MENUTUP GOOGLE DAN YOUTUBE: NILA SETITIK
RUSAK SUSU SEBELANGA
Beberapa
hari yang lalu publik Indonesia dikejutkan dengan berita tuntutan kepada
pemerintah Indonesia untuk menutup Google dan Youtube. Keterkejutan ini bukan
hanya karena isi beritanya, melainkan juga sumber beritanya. Tuntutan penutupan
Google dan Youtube berasal dari kalangan cendekiawan
islam. Cendekiawan adalah orang yang menggunakan kecerdasan inteleknya untuk
bekerja, belajar, membayangkan, menggagas atau menyoal dan menjawab persoalan
tentang berbagai gagasan. Jadi, mereka bukan orang bodoh tak berpendidikan,
melainkan memiliki gelar sarjana, yang diperolehnya baik di dalam negeri maupun
di luar negeri.
Tuntutan
para cendekiawan muslim (ICMI) terhadap layanan Google dan Youtube disuarakan
karena melihat fenomena kejahatan seksual yang marak beberapa bulan terakhir
ini. Para cendekiawan ini menyimpulkan bahwa penyebab semuanya ini adalah
Google dan Youtube. Karena itu, keduanya harus ditutup.
Keputusan
para cendekiawan muslim ini dirasakan terlalu berlebihan. Mereka seakan tidak
bisa melihat ada sisi positif dari kedua layanan dunia maya ini. Menutup keduanya,
hanya karena didasarkan satu sisi saja, berarti juga menutup segala kebaikan
yang ada pada keduanya. Pada titik inilah banyak pihak menilai keputusan ICMI
kurang bijaksana. Memang mereka pintar, tapi tidak bijaksana. Dari sini orang
dapat mengetahui bahwa ternyata tidak semua orang pintar itu bijaksana.
Apakah
mungkin menutup layanan Google dan Youtube? Semuanya serba mungkin. Jika dilihat
dua dekade terakhir ini, ada beberapa negara yang mengambil kebijakan menutup
Google dan Youtube. Negara-negara tersebut adalah negara-negara islam, seperti Negara Iran,
Pakistan, Bangladesh dan Tajikistan, dan negara-negara komunis, seperti Negara China dan Korea Utara.
Akan
tetapi, kita dapat memahami keputusan yang diambil kaum cendekiawan muslim tersebut. Keputusan
itu lahir dari keputus-asaan dan kekalutan menghadapi fenomena kejahatan
seksual yang marak akhir-akhir ini. Dan biasanya, dalam situasi kalut dan putus asa, siapapun akan sulit
untuk berfikir jernih. Situasi kalut dan putus asa ini membuat ICMI mengambil
sikap instan: membasmi tikus dengan cara membom lumbung padi. Padahal masih
banyak cara lain untuk mengatasi masalah di atas.
Layanan Hot Line
Masalah
pornografi dan kekerasan seakan sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dua
hal ini dapat dengan mudah dilihat oleh siapa saja dari segala lapisan, baik
dalam lacar kaya televisi, dunia maya (internet) maupun dunia nyata. Anak-anak,
dengan kemajuan teknologi dapat mengakses semua itu. Hal ini dipermudah dengan
dukungan dari orangtua.
Jadi,
dapat dikatakan bahwa orangtua turut terlibat dalam hal ini. Namun, supaya anak
tidak terlibat, sekalipun mereka tetap bersentuhan dengan semua itu, maka peran
pendampingan orangtua mutlak diperlukan. Para orangtua harus tidak
henti-hentinya mendampingi dan membina supaya putera-puterinya sadar akan
bahaya konten pornografi dan kekerasan bagi mereka.
Memang
ada aplikasi pemblokiran konten pornografi yang dapat dipasang pada gadget atau
komputer anak. Namun, jika lemahnya penyadaran dari orangtua, anak dapat
mengakses hal tersebut di warnet-warnet yang begitu menjamur sekarang.
Tentulah,
orangtua pun memiliki keterbatasan waktu dalam pendampingan itu. Oleh karena
itu, pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi, sudah berusaha
untuk menutup konten-konten yang berbau pornografi dan kekerasan. Tidak seperti
ICMI, di sini Kemenkominfo sangat bijaksana karena hanya menutup situs-situs
yang negatif. Hal-hal yang negatif saja yang dihapus, sedangkan yang positif
tetap dipelihara.
Akan
tetapi perlu juga disadari bahwa Kemenkominfo pun mempunyai keterbatasan. Keterbatasan
ini bisa saja terkait dengan waktu dan mental dari personal di Kemenkominfo
yang menangani kasus konten pornografi dan kekerasan di dunia maya. Mungkin orang-orang
di Kemenkominfo yang mengurusi masalah ini sedikit jumlahnya sementara ada
begitu banyak situs yang menampilkan layanan pornografi dan kekerasan. Selain itu,
ada falsafah “mati satu, tumbuh seribu” bagi situs-situs negatif ini, sehingga
membuat orang-orang di Kemenkominfo harus bekerja ekstra keras. Jadi, mencari
situsnya saja sudah membutuhkan tenaga dan waktu, sementara situs-situs ini
terus menjamur.
Keterbatasan
juga bisa terkait dengan mental orang-orang Kemenkominfo. Mental di sini
seperti yang digambarkan oleh Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”.
Kebanyakan orang Indonesia, terlebih yang pegawai negeri, akan serius bekerja
jika ada atasannya. Dengan kata lain, ada kemungkinan orang-orang di
Kemenkominfo belum melihat masalah ini sebagai suatu masalah serius, sehingga
pengawasannya terhadap situs-situs negatif ini pun menjadi lemah. Jangan-jangan mereka juga termasuk kelompok penikmat situs tersebut. Untuk itu,
pemerintah harus terus menerus membenahi mental para pegawainya.
Di samping
itu Kemenkominfo bisa menggunakan masyarakat untuk membantu mengatasi masalah
ini. Caranya dengan membuka layanan 24 jam Hot Line Pengaduan. Jadi, semua
warga Indonesia yang melek internet, dapat melaporkan situs-situs pornografi
yang dia temukan kepada Kemenkominfo. Selanjutnya pihak Kemenkominfo akan
menindaklanjuti dengan penutupan atau pemblokiran.
Namun,
sebelum mensosialisasikan layanan Hot Line itu, terlebih dahulu Kemenkominfo
terus menerus menyadarkan masyarakat akan bahaya konten pornografi dan
kekerasan. Jika, hati masyarakat sudah tergerak, maka dengan sendirinya
masyarakat akan melaporkan situs-situs pornografi yang dia temukan. Dengan demikian,
orang-orang di Kemenkominfo tidak lagi perlu mencari-cari situs negatif itu,
melainkan langsung menindaklanjuti pengaduan.
Pangkalpinang,
11 Juni 2016
by: adrian
Baca
juga tulisan lain:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar