Seorang
imam membagikan pengalaman sekaligus pemikirannya. Ini berangkat dari peristiwa
persiapan menyambut perayaan Malam Paskah.
Di suatu
sore, tak lama setelah Ibadat Jumat Agung, ketua panitia meminta kesediaan imam
itu untuk mendampingi para petugas liturgi, yakni lektor dan pemazmur. Sebelumnya
dia sudah mendampingi para misdinar (putra putri altar). Para petugas liturgi
ini ingin mengetahui soal dimana posisi berdiri mereka nanti, bagaimana dan
kapan harus naik turun dari panti imam, bagaimana sikap mereka, dan hal-hal
kecil lainnya.
Karena
sudah mengenal karakter dan selera imamnya, ketua panitia, yang ikut
mendampingi para petugas tersebut, turut andil dalam proses pendampingan itu. Salah
satunya, soal sikap menghormati imam. Kepada para petugas liturgi dia
menyatakan bahwa mereka tak perlu lagi menunduk hormat ke imam setibanya di
panti imam. Cukup sekali hormat ketika masih di bawah, di depan altar. Imam itu
pun mengiyakan.
Karena
dirasa cukup, imam itu keluar dari gedung gereja, sementara para petugas
liturgi itu tetap terus mematangkan latihannya. Tak lama kemudian seorang
suster datang untuk latihan koor. Melihat latihan para petugas liturgi tidak sesuai
dengan keinginannya, langsung saja suster ini turun tangan. Dengan nada agak
emosional, dia mengomentari para petugas liturgi tersebut. Tak urung, imam yang
sudah melatih tadi pun tak luput dari komentarnya. Intinya, sang imam tidak
tahu apa-apa soal liturgi.
Mendengar
ribut-ribut di dalam gereja, imam yang tak jauh dari gedung gereja masuk. “Dari
pada pecah perang, dan akan merusak suasana Malam Paskah, lebih baik diam,”
demikian komentar imam itu dalam hati. Maka, dia hanya memandang dan mendengar
komentar suster itu sambil melatih para petugas liturgi. Seorang petugas sempat
melirik ke imam itu sambil mengelus dada dan mimik bibirnya mengucapkan
berkali-kali, “Sabar, sabar.”
Satu
poin yang paling disoroti adalah sikap hormat pada imam. Setelah naik ke panti
imam, sebelum menuju mimbar sabda, para petugas harus menunduk hormat pada
imam. “Ini tradisi. Imam itu gambaran Kristus. Jadi, kita harus menghormati
imam.” Demikian komentarnya dengan nada tinggi. Para anggota koor lainnya hanya
diam sambil tersenyum-senyum. Imam itu pun senyum-senyum saja. “Mengajari orang
lain menghormati imam, tapi diri sendiri tidak menghormati imam,” bathin imam
itu.
Setelah
latihan, seorang petugas liturgi menghampiri sang imam. Dengan nada kesal, dia
ungkapkan kekecewaannya karena sang imam hanya diam saja ketika mereka
dikomentari suster. Mereka berharap sang imam membela mereka. Dengan tenang,
imam itu mengatakan bahwa dia ingin menciptakan suasana tenang menjelang Malam
Paskah. Bisa saja dia membela para petugas, tapi jika itu dilakukan maka akan
ada keributan antara dirinya dan suster. Dan hal ini tidak baik di mata umat.
Kemudian
petugas itu mengatakan bahwa mereka bingung. Imamnya sudah melatih, tapi ketika
datang suster disalahkan. Jadi, mana yang benar.
Mulailah
imam itu menerangkan. Titik tolak pelatihan yang diberikan imam itu tadi adalah
berdasarkan Pedoman Umum Misale Romawi. Dalam pedoman itu tidak ada perintah
harus hormat pada imam. Karena itu, dia bingung tradisi mana yang diambil oleh
suster. Jika tradisi Gereja, kenapa tidak dicantumkan dalam Pedoman Umum Misale
Romawi. Bisa dikatakan bahwa sikap hormat pada imam ini didasarkan pada tradisi
feodal. Imam dianggap sebagai pembesar yang harus dihormati.
Imam
itu menyatakan bahwa dirinya anti dengan tradisi feodal. Dan Gereja juga tidak
suka dengan tradisi tersebut. Karena itu, model Gereja sejak Konsili Vatikan II
tidak lagi seperti piramida, dimana imam, uskup dan paus berada di posisi atas.
Model Gereja kita saat ini adalah Umat Allah.
Memang
benar bahwa Kristus hadir dalam diri imam ketika merayakan ekaristi. Tapi, yang
harus dipahami adalah Kristus yang mana? Imam ini menghayati Kristus yang
melayani, Kristus sebagai pelayan. Sebagai pelayan, yah tentu tidak membutuhkan penghormatan, karena Dia hadir untuk
melayani. Karena itulah imam itu tidak membutuhkan penghormatan dari petugas liturgi,
karena dirinya juga adalah pelayan altar. “Kami adalah hamba-hamba yang tidak
berguna, kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17: 10).
Jadi,
terkait topik ini, soal menghormati imam itu bukan persoalan baik – tidak baik,
seolah-olah kalau tidak menghormati berarti tidak baik; bukan pula persoalan
harus – tidak harus. Ada imam yang memang ingin dihormati, tapi ada juga yang
tidak. Ketua panitia sudah mengetahui hal ini, sehingga dia mengatakan untuk
imam ini tidak perlu hormat.
Toboali,
5 April 2018
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar