
Salah
satu ciri khas buku-buku Karen Armstrong adalah memuji islam, dan pujian
tersebut dapat dikatakan ‘jauh panggang dari api’. Kenapa Karen melakukan hal
ini? Patut diduga salah satu alasannya adalah popularitas, baik dirinya maupun
bukunya. Di balik itu semua tentulah uang. Karena itu, buku-buku Karen termasuk
best seller, dan popular di kalangan
islam. Di Indonesia sendiri, buku-buku Karen diterjemahkan oleh penerbit Mizan,
salah satu penerbit islam. Dapat dipastikan, Penerbit Mizan mau menerbitkan
buku-buku Karen karena tulisan-tulisan Karen bernada positif terhadap islam.
Karena itu, dalam buku Sejarah Tuhan ini Penerbit Mizan tetap menyisipkan
wawancara Amazon.com dengan Karen Armstrong. Sebenarnya wawancara tersebut
tidak ada dalam buku aslinya, karena wawancara itu diadakan setelah terbitnya
Sejarah Tuhan. Jadi, Mizan segaja melampirkannya kembali karena dalam wawancara
itu pujian terhadap islam begitu nyata.
Bagaimana
bisa menjadi best seller? Sepertinya
Karen pintar membaca karakter orang islam, Kristen dan masyarakat lainnya. Umumnya
umat islam memiliki tipe emosional, melihat sesuatu berdasarkan perasaan.
Karena itu, salah satu ciri khas karakter islam adalah suka bila agamanya
dipuji. Umat islam bukan hanya senang, tetapi akan membela. Terkait dengan
buku, tentulah buku itu akan dibeli. Kalau buku yang menjelek-jelekkan islam, bukan
saja tidak akan dibeli tetapi pasti musnah dibakar api. Sedangkan orang Kristen
lebih menggunakan akal sehat. Apa pun yang dihadapinya akan ditelaah dengan
akal budi. Karena itu, buku Karen, sekalipun agak bernada negatif terhadap
kekristenan, tetap dibaca dengan kritis. Artinya, buku itu tetap akan dibeli.
Sementara itu, tak sedikit juga orang memiliki karakter melawan arus umum.
Banyak orang suka membaca buku-buku yang lain dari biasanya.
Positif Negatif Buku Ini
Patutlah
diakui bahwa “tak ada gading yang tak retak”. Demikian halnya dengan buku Karen
Armstrong ini, tak juga luput dari kekurangan atau kelemahan. Namun sebelum melihat
kekurangan dan kelemahannya, terlebih dahulu kita uraikan sisi positif buku
ini.
Pertama-tama
harus diakui, seperti kata Robert Runcie, bahwa buku ini menyegarkan pemahaman
tentang apa yang sudah diketahui dan memberikan pengenalan yang jelas tentang
yang tak diketahui. Pemikiran-pemikiran para teolog, filsuf dan sufi
benar-benar menyegarkan memori akan bahan kuliah dulu, namun tak sedikit juga
pencerahan yang didapat dari buku ini. Ada banyak pengenalan yang tak diketahui;
di antaranya adalah sbb:
·
Ideologi muruwah
(hlm 188). Ideologi ini sudah menjadi darah daging orang Arab dan tetap lestari
sekalipun Arab sudah menjadi islam. Dari sini kita dapat memahami karakter
orang islam dimana pun, sekalipun mereka bukan orang Arab. Hal ini membuktikan
kaitan erat antara Arab dan islam, yang tidak bisa dipisahkan.
·
Setan mendapat pengampunan di Hari Akhir
(hlm. 207). Pernyataan ini didasarkan pada ajaran Al Qur’an, namun sayangnya
Karen tidak mengutip surahnya.
·
Ada usaha Muhammad untuk mendekatkan agama
islam ke Yahudi (hlm. 212). Dengan kata lain, Muhammad berusaha untuk membuat
islam mirip dengan agama Yahudi. Mungkin tujuannya untuk menarik orang Yahudi
masuk islam. Hal ini seakan membenarkan apa yang sudah kami nyatakan dalam
“Muhammad Membawa Islam Kembali ke Tradisi Yahudi”.
·
Konflik antara Bernardus dan Petrus Abelardus
(hlm. 274 – 275). Informasi ini benar-benar dapat menggugat gelar yang
disandang Bernardus.
·
Sikap toleransi yang ditampilkan Kaisar
Moghul III (hlm. 346 – 347). Namun sebagaimana nasib orang islam yang toleran
lainnya, Kaisar Moghul III ini juga banyak ditentang. Mereka melihat sikap
toleran berbahaya bagi keimanan islam. Hal ini seakan membuktikan islam
bukanlah agama toleran.
·
Pada halaman 462 ada satu pernyataan menarik,
yaitu “Eropa telah menegakkan hegemoni ekonomi dan kultural selama abad
kesembilan belas atas nama modernisasi.” Yang dimaksud dengan “kultural” lebih
pada budaya, tidak ada kaitannya dengan agama. Pernyataan ini menarik karena
mematahkan argumentasi yang berkembang selama ini bahwa penyebaran kekristenan dilakukan
oleh negara kolonial.
Masih
ada banyak pengenalan baru lainnya. Yang jelas buku ini sungguh menambah
wawasan pengetahuan, tidak hanya tentang Tuhan, yang menjadi topik utama
bahasan buku ini, tetapi juga sejarah manusia umumnya dan tentang perkembangan
agama. Hal ini dibantu dengan terjemahan Indonesianya lumayan bagus, sehingga
seperti kata Anthony Burgess buku ini sangat enak dibaca, bahkan perlu dibaca.
Melihat
sumber-sumber telaah Karen dalam buku ini membuat isi buku ini sungguh dapat
dipertanggung-jawabkan. Akan tetapi, sekalipun dapat dipertanggung-jawabkan
bukan lantas berarti buku ini sudah sempurna. Masih ada beberapa kelemahan yang
harus diungkapkan. Misalnya, tidak adanya pembagian sub-sub bab dalam setiap
uraian bab, yang berisi tema-tema khusus perkembangan sejarah Tuhan, membuat
pembaca letih membacanya.
Kekurangan
lain dari buku ini, khususnya edisi Indonesia, adalah soal terjemahan. Memang
secara umum terjemahan Mizan sangat bagus dan enak dibaca. Namun sayang, ada
beberapa kata tidak benar-benar diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia.
Misalnya beberapa nama Kristen seperti Justin, Origen, Denys, Basil, Gregory,
dll (seharusnya Yustinus, Origenes, Dionisius, Basilius, Gregorius). Konsili
Trente pun masih ditulis Konsili Trent
dan Society of Jesus tak bisa
diterjemahkan padahal publik Indonesia sudah familiar dengan Serikat Yesus.
Selain
itu, seperti yang telah disampaikan di depan, sikap Karen terhadap tiga agama
yang menjadi topik bahasan buku ini tidak berimbang. Dan ternyata sikap Karen
ini sudah menjadi ciri khas dirinya, sehingga sikap Karen ini dapat juga
dilihat dalam buku-bukunya yang lain (baca Tinjauan Kritis Buku Perang Suci). Dalam buku ini Karen membahas 3 agama, yaitu
Yahudi, Kristen dan Islam. Terhadap agama islam, Karen lebih banyak memuji,
bersikap positif, sedangkan terhadap agama Yahudi Karen lebih banyak terlihat
netral, dan kepada agama Kristen Karen bersikap negatif. Misalnya, ketika
menyinggung soal pandangan agama terhadap kaum perempuan, Karen lebih menilai
negatif terhadap agama Kristen (hlm 176 – 177, 218) sedangkan islam terlihat
positif (hlm 218 – 219). Atau soal kekeliruan yang dilakukan Muhammad, namun
dirasionalisasikan oleh Karen (hlm. 207). Pada halaman 473 Karen menilai bahwa
agama Kristen bersifat irasional, percaya pada takhayul dan paganis.
Sikap
“anti” atau benci kepada kekristenan sekalipun dirinya lahir tumbuh dan besar
dari sana, berimbas juga pada sikap benci pada Barat. Misalnya dalam menilai
soal hak hukum bagi kaum perempuan (hlm. 218), dan pada halaman 470 Karen
mengungkapkan kebencian Barat yang begitu mendalam terhadap Nabi Muhammad dan
islam. Hal ini menjadi dasar munculnya istilah islamphobia. Sangat disayangkan Karen tidak sedikit mengupas soal
kebencian ini: apa dasar dan alasannya. Dapat dikatakan tudingan Karen ini
tidak berdasar, malah memutar balik kenyataan (silahkan baca: Memahami Islamphobia).
Karen
banyak memuji islam tanpa dasar. Misalnya, pada halaman 216 dikatakan bahwa
hingga wafatnya, umat islam terlibat dalam pertempuran untuk bertahan melawan
musuh-musuh yang berniat menghancurkan mereka. Pernyataan ini bertentangan
dengan kebanyakan sejarah. Contoh lain, Karen memuji bahwa Al Qur’an memberikan
perempuan hak-hak hukum dalam soal warisan dan perceraian. Hal ini bertentangan
dengan begitu banyak kajian tentang wanita dalam islam. Pujian lain terhadap Al
Qur’an misalnya dengan mengatakan “Al Qur’an menetapkan terwujudnya kasih
sayang dan masyarakat yang adil sebagai esensi agama Allah yang telah
direformasi” (hlm. 501) atau Al Qur’an bersikap sangat positif terhadap tradisi
agama lain (hlm 505). Sangat jelas pujian ini ‘jauh panggang dari api’.
Ketika
ada cacatan “buruk” Muhammad yang berhasil digoda setan sehingga melahirkan
ayat-ayat setan, Karen masih tetap membela Muhammad. Karen tidak melihat hal
tersebut sebagai sesuatu yang negatif. Pertama-tama Karen menyinggung soal
sumber (hlm. 205 – 206), yang secara tersirat hendak mengatakan bahwa peristiwa
tersebut harus diragukan. Lantas Karen mencoba merasionalisasikan “kekeliruan”
Muhammad ini dengan kekeliruan yang juga terjadi pada nabi-nabi lainnya (hlm.
207), meski Karen tidak menyebutkan contohnya. Karen sengaja tidak menyebutkan
contohnya karena akan terlihat betapa bodohnya dan patut diragukan kenabian
Muhammad dengan kekeliruan yang dialaminya.
Beberapa catatan kritis.
Sekalipun
uraian Karen Armstrong dalam bukunya ini ditunjang oleh sumber-sumber literatur
yang dapat dipercaya, bukan lantas berarti seluruh uraiannya adalah sebuah
kebenaran. Karena ternyata Karen tidak sepenuhnya memaparkan
pandangan-pandangan ahli sebelumnya apa adanya, tetapi telah memberikan
tafsiran pribadinya. Karena itulah, buku ini masih harus dikritisi. Kami hanya
menampilkan beberapa catatan kritis saja.
1.
Rekayasa
kenabian Muhammad. Ketika membaca dari halaman 189 hingga
halaman 214, kita dapat menemukan rekayasa kenabian Muhammad. Artinya, gelar
nabi hanyalah ide Muhammad tanpa ada kaitan langsung dengan Allah. Hal ini
mirip seperti yang dipaparkan Lesley Hazelton
dalam bukunya Muslim Pertama. Pada
buku Muslim Pertama, diawali dari masa kecil Muhammad, yang tidak diterima
dalam lingkungan keluarganya. Dia dibuang. Pengalaman pahit ini tentu membekas
sehingga menimbulkan obsesi di masa remajanya. Uraian berikutnya sudah sejalan
dengan buku Sejarang Tuhan ini. Kita uraikan poin-poinnya:
a) Pada
halaman 189 tertulis, “para saudagar yang bepergian ke Suriah atau Irak membawa
pulang kisah-kisah mengagumkan tentang kehebatan peradaban.” Kalimat ini
melanjutkan informasi bahwa orang Arab dikepung oleh dua imperium besar, yaitu
Persia Sassnian dan Byzantium (kristen). Istri Muhammad termasuk kelompok
saudagar. Dia sering juga bepergian didampingi oleh Muhammad. Bukan tidak
mustahil, Muhammad mendapat banyak informasi tentang kekristenan, sekalipun
informasi yang diterimanya keliru. Dari informasi yang diterimanya, ditambah
dengan obsesinya, Muhammad akhirnya mulai menyusun rancangan dirinya sebagai
nabi orang Arab.
b) Ternyata
obsesi Muhammad adalah juga mimpi orang Arab pada umumnya. Karen mengungkapkan
adanya rasa inferioritas spiritual di antara orang Arab (hlm. 191). Hal ini
didukung penelitian sejarahwan Kristen Palestina, Sozomenos, yang mengemukakan
bahwa pada awal abad kelima ada usaha pencarian terhadap agama asli Ibrahim (hanifiyyah). Ada 4 orang hanif, namun
yang disebut Karen hanya 3. Tidak jelas siapa hanif keempat. Namun peristiwa di
gua Hira dengan tokoh utamanya Muhammad, membuat orang berspekulasi bahwa
Muhammad adalah hanif keempat itu (hlm 192). Namun yang jelas, obsesi Muhammad
untuk tampil menjadi orang penting di tengah masyarakatnya (sebagai balas atas
pembuangan yang dialaminya pada masa kecil), sejalan dengan obsesi orang Arab
umumnya akan rasa inferioritas spiritual.
c) Pada
halaman 213 – 214, Karen menulis, “Pengetahuan baru tentang kitab suci ini juga
membantu Muhammad mengembangkan pandangan-pandangannya sendiri.” Mungkin dapat
dikatakan bahwa yang dimaksud ‘pandangan-pandangannya
sendiri’ adalah wahyu-wahyu, yang diklaim berasal dari Allah SWT. Padahal
semua itu berasal dari pengenalannya akan kitab suci orang Yahudi dan Kristen.
Tanpa sadar Karen menegaskan hal ini, “Dari orang-orang Yahudi Madinah yang
bersikap bersahabat, Muhammad juga belajar tentang kisah Ismail…” (hlm. 214).
Demikianlah terlihat rekayasa
kenabian Muhammad. Sejak kecil sudah muncul dalam dirinya obsesi menjadi
pemimpin, dihargai, bahkan ditakuti orang-orang, sebagai dampak dari
penderitaan yang dialaminya akibat dibuang. Dalam perjalanan sejarah, dia
menemukan “pintu masuk”, yaitu melalui agama. Setelah berkenalan dengan
kekristenan dan Yahudi, Muhammad mulai menyusun strategi, masuk dalam usaha
pencarian agama asli Ibrahim. Lalu dari gua Hira muncullah klaim kenabiannya.
Orang Kristen dan Yahudi di Arab langsung menolaknya, pertama-tama karena
“wahyu” yang disampaikan, yang katanya berasal dari Allah SWT, mirip tapi tak
sama, malah ada yang keliru.
2.
Sumber
pengetahuan. Karen menulis bahwa Muhammad telah
mendapatkan pemahaman luar biasa tentang realitas ilahi (hlm. 194). Sekilas
pernyataan ini merupakan pujian khas Karen. Namun sayang, Karen tidak berani
secara langsung menyebut dari mana sumber pengetahuan Muhammad itu, karena
takut akan ketahuan rekayasa kenabian Muhammad. Padahal pada halaman-halaman
lain terungkap sumber tersebut. Misalnya, pada halaman 189 dikatakan bahwa para
saudagar biasa bepergian ke tempat-tempat lain dan membawa peradaban dari
tempat lain. Peradaban ini tidak hanya sebatas budaya tetapi juga agama.
Kadijah, yang kemudian menjadi istri Muhammad yang pertama, adalah juga seorang
saudagar, ia juga sering bepergian didampingi Muhammad. Artinya, bukan tidak
mustahil Muhammad menyerap beberapa pengetahuan tentang agama Ibrahim (Yahudi
dan Nasrani). Dengan kata lain, Muhammad sudah bersentuhan dengan Alkitab dan
Taurat sebelum menerima wahyu. Karena itu, pada halaman 213 Karen menulis bahwa
pengetahuan baru tentang kitab suci itu membantu Muhammad mengembangkan
pandangannya (wahyu?).
3.
Al
Qur’an kontra sejarah. Pada halaman 198 Karen menulis “Al
Qur’an tidak mengajarkan sesuatu yang baru kepada kaum Quraish.” Dapat
dipastikan ini merupakan pujian Karen terhadap Al Qur’an. Senada dengan ini,
Karen mengatakan bahwa umat islam dituntut untuk menghargai aspirasi keagamaan
lain (hlm. 210), dan bahwa “Al Qur’an tidak mencela tradisi keagamaan lain
sebagai hal yang keliru atau tidak lengkap.” (hlm. 211). Di sini terlihat bahwa
pujian Karen terhadap Al Qur’an ini benar-benar tidak berdasar karena
bertentangan dengan kenyataan. Fakta historis mengatakan bahwa ada banyak
tradisi Quraish yang dibinasakan, meski tak sedikit juga yang berhasil
diislamkan. Sementara itu Al Qur’an menyalahkan keyakinan orang Kristen dan
juga sejarah umum bahwa yang mati di kayu salib itu adalah benar-benar Yesus.
Apa yang ditulis Karen ini
dapat ditemukan pertentangan dalam tulisannya sendiri. Pada halaman 197 Karen
menulis “Mereka [kaum Quraish, saya] secara implisit telah beriman kepada
Allah, yang menciptakan langit dan bumi, dan kebanyakan dari mereka meyakininya
sebagai Tuhan yang disebah oleh orang yahudi maupun Kristen.” Jika memang benar
Al Qur’an tidak mengajarkan sesuatu yang baru dan tidak mencela tradisi
keagamaan lain, kenapa Al Qur’an menyebut mereka (kaum Quraish, orang Yahudi
dan Kristen) sebagai kafir, yang merupakan bentuk penghinaan? Selain itu Karen
juga menyebut bahwa kaum Quraish tersinggung ketika dewa-dewi mereka
direndahkan Al Qur’an (hlm. 212). Sungguh bertentangan dengan pernyataan awal.
4.
Pujian
terhadap islam. Seperti yang telah disampaikan, Karen Armstrong
terlihat sangat positif terhadap islam, tetapi negatif dan penuh curiga juga
kebencian terhadap kekristenan. Karena itu, ketika membahas bab 4 tentang Tuhan
Kristen, Karen memulainya dengan kontroversi trinitas dan berlanjut dengan
kontroversi konsep creation ex nihilo.
Ada kesan yang mau dibangun di sini bahwa konsep Tuhan atau ajaran Kristen itu
tidak jelas atau penuh kontroversi, meski pada bab pendahuluan Karen menyatakan
bahwa dirinya disadarkan oleh para rabi, pendeta dan sufi agar tidak berharap
mengalami Tuhan sebagai fakta obyektif yang bisa ditemukan melalui proses
pemikiran rasional biasa (hlm. 21). Berbeda ketika Karen membahas bab 5 tentang
Tuhan Islam, dimana dia memulai dengan nada positif, pujian kepada Muhammad,
seolah-olah Muhammad murni mendapatkan wahyu dari Allah tanpa pernah
bersentuhan dengan tradisi agama sebelumnya. Hanya sayangnya, pujian Karen ini
tidak punya dasar yang kuat. Kita dapat mengajukan pertanyaan kritis: darimana
Karen tahu bahwa Muhammad tidak pernah membaca atau mendengar kisah dalam
Alkitab. Padahal pada halaman 189, 212 – 214 dapat dikatakan bahwa Muhammad
pernah bersentuhan dengan kitab suci orang Yahudi dan Kristen.
Ketika menyinggung
Marguerite-Marie, yang dituding penderita neurotik dan punya perasaan negatif
terhadap seks (hlm. 412), Karen seakan membenarkan. Tidak ada komentar lanjut.
Dia menampilkan informasi itu apa adanya tanpa memberi pendapat, sehingga
pembaca bisa saja menyimulkan bahwa memang Marguerite-Marie demikian adanya.
Akan tetapi, terhadap Muhammad, yang dituding banyak ahli menderita epilepsi,
obsesi dan gila seks, Karen berusaha menutup mata. Malah semuanya ditutup
secara spiritual, bahwa Allah benar-benar hadir (hlm. 193 – 195). Bahkan Karen
memuji Muhammad sebagai seorang jenius yang sangat luar biasa, yang dalam waktu
singkat berhasil menyatukan hampir semua suku Arab (hlm. 190). Tentulah umat
islam sangat senang dengan pujian ini dan menyimpulkan bahwa Karen ada di
pihaknya. Namun perlu diketahui bahwa salah satu ciri seorang psikopat adalah
jenius. Bukan tidak mustahil ada indikasi kepribadian psikopat dalam diri
Muhammad.
5.
Pemikir
esoterik islam hidup bebas. Pada halaman 241 Karen menulis, “Di
dunia Islam, pemikir-pemikir esoterik biasanya dibiarkan hidup bebas.”
Pernyataan ini hendak menegaskan perbedaan dengan apa yang terjadi dalam
kekristenan Barat. Sangatlah jelas ini merupakan pujian Karen kepada islam, dan
seperti pujian-pujian lainnya, pujian ini juga tidak memiliki dasar yang kuat.
Pertama-tama perlu dikritisi pemikiran esoterik mana yang bisa hidup bebas di
dunia islam. Dapat dipastikan hanya mereka yang memuji islam saja yang dapat
hidup bebas, sementara yang bersikap kritis atau sedikit berbeda dari pandangan
umum, sekalipun itu baik, akan mengalami nasib buruk. Sekedar menyebutkan
contoh adalah al-Hallaj, yang dibunuh karena pemikiran esoteriknya. Karen
sendiri menyebut bahwa kelompok pemikir esoterik sering dipandang oleh kaum
ulama sebagai bid’ah (hlm. 304). Bahkan hingga kini pun pemikir-pemikir islam
yang kritis cenderung mengalami nasib naas. Karena itu, banyak orang
berpendapat bahwa islam adalah agama anti kritik.
6.
Agama
hati. Istilah agama hati, dalam buku ini, baru muncul pada bab
9. Bagi Karen fenomena agama hati baru muncul pada Abad Pencerahan, ketika para
misionaris sekte Moravia, dalam melaksanakan misinya, meninggalkan semua
doktrin dan mengajarkan bahwa agama adalah urusan hari semata (hlm. 410). Ciri
agama hati adalah meninggalkan rasionalitas atas kebenaran iman dan beralih ke
hati. Kata “hati” di sini merujuk pada emosi perasaan. “Kebenaran” agama
ditentukan pada perasaan senang dan suka seseorang. Sejauh seseorang itu senang
dan suka, maka agama itulah yang benar.
Benarkah agama hati baru
muncul pada Abad Pertengahan (abad XVII – XVIII)? Kalau kita mau jujur, dengan
tetap berpatokkan pada buku ini, seharusnya agama hati sudah ada sejak
kemunculan islam. Banyak orang masuk islam pertama-tama bukan karena ajarannya
atau kebenarannya tetapi karena keindahannya. Pada halaman 202 – 204
membuktikan hal itu. Di sana ada kisah masuknya Umar ibn Khattab dan
orang-orang Quraisy ke agama islam. Karen menulis, “Bahkan orang-orang Quraisy
yang telah menolak Islam tak lupt terguncang oleh Al Qur’an…..” Keterguncangan
ini bukan disebabkan pada kebenaran ajaran islam, melainkan pada keindahan yang
menggugah emosi. Karen sendiri mengatakan, “Selama tiga tahun pertama tampaknya
Muhammad tidak menekankan kandungan monoteistik dari risalahnya.” (hlm. 204).
7.
Kisah
Umar ibn Khattab menjadi islam. Pada halaman 202 – 203,
Karen menceritakan kisah Umar ibn Khattab memeluk agama islam. Dalam kisah ini
terlihat nada positif Karen terhadap islam. Karen mengibaratkan kisah ini
dengan kisah pertobatan Saulus dari Tarsus. Tampak jelas bahwa perbandingan ini
not apple to apple. Kebencian Saulus
ditujukan kepada murid-murid Yesus. Dia berusaha mengancam dan membunuh mereka
(Kis 9: 1). Sementara kebencian Umar ibn Khattab ditujukan kepada Muhammad.
Jika Saulus bertemu dengan murid-murid Yesus, dapat dipastikan mereka akan
dibunuh atau ditangkap untuk dibawa ke Yerusalem. Pertobatan terjadi bukan
lantaran Saulus bertemu dengan murid-murid Yesus tetapi dengan Yesus sendiri
(Kis 9: 5), sedangkan Umar ibn Khattab bertemu dengan orang yang dibenci dan
ingin dibunuhnya (versi kedua). Karena itulah, patut dipertanyakan kebencian
dan hasrat Umar ibn Khattab ingin membunuh Muhammad. Jangan-jangan hal ini
dilebih-lebihkan untuk mendukung hebatnya Muhammad dan islam.
Karen menyebut ada dua versi
masuknya Umar ibn Khattab ke dalam islam. Melihat hal ini, kita jadi teringat
akan dua versi turunnya wahyu tentang kewajiban jilbab. Pertanyaannya, kenapa
muncul dua versi? Dari dua versi itu, versi mana yang benar? Karena tidak
mungkin kedua versi itu sama-sama benar. Yang pasti adalah salah satunya yang
benar atau juga kedua-duanya salah. Tidak bisa dua-duanya benar. Pada kedua
versi ini benar-benar terlihat perubahan sikap Umar ibn Khattab yang bergitu
mendadak. Hal ini membuat orang bisa menduga bahwa sebenarnya Umar ibn Khattab
tidak terlalu membenci Muhammad, apalagi ingin membunuhnya. Informasi kebencian
dan keinginan untuk membunuh itu dapat saja merupakan rekayasa untuk
menampilkan kehebatan Muhammad dan islam. Sementara itu, pada versi pertama,
perubahan sikap Umar ibn Khattab dilandaskan pada perasaan bersalahnya. Dia
telah melukai putrinya dan membuat malu tamunya, padahal dalam tradisi Arab
tamu wajib dihormati. Untuk menutupi rasa bersalahnya, Umar ibn Khattab
“pura-pura” merasakan keindahan Al Qur’an dan akhirnya memutuskan masuk islam.
8. Islam - Kristen.
Dalam halaman 469 Karen menilai bahwa hingga saat ini ada usaha Barat untuk
memajukan Kristen dengan cara menjatuhkan islam. Dalam penilaian ini terlihat
jelas sikap negatif Karen terhadap Barat dan sikap membela islam. Seperti
biasanya, ini adalah khas Karen agar bukunya diterima pembaca islam. Dan
seperti biasanya juga, penilaian Karen ini sama sekali tidak berdasar dan tidak
sesuai dengan kenyataan. Karen sendiri, dalam bukunya, menulis bahwa di Eropa
gereja-gereja mulai kosong (hlm. 484). Jika memang ada niat Barat memajukan
Kristen, tanpa harus menjatuhkan islam, gereja seharusnya penuh. Karena tidak
ada usaha untuk memajukan itulah, maka gereja terlihat kosong. Gereja atau
kekristenan sudah ditinggalkan. Fakta lain, justru islam berusaha untuk
menjatuhkan Kristen lewat politik migrasi. Kita dapat melihat perkembangan yang
begitu pesat islam di Eropa.
Penutup
Setelah
tiba di daerah Kaisarea Filipi, Yesus bertanya kepada para murid-Nya, “Menurut
orang banyak, siapakah Anak Manusia itu?” Mereka menjawab, “Ada yang mengatakan
Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Elia dan ada pula yang mengatakan
Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Kemudian Yesus bertanya lagi kepada
mereka, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” (Luk 9: 18 – 20; Mat 16: 13 – 15).
Kutipan
Injil Sinoptik tentang pertanyaan Yesus kepada para murid-Nya dapat disamakan
dengan pertanyaan siapa itu Tuhan yang menjadi tema dasar buku ini. “Anak
Manusia” yang dimaksud Yesus adalah diri-Nya sendiri, dan itu dapat disamakan
dengan Tuhan. Seperti dalam kisah Yesus, pertanyaan akhirnya ditujukan kepada
diri murid masing-masing, dan menjadi pertanyaan kita masing-masing: menurutmu,
siapakah Aku ini. Pada akhirnya masing-masing orang harus meninggalkan pendapat
orang banyak. Demikian halnya dengan Tuhan. Karen Armstrong sepertinya sampai
pada kesimpulan bahwa “setiap generasi memiliki kewajiban untuk menciptakan
konsepsi imajinatifnya sendiri tentang Tuhan.” (hlm. 452).
Konsep
atau gambaran tentang Tuhan akan selalu berbeda dari satu orang ke orang lain,
dari satu generasi ke generasi yang lain. Hal ini mirip seperti yang dikatakan
Mulla Sandra, “Tak ada dua orang manusia yang memiliki surga atau Tuhan yang
persis sama.” (hlm. 345). Akan tetapi, bukan lantas berarti Tuhan itu akan
selalu berubah-ubah. Tuhan itu tetap sama, sekalipun konsep dan gambaran
tentang Dia berbeda-beda. Tuhan itu kekal; alfa
dan omega.
Lingga, 26 Januari 2020
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar