Pada jaman rezim Soeharto, kita kenal istilah “Asal Bapak Senang” alias
ABS. Istilah ini dikenakan kepada Presiden RI, Soeharto. Maksud dari istilah
ini adalah bawahan-bawahan Soeharto selalu memberi laporan yang baik dan bagus
dengan tujuan supaya Soeharto senang. Apapun keadaan dan situasinya, laporannya
selalu yang baik dan bagus.
Presiden tidak suka jika ada berita negatif tentang negeri ini. Presiden
akan marah kalau mendengar berita buruk itu. Tentulah, pemberi laporan akan
sedikit mendapat teguran dan ancaman. Oleh karena itu, para menteri berusaha
memberikan laporan yang positif, bukan hanya untuk menghindari dari teguran dan
amarah, melainkan juga supaya presiden senang. Dari sinilah muncul istilah ABS
itu.
Bisa dikatakan bahwa metode “Asal Bapak Senang” menutup mata dan telinga
presiden akan situasi dan kondisi bangsa yang sebenarnya. Presiden tidak akan
tahu bahwa ada rakyat yang kekurangan makanan atau anak sekolah terlantar.
Bawahan-bawahan presiden selalu memberi laporan bahwa rakyat hidup damai
sejahtera dan pendidikan Indonesia maju.
Metode Asal Bapak Senang ini ternyata bukan hanya ada dalam dunia sekular
(politik kenegaraan). Di kehidupan Gereja juga bisa ditemui metode dan juga
sekaligus mental ABS ini. Mungkin istilahnya tidak ABS melainkan AUS (Asal
Uskup Senang).
Tak jauh berbeda dengan dunia sekular tadi, mental atau metode Asal Uskup
Senang juga lahir dari keinginan uskup yang hanya menghendaki laporan positif
dari bawahannya. Para bawahan uskup, misalnya seperti pastor paroki dan
ketua-ketua yayasan milik keuskupan, selalu berusaha menampilkan berita dan
laporan yang positif dan menutupi atau malah menghilangkan hal yang negatif.
Karena itu, uskup hanya tahu yang positif saja.
Kita tidak tahu apakah memang uskup hanya ingin berita yang positif saja
karena tak mau dengan berita negatif atau uskup hanya ingin dihibur. Hiburan
bisa datang dari laporan-laporan yang menyenangkan. Laporan yang tak
menyenangkan tentu tidak akan mendatangkan perasaan senang dan tenang.
Bawaannya adalah resah dan gelisah. Atau juga mungkin uskup punya pemikiran
bahwa berita positif dapat membawah efek perubahan positif.
Apapun faktor alasannya, sikap uskup yang hanya ingin senang tadi dengan
menerima laporan positif, melahirkan mental AUS dalam diri imamnya. Setiap kali
kunjungan uskup ke paroki-paroki, pastor paroki selalu setia mendampingi uskup.
Pendampingan ini bukan semata-mata karena tuntutan tugas, melainkan menjadi
sarana pengalihan perhatian uskup. Pastor paroki dapat dengan mudah menjelaskan
hal-hal positif di parokinya. Pastor paroki dapat segera mengalihkan uskup dari
hal-hal yang negatif, baik itu dari penglihatan langsung maupun dari komentar
umat. Keadaan paroki semuanya dalam keadaan baik. Umat berkembang, keuangan
meningkat, ada program ini itu, dan lain sebagainya. Tentu uskup akan senang
dengan laporan ini, meski jika ditelisik dengan benar maka akan terlihat bahwa
tidak semuanya itu benar; atau mungkin kebalikannya.
Kita bisa bertanya kenapa imam-imam bermental Asal Uskup Senang? Apakah karena mereka meniru mental pejabat pemerintahan di era Orde Baru?
Jika diperhatikan dan direnungkan baik-baik, kita bisa menemukan tiga
alasan para imam bermental AUS. Pertama, ada imam yang memang
sudah memiliki karakter penjilat. Mental AUS dilakukan untuk membuat uskup
senang, karena dengan demikian ia memiliki citra positif di mata uskup. Ada
banyak keuntungan yang didapat dengan adanya citra positif ini, di antaranya
(1) pelanggengan kekuasaan. Karena positif di mata uskup dengan
cara menjilat supaya uskup senang, seorang imam bisa mempertahankan posisi
nyamannya. Posisi imam, entah sebagai pastor paroki entah ketua yayasan atau
lainnya, tak tergantikan meski kinerjanya kacau dan tak becus. Namun ia akan
tetap di posisi itu karena sudah positif di mata uskup. (2) kemudahan
jabatan. Karena positif di mata uskup dengan cara menjilat supaya uskup
senang, seorang imam bisa mendapatkan jabatan dengan sangat mudah. Sekalipun
banyak kinerjanya yang tak beres, namun karena sudah positif di mata uskup, ia
selalu mendapat jabatan. (3) pertahanan diri. Karena positif di
mata uskup dengan cara menjilat supaya uskup senang, seorang imam bisa mendapat
pertahanan diri langsung dari uskup jika ia mendapat kasus. Sekalipun ia
korupsi uang atau skandal lainnya, ia akan mendapat pembelaan dari uskup.
Kedua, cari aman. Mental AUS dilakukan demi
mencari aman. Sama seperti para pejabat di masa Orde Baru, para imam sudah tahu
kalau memberi laporan buruk atau negatif kepada uskup, maka uskup akan marah.
Mungkin sang imam tahu bagaimana keadaan uskup yang sedang marah. Bisa saja
sangat menakutkan atau mungkin imamnya memikirkan efek kemarahan itu bisa lari
ke kesehatan uskup (jantung, misalnya). Karena itu, demi amannya, imam terpaksa
menyampaikan hal-hal positif dan menghindari hal-hal negatif dalam laporannya.
Sikap cari aman ini terarah kepada dua pihak, yaitu uskup agar
tidak mendapat serangan jantung, misalnya; serta imam sendiri supaya
posisi jabatannya tak terusik dan terhindari dari ketakutan melihat amarah
uskupnya.
Ketiga, sikap apatis. Mental AUS dilakukan
sebagian imam karena ia bersikap apatis. Sikap ini lahir dari perjalanan
panjang. Mungkin sudah sering ia menyuarakan ketidak-beresan yang terjadi di
keuskupan, entah itu di yayasan atau juga di paroki, namun tak pernah
ditanggapi. Malah suaranya dirasakan aneh oleh uskup dan imam-imam, yang masuk
kategori penjilat. Ia seperti anak-anak kecil yang meniupkan seruling tapi
tidak ada yang menari atau menyanyikan kidung duka namun tak ada yang menangis
(bdk. Mat 11: 16 – 17). Karena berhadapan dengan kesia-siaan inilah, imam ini
memilih bersikap apatis. Di hadapan uskup ia akan bercerita tentang hal-hal
yang positif saja. Yang penting Uskup Senang. Bukankah menghibur orang itu
baik?
Dapat disimpulkan bahwa mental ABS atau AUS dapat menghambat perkembangan
Gereja. Uskup, sebagai pimpinan Gereja Lokal, tidak bisa melihat situasi
keuskupannya secara berimbang. Karena hanya mendapatkan laporan positif saja,
maka kebijakan uskup bisa tidak tepat sasaran. Umat, yang berada dalam situasi
negative, dipaksa untuk mengikuti arahan kebijakan keuskupan yang lahir dari
situasi positif. Selain itu, mental ini merusak kehidupan menggereja. Korupsi
bisa merajalela dan keburukan imam akan terpelihara karena ia bisa membuat
uskup senang.
Menilik semuanya ini, pusat masalahnya ada pada uskup. Dapat dikatakan, uskuplah yang menentukan wajah keuskupannya. Jika uskup suka akan mental atau prinsip AUS ini, maka wajah keuskupan bisa hancur. Tapi jika uskup lebih suka dengan apa adanya, maka wajah keuskupan bisa jernih.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar