamamu.”
Tentu
kita semua sepakat bahwa hidup ini akan selalu indah buat kita lewati ketika
setiap manusia bisa saling menyayangi. Sekali lagi saya ucapkan, “Terima kasih
Romo. Anda mengajarkan saya ber-Islam dengan lebih baik.”
sharing pengalaman Bima Adhitya,
diolah kembali dari UCAN Indonesia
Baca
juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar