Sabtu, 12 Juli 2014

(C E R P E N) Doa Si Toni Kecil

DOA SI TONI KECIL
Toni sedang mengerjakan PR Matematika bersama ibunya di ruang keluarga saat Stefanus Rachmat Hadi Purnomo masuk sambil mendesah. Antonius Padua Hadi Purnomo adalah siswa SD St. Fransiskus Asisi kelas satu. Toni dan ibunya, Monika Fitria Handayani, segera menghentikan aktivitas mereka sementara. Lirikan mata ibu dan anak itu mengikuti langkah kaki Stefanus hingga di sofa. Persis di depan mereka.

Stefanus menghempaskan tubuhnya di sofa itu sambil meletakkan map berkas di atas meja, samping lembaran tugas Toni. Ia merentangkan kedua tangannya di bahu sofa sambil menerawang langit-langit rumah, tak peduli pada empat mata yang sedari tadi mengawasinya.

“Ada apa sih, Pa? Gagal lagi, ya?” Monika mencoba memecah kebekuan.

“Yah…,” jawab Stefanus singkat sambil mendesah. “Kami tak tahu apa sih maunya mereka. Semua tuntutan dalam SKB sudah dipenuhi, eh malah dicurigai ada pemalsuan tandatanganlah, permainan uanglah, inilah, itulah.”

Stefanus terus merocos menumpahkan unek-unek kekesalannya atas penolakan izin pembangunan gedung gereja Paroki St. Yohanes Paulus II. Penolakan itu bukan baru terjadi satu atau dua kali saja, melainkan sudah berkali-kali. Sudah enam tahun panitia pembangunan berjuang untuk mendapatkan IMB, namun yang didapat hanyalah penolakan.

Gedung gereja Paroki St. Yohanes Paulus II merupakan gedung lama, ketika masih berstatus stasi dari Paroki Kristus Raja Semesta Alam. Sejak pemekaran, terjadi peningkatan jumlah umat. Gedung lama, yang bisa menampung 1500 orang, dirasakan sudah tidak memadai lagi, baik dari segi daya tampung maupun dari segi kondisi bangunan. Di beberapa bagian dari gedung sudah terlihat rusak. Dengan dasar pertimbangan inilah akhirnya Dewan Pastoral Paroki memutuskan untuk membangun gedung gereja yang baru.

Memang sedari awal pembentukan panitia, Pastor Paroki sudah memperingati bahwa mereka bakal menghadapi tantangan berupa penolakan. Mereka juga berpikir begitu. Namun semua mereka tidak menyangka penolakan akan berlangsung lama. Dasar pertimbangan mereka adalah relasi Gereja dengan umat non katolik di sekitarnya amat sangat baik. Sering terjadi kegiatan lintas agama.

Karena itulah, umumnya mereka memperkirakan sekitar satu atau dua tahun IMB pasti keluar. Hambatan hanya ada di pemerintahan daerah. Akan tetapi semua perkiraaan itu buyar sama sekali. Kini sudah enam tahun. Dan IMB belum juga muncul. Bukan cuma dari pemerintah, tetapi juga warga, yang notabene berasal dari luar.

Toni yang diliputi kebingungan terus memperhatikan gerak bibir papanya. Sesekali ia melirik ke mamanya, menunggu reaksi dari sang bunda.

“Sebenarnya bukan cuma penolakan saja, melainkan juga dipermainkan. Yah, kami dipermainkan,” ujar Stefanus. “Setelah tuntutan kita penuhi, mereka minta ini. Setelah selesai, mereka minta itu, lalu minta lain lagi. Pokoknya, selalu saja ada tuntutan lain yang musti dipenuhi setiap kali kita sudah memenuhinya. Tampak jelas mereka hanya mencari-cari alasan.”

Monika membantu Toni merapikan buku-buku tugasnya. Ia memberi kode kepada anak semata wayangnya bahwa tugas akan dilanjutkan besok. Jam yang sama.

“Sekarang mereka pimpong kami dari satu instansi ke instansi lain. Tapi tak juga selesai-selesai. Sepertinya urusan perizinan ini ibarat jalan tanpa ujung.”

“Mungkin masih ada urusan yang belum selesai,” sambung Monika. Toni segera memalingan tatapannya kepada mamanya. Monika tersenyum menatapnya.

“Ya mbok diberitahu toh. Apa yang kurang, mana yang harus dilengkapi, di mana letak masalahnya. Dengan demikian kami bisa segera mengurusnya.”

Diam membisu. Detak jam di dinding mengisi kebisuan. Jam menunjukkan pukul 19.14. Toni kembali dari kamarnya. Ia duduk bersandar di samping mamanya. Tatapannya tertuju kepada papanya. Monika membelai kepala putranya.

“Padahal, jika mereka mau mendirikan rumah ibadah, begitu mudah. Harusnya mereka sadar diri. Ada begitu banyak rumah ibadah mereka yang tak ada izin. Tapi koq gak dipermasalahkan? Gak pernah diobok-obok. Gak pernah disegel atau dibongkar paksa.”

“Maklumlah Pa, mereka kan mayoritas.” Monika membisikkan ke telinga Toni untuk mengambil cangkir minuman papanya. Kalau sudah malam begini Stefanus hanya minum air putih. Minum bergula cukup sekali sehari. Takut kena diabetes.

“Di bagian mana ada yang mengatakan bahwa mayoritas mendapat perlakukan istimewa? Toh negara ini bukan berdasarkan salah satu agama. Ini bukan negara agama. Dan seandainya pun kita dapat membangun gereja semudah mereka membangun rumah ibadahnya, bukan lantas berarti kita mendapat keistimewaan. Tidak. Kita hanya mengharapkan perlakukan yang sama. Itu saja.”

Monika mengambil cangkir yang disodorkan Toni dan menyerahkan kepada suaminya. “Minum dulu, Pa. Biar adem.” Monika tersenyum sambil melirik putranya. Toni membalas senyum.

“Yah, inilah nasib menjadi murid Yesus,” ujar Stefanus setelah menegak minumannya. “Menjadi murid Kristus kita harus memikul salib, ditolak dan dihina.”

“Karena itu, Papa gak usah sedih dan gusar. Tuhan Yesus sudah berkata ‘Berbahagialah kamu, jika karena Aku, kamu dicela dan dianiaya.’ Papa ingat kan kotbah Romo Agus minggu kemarin. Sabda Yesus masih relefan hingga kini. Masih saja ada orang kristen yang mendapat perlakukan tak adil dan tak manusiawi hanya karena ia kristen.”

“Papa bukannya sedih. Cuma heran. Koq ada sekelompok ormas yang berdasarkan agama, melakukan penolakan atas dasar agama. Mau mendirikan gereja ditentang. Berdoa di rumah diserang. Bukankah agama seharusnya menawarkan nilai-nilai kasih, toleransi, hormat dan kebaikan?”

“Udahlah Pa, tak perlu diomongin.” Monika memotong pembicaraan suaminya. “Tak baik jelek-jelekin orang lain. Ingat kata Romo Agus: bawakan dalam doa.” Ia segera berdiri dan mengajak Toni, yang berbaring di kakinya, ikut berdiri.

“Toni uda ngantuk?”

Toni mengangguk sambil berjalan menuju papanya. Stefanus merangkul anaknya, membopongnya ke pangkuannya. “Toni jangan benci teman-temannya muslim ya? Ingat, Tuhan Yesus menasehati kita untuk mengasihi mereka yang memusuhi dan membenci kita serta mendoakan mereka. Termasuk mereka yang menentang berdirinya gereja kita.”

Kembali Toni mengangguk. Stefanus kemudian memberi kecupan dan dengan ibu jarinya ia membuat tanda salib kecil di dahi Toni. Berkat Salib Kristus. Hal yang sama juga dia terima dari mamanya. Toni berjalan menuju ke kamarnya.

Di dalam kamar, Toni tidak langsung ke ranjangnya. Ia mampir sebentar ke meja kecil di sudut kamar. Di sana ada patung Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Toni membuat tanda salib, melipat tangan dan berdoa. “Tuhan Yesus. Hari ini papa sedang gusar karena izin pembangunan gereja belum kelar juga. Kami belum bisa membangun rumah-Mu. Tapi kami tetap bisa berdoa kepada-Mu.

“Tuhan Yesus, bisa gak Tuhan bantu papa agar izin pembangunan gereja keluar? Kalau nanti Tuhan ketemu Tuhannya Umar, cobalah Tuhan Yesus bicarakan masalah pembangunan gereja ini. Siapa tahu mereka yang selama ini menentang akhirnya dapat baik hati.

“Udah dulu ya. Toni mau bobo. Jaga Toni, mama dan papa. Bunda, lindungi kami. Amin.”

Toni menuju ke ranjangnya dan tidur.
Jakarta, 21 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar