Pengantar
Manusia
menjadi pusat dan sekaligus tujuan dari pembangunan. Pembangunan yang merusak
lingkungan, juga akan merusak manusia. Dalam Evengelii Gaudium, Paus
Fransiskus mengingatkan bahwa alam itu rapuh dan tidak mempunyai kemampuan
untuk membela diri terhadap eksploitasi yang dilakukan; oleh manusia. Paus juga
mengingatkan bahwa manusia bukan hanya sebagai pengguna alam semesta, tetapi
manusia juga harus sekaligus berperan sebagai penjaga dan pemelihara alam
semesta. Oleh karena itu, keberhasilan suatu pembangunan sangat ditentukan oleh
kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia menjadi kunci
penting untuk menuju kesejahteraan hidup. Sumber daya alam yang melimpah di
Indonesia akan dapat dimanfaatkan dengan baik dan benar (berkeadilan dan
berkeutuhan ciptaan) jika diimbangi dengan sumber daya manusia yang bermutu.
Salah satu cara untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah
dengan pendidikan.
Proses
pendidikan berawal dari dan dalam keluarga. Dalam pesan hari kedamaian sedunia,
Sri Paus Yohanes Paulus II tanggal 1 Januari 1994 menegaskah dan mengingatkan
kembali pentingnya keluarga sebagai ruang dan tempat untuk menumbuhkembangkan
pendidikan yang berkualitas. Keluarga, sebagai persekutuan pendidikan yang
fundamental dan esensial, merupakan sarana yang pertama dan paling istimewa
untuk mewariskan nilai-nilai agama dan budaya yang membantu manusia untuk
memahami realitas dirinya sebagai bagian dari seluruh ciptaan. Karena didirikan
atas dasar cinta kasih dan terbuka bagi anugerah kehidupan, keluarga dalam
dirinya sendiri berisikan masa depan masyarakat; dan tugasnya paling khusus
ialah untuk secara efektif memberikan sumbangan untuk masa depan yang penuh
damai. “Keluarga adalah sal dasar masyarakat, di mana kita meskipun berbeda,
belajar hidup bersama orang lain dengan menjadi milik satu sama lain; keluarga
juga merupakan tempat di mana orangtua mewariskan iman kepada anak-anak mereka”
(Evangelii Gaudium art.66).
Sejalan
dengan hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) ke-4 tahun 2015,
yang merefleksikan keluarga Katolik sebagai sukacita Injil; Panggilan dan
perutusan keluarga Katolik dalam Gereja dan masyarakat Indonesia yang majemuk,
gerakan APP Tahun 2017 mengambil fokus gerakan “Keluarga Berwawasan Ekologis”,
sebagai tema tahun pertama dari tema tiga tahunan Gerakan APP tahun 2017 -
2019, “Penghormatan dan Penghargaan Keutuhan Ciptaan Demi Kesejahteraan Hidup
Bersama".
Gerakan APP
Tahun 2017, “Keluarga Berwawasan Ekologis” mempunyai sasaran dan tujuan untuk
membangun dan mewujudkan perubahan dan pembaharuan iman umat:
1.
Menghormati dan menghargai alam semesta sebagal sumber dan penyangga
keberlangsungan hidup seluruh ciptaan.
2. Menyadari
fungsi dan peran manusia sebagai bagian dari keutuhan ciptaan yang bertanggung
jawab dalam menjaga dan memelihara, mengolah dan mengelola alam semesta sebagai
rumah bersama.
Wawasan
Ekologis; Ciptaan Sebagai Anugerah Allah yang Harus Dijaga dan Dipelihara
“Segala yang
diciptakan Allah adalah baik’ tulis Rasul St. Paulus (Tim. 4,4) yang
menggemakan ayat Kitab Kejadian yang mengungkapkan kepuasan Allah pada setiap
karya-Nya. Berkuasa atas ciptaan bagi umat tidak berarti merusaknya,
menyempurnakannya, mengubah dunia menjadi kekacauan melainkan menjadi tempat
tinggal bersama dengan saling menghormati satu sama lain. Inti hakiki ciptaan
adalah menjadi anugerah Allah, anugerah bagi semua ciptaan, dan Allah menghendakinya
demikian. Maka berlakulah perintah Allah, yaitu melestarikan bumi sebagai
anugerah dan berkat serta tidak mengubahnya menjadi sarana kekuasaan atau motif
perpecahan. Ciptaan adalah anugerah pertama yang diberikan oleh Allah kepada
manusia “untuk mengusahakan dan memeliharanya" (Kejadian 2,15). Ciptaan
diberikan kepada manusia sebagai sumber penghidupannya dan sarana pengembangan
hidup yang bermartabat, di mana semua anggota keluarga umat manusia harus
berbagi dalam semangat persaudaraan atas dasar kasih dan keadilan.
Paus Paulus
VI dalam Konferensi Tentang Lingkungan Hidup tahun 1972 menegaskan, bahwa
lingkungan hidup secara hakiki sangat mempengaruhi hidup dan perkembangan
manusia dan bahwa manusia pada gilirannya, menyempurnakan dan memuliakan lingkungannya
dengan kehadiran, pekerjaan, dan pemikirannya. Manusia dengan segala
keberadaannya sering mempunyai kecenderungan untuk mengorbankan alam dan
lingkungan hanya demi ambisi dan keakuan dirinya, hanya demi mengejar
pertumbuhan ekonomi semata dengan kurang memperhatikan keharmonisan dan
keutuhan ciptaan. Kemajuan peradaban berjalan seiring dengan semakin rusaknya
alam dan lingkungan. Hal ini menjadi tanda bagaimana peran alam mulai tersisih.
Peran alam sebagai penyangga seluruh kehidupan di atas permukaan bumi menjadi
semakin rapuh.
Krisis
ekologis yang terjadi saat ini, yang tampak dalam perubahan iklim, habisnya
sumber daya dan meningkatnya jurang antara si kaya dan si miskin, bermula dari
krisis dalam diri manusia. Pada abad terakhir ini, tampak jelas bahwa perubahan
sosial telah terjadi dengan besar-besaran. Pemahaman diri tentang apa itu
manusia berubah banyak. Pemahaman diri sebagai ciptaan berakal budi yang serba
kecukupan dan memiliki kebebasan untuk memilih apa yang baik dan cocok bagi
keberlangsungan hidup manusia, ke pemahaman diri sebagai ciptaan yang tidak
pernah dapat menjadi puas. Manusia menjadikan teknologi sebagai alat pemuas
hasrat yang tak terkendali.
Indikasi
paling mendalam dan serius implikasi moral yang mendasari soal ekologis adalah
kurangnya rasa hormat terhadap hidup yang tampak jelas pada banyak pola
pencemaran lingkungan. Seringkali kepentingan produksi diutamakan atas
keprihatinan martabat pekerjaan. Sedangkan kepentingan ekonomis didahulukan di
atas kesejahteraan umum. Demikian juga penyalahgunaan teknologi atas sumber
daya alam mengakibatkan desertifikasi, erosi dan kehilangan lahan yang layak
untuk pertanian dan peternakan, juga mengakibatkan pencemaran udara, air dan
tanah yang akan mempengaruhi hewan dan tumbuhan, kesehatan dan kesejahteraan
manusia. Pemanfaatan sembarang bahan baku pada gilirannya mengakibatkan
kehancuran dan kehilangan sumber daya tak terbarukan yang pada tahun-tahun
mendatang membahayakan masa depan dan mengakibatkan degradasi lingkungan.
Merusak keutuhan
ciptaan adalah cermin bahwa manusia kurang menghormati, menghargai dan
memuliakan Allah sebagai pemilik dan penguasa alam semesta. Paus Yohanes Paulus
II dalam Sollicitudo Rei Socialis sudah menegaskan bahwa persediaan
sumber-sumber alam itu terbatas keberadaannya. Bumi mesti diolah dengan sikap
syukur (Centesimus Annus, 1991). Sehingga dalam Audiensi Umum tahun
2001, Paus Yohanes Paulus II menyerukan pentingnya pertobatan ekologis. Seruan
ini ditegaskan kembali oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si,
yaitu membangun hubungan yang sehat dan benar dengan seluruh alam ciptaan dan
tidak lagi mengulang sikap dan perilaku yang merusak.
Visi
Ekologis dalam Keluarga; Segala Sesuatu Terkait dan Terhubung Sebagai Kesatuan
Ciptaan
Keluarga
membutuhkan rumah sebagai tempat tinggal, lingkungan yang layak, di mana mereka
dapat menjalin hubungan-hubungan yang layak. Untuk keluarga umat manusia, rumah
itu adalah bumi, lingkungan, yang diberikan Allah Pencipta kepada manusia
supaya dihuni dengan kreativitas dan tanggung jawab. Lingkungan dipercayakan
kepada manusia, agar manusia melindungi dan mengolahnya dalam kebebasan yang
bertanggung jawab, dengan kesejahteraan semua orang sebagai tolok ukur dalam
pemanfaatan atas seluruh realitas dunia yang ada.
Dari sudut
pandang trinitarian, realitas dunia ini sesungguhnya adalah Allah, manusia dan
ciptaan lain (baik yang terlihat maupun yang tak terlihat), yang disatukan oleh
Kekuatan Ilahi, Roh Allah sendiri, yang merupakan sumber yang menghidupkan dan
sekaligus yang menjaga keberlangsungan realitas tersebut. Melalui perjumpaan
atas realitas ini, manusia dipanggil untuk menemukan dan menyadari cinta Allah
dalam diri manusia dan ciptaan lainnya. Tentunya, untuk dapat mencapai itu
semua diperlukan suatu kesediaan untuk mengubah diri. Sama seperti solidaritas
manusia dalam dosa telah menjangkiti seluruh ciptaan, demikian juga penyembuhan
manusia akan mengalir kepada semua ciptaan, memulihkan kesatuan hingga semua
berbagi dalam berkah Allah yang sepenuhnya menerima semuanya sebagai
anak-anak-Nya. Relasi manusia dengan Aliahlah yang menentukan relasi dengan
sesama dan lingkungannya.
Pengelolaan
lingkungan yang benar seharusnya juga melibatkan dimensi ilahi, suatu dimensi
yang sering terlupakan. Krisis ekologi atau krisis lingkungan terjadi karena
ada kealahan dalam pengelolaan ini, yaitu dilupakannya dimensi ilahi ini. Akar
krisis ekologis ini terletak pada rusaknya hubungan manusia dengan Allam dan
dengan alam semesta. Ini berarti bahwa krisis ekologi hanya dapat diselesaikan
dengan menghadirkan kembali dimensi Ilahi dalam realitas hidup. Kristus sendiri
mengajar Gereja untuk mau merangkul dan masuk ke dalam realitas hidup sesama,
pribadi umat manusia (bdki/lat 25:31-46). Tugas ini menjadi berarti di tengah
berkembangnya budaya penyingkiran, atau globalisasi ketidakpedulian terhadap
keutuhan ciptaan. “Bukan hanya bumi dianugerahkan Allah kepada manusia,
melainkan manusia dari dirinya sendiri adalah anugerah dari Allah dan, oleh
karenanya, harus menghormati struktur kodrati dan moral yahg telah
dianugerahkannya” (Centesimus Annus, art. 38).
Gerak Tobat
Ekologis dalam Keluarga
Keluarga
adalah sel dasar masyarakat. Sebagai sel dasar, keluarga menjadi titik awal
untuk membangun gerak ‘tobat ekologis’ yang akan menumbuhkan dan mengembangkan
pembahan dan pembaharuan sikap dan tindakan hidup yang berwawasan ekologis
dalam membangun keutuhan hidup bersama. Keutuhan hidup bersama dipahami sebagai
suatu relasi harmonis antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam
ciptaan dan manusia dengan Allah Sang Pencipta. Keutuhan hidup mencakup manusia
dan lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup atau ekologi mempunyai fungsi
penyangga peri kehidupan yang amat penting. Oleh karena itu, membangun sikap
hormat terhadap hidup dan keutuhan ciptaan menjadi dasar dari gerak tobat
ekologis.
Hormat
terhadap hidup, terutama terhadap martabat pribadi manusia adalah norma pedoman
utama untuk setiap kemajuan ekonomi, industri dan terknologi yang sehat. Hormat
yang melengkapi terhadap pribadi dan hidup manusia ialah tanggung jawab
menghormati seluruh ciptaan. Allah adalah pencipta dan perancang alam semesta.
Alam semesta dan hidup dalam segala bentuknya merupakan kesaksian kuasa Allah
yang kreatif, kasih-Nya, kehadiran-Nya terus menerus. Segala ciptaan
mengingatkan akan misteri dan kasih Allah.
Langkah
pertama dalam menumbuhkan gerak tobat ekologis adalah menyandarkan diri dan
membuahkan kembali perjumpaan dengan Kristus, akan Injil-Nya. Hal ini merupakan
langkah spiritual, menempatkan hidup terutama dalam relasi personalnya dengan
Kristus dan menyatukan hidupnya dalam hidup Kristus sebagaimana Kristus bersatu
dengan Allah Bapa-Nya. Oleh sebab itu, menjadi penting membangun kesadaran
bahwa Kristus sungguh berarti bagi diri kita masing-masing, secara pribadi.
Kesatuan Yesus yang dalam dengan Bapa dinyatakan bukan hanya dalam identifikasi
diri-Nya dengan semua manusia, tetapi juga dalam kesatuannya dengan alam
semesta. Allah secara aktif memelihara dan menyelenggarakan hidup bagi semua
ciptaan setiap hari, setiap saat (Matius 6,25 - 30). Penciptaan bukan sekali
jadi, melainkan terus menerus berlangsung sebagaimana ditunjukkan melalui
pembuktian ilmiah atas evolusi semesta. Daya kreatif Allah terus berlangsung
dalam hidup semesta yang ada dalam kesatuan yang sekaligus saling terhubung dan
tergantung, sehingga tidak ada satu pun peristiwa yang terisolir di dalam
sejarah semesta. Segala sesuatu terkait dan terhubung sebagai kesatuan ciptaan.
Kesadaran ini akan mengubah dan memperbaharui cara bersikap dan bertindak atas
hidup.
Pola
konsumsi yang menimbulkan sandungan dan pemborosan segala macam sumber daya
oleh sedikit orang harus diperbaiki untuk menjamin keadilan dan pengembangan
lestari bagi semua ciptaan. Paus Yohanes Paulus II mengingatkan bahwa,
“kesederhanaan, pengendalian diri dan disiplin, demikian juga semangat
berkorban menjadi bagian hidup sehari-hari, agar jangan semua orang menderita
konsekuensi negatif dari kebiasaan sembarang sedikit orang”.
Membuat
prioritas konsumsi dengan mengedepankan penghematan atas konsumsi keluarga
dalam segala bidang bisa dihayati sebagai cara partisipasi dalam pemeliharaan
ekosistem. Memenuhi kebutuhan domestik dengan upaya kreatif bersama, alih-alih
mengandalkan teknologi dan produk turunannya bisa melatih komunitas dalam
menghargai proses. Promosi, dukungan dan partisipasi dalam gerak komunitas
lokal yang memiliki strategis bisa menjadi kesempatan melatih diri dalam
keterlibatan yang lebih luas dengan semua orang yang berkehendak baik untuk
melestarikan budaya kehidupan dan alam semesta.
Penutup
Keluarga
berwawasan ekologis berarti keluarga yang memahami dan menyadari akan
keberadaannya sebagai keluarga manusia yang segala sesuatunya terkait dan
terhubung sebagai kesatuan ciptaan dari Pencipta Alam Semesta. Dengan demikian,
Allah Pencipta Alam Semesta akan tercermin dari segala ciptaan-Nya. Seperti
tergambar dalam Kidung Gita Sang Surya Santo Fransiskus dari Assisi:
"Terpujilah Engkau, Tuhanku, bersama semua Makhluk-Mu,
terutama Tuan Saudara Matahari:
dia terang siang hari, melalui dia kami Kau beri terang.
Dia indah dan bercahaya dengan sinar cahaya yang cemerlang;
tentang Engkau, Yang Mahaluhur. dia menjadi tanda lambang.
Terpujilah Engkau. Tuhanku,
karena Saudari Bulan dan bintang-bintang,
di cakrawala Kau pasang mereka, gemerlapan, megah dan indah.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Angin,
dan karena udara dan kabut, langit yang cerah dan segala cuaca,
dengan-Nya Engkau menopang hidup makhluk ciptaan-Mu.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Air;
dia besar faedahnya, selalu merendah, berharga dan murni.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Api,
dengannya Engkau menerangi malam;
dan indah, cerah ceria, kuat dan perkasa."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar