Pengantar
“Mewujudkan Hidup Sejahtera”
menjadi garapan tema Gerakan APP tahun 2012 – 2016. Hidup sejahtera berarti
hidup dalam kebenaran,damai dan sukacita. Ketiga faktor ini merupakan nilai
fundamental Kerajaan Allah yang akan meresapi dan mewujud dalam tatanan kehidupan
konkret manusia seturut dimensi hidupnya. Dimensi hidup manusia, sebagai
makhluk individu (religius) yang hidupnya terarah kepada Allah, akan bertumbuh
dan berkembang dalam perjumpaannya di tengah-tengah umat manusia (masyarakat)
dan lingkungan hidupnya (alam semesta) sebagai makhluk sosial.
Mewujudkan hidup sejahtera
menjadi arah dan tujuan hidup manusia. Panggilan dan tanggung jawab hidup
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial terungkap dan terwujud
dalam kerja. Kerja sebagai pengungkapan diri (individu) dan sekaligus menjadi
sarana yang efektif untuk melawan kemiskinan dan menuju kesejahteraan hidup
(bdk. Amsal 10,4), serta mempraktekkan suatu belarasa yang dapat diwujudkan
dengan berbagi hasil kerja dengan mereka yang berkekurangan (bdk. Effesus
4,28). Kerja sebagai wujud keluhuran martabat manusia. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa kerja itu suci dan untuk mencapai kesucian, manusia harus
belajar sepanjang hidup. Kesucian kerja itu dinyatakan dengan mengolah dan
mengelola hidup sebagai karunia dan rahmat Allah yang ditujukan untuk mencapai
kepenuhan kesejahteraan hidup bersama. Proses pergulatan hidup manusia untuk
mengolah dan mengelola hidup sebagai rahmat dan karunia Allah akan
melahirkan daya hidup sebagai daya juang untuk hidup pantang menyerah. Daya
hidup yang dimaksud adalah ketekunan, keuletan dan kesabaran yang akhirnya akan
mendasari dalam proses mewujudkan kemandirian dan keberlanjutan kesejahteraan
hidup. Hal ini, sudah menjadi pengolahan bersama dalam Gerakan APP Tahun 2012
– 2016.
Kemandirian dan
keberlanjutan hidup sejahtera terarah pada kesejahteraan hidup bersama.
Kesejahteraan hidup bersama mencakup hubungan antara manusia dengan manusia,
manusia dengan alam ciptaan dan manusia dengan Allah. Kesejahteraan hidup bersama
terbangun dalam keutuhan ciptaan. Pembaharuan dan perubahan hidup terus menerus
dalam memandang keutuhan ciptaan sebagai bagian utuh kesejahteraan hidup
manusia menjadi tema sentral dalam Gerakan APP Tahun 2017 – 2019, “Penghormatan
dan Penghargaan Keutuhan Ciptaan Demi Kesejahteraan Hidup Bersama”. Hal ini
melanjutkan Gerakan APP Tahun 2012 – 2016 “Mewujudkan Hidup Sejahtera”.
Dasar Perumusan
Gerakan APP
Indonesia adalah negara
dengan tingkat keberagamaan yang tinggi, dimana perbedaan antar daerah merupakan
suatu konsekuensi logis dari perbedaan karakterisrik alam, ekonomi, sosial dan
budaya. Sebaran sumber daya alam, khususnya minyak dan gas, dan pertumbuhan
pusat perdagangan dan industri yang terkonsentrasi di beberapa daerah
menyebabkan timbulnya kantong-kantong pertumbuhan, sehingga ketimpangan
pendapatan antar daerah menjadi tinggi. Tingginya kekayaan daerah tidak secara
signifikan diikuti oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi pula.
Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi yang tinggi kurang memberikan pengaruh
signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Papua. Selama
kurun waktu 2006-2013, prosentase penduduk miskin di provinsi ini berkurang
sebesar 8,16 persen dan masih menempati urutan tertinggi secara nasional serta
lebih tinggi dari persentase penduduk miskin nasional (BPS, 2013). Kemiskinan
di Papua disebabkan karena kemiskinan struktural, yaitu akibat struktur sosial
dalam masyarakat. Masyarakat Papua kurang mampu memanfaatkan pengelolaan sumber
daya alam yang melimpah dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan tingkat
pendidikan yang dimiliki. Jadi, terdapat kegagalan untuk merefleksikan kekayaan
daerah ke dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya di beberapa
daerah di Papua.
Sementara itu, masyarakat
lokal, khususnya penduduk asli sangat terkait dengan daerahnya, mengingat
sentimen psikologis dan kultural mengatakan bahwa mereka adalah pewaris utama
dari kekayaan alam yang terdapat di daerah mereka. Penduduk asli tidak
merasakan manfaat secara langsung dari kekayaan daerah yang ada di sekitar
mereka. Sebagaimana diketahui, di sekitar daerah pembangunan berbasiskan
kelimpahan sumber daya alam atau kantong-kantong eksploitasi (minyak-gas,
pertambangan lainnya, hutan, perkebunan, dan lain lain) ditemukan adanya kelompok-kelompok
masyarakat yang tertinggal dan terlupakan di tengah hiruk-pikuk pengerukan
sumber daya alam di sekitar mereka. Mereka umumnya adalah penduduk asli daerah
yang bersangkutan. Suatu keadaan yang betul-betul mengusik rasa keadilan.
Bahkan “keadaan” seperti telah menempatkan mereka hanya sebagai penonton,
bahkan sebagai korban, dengan dalih pembangunan dan pemerataan. Situasi ini
membuat masyarakat rentan konflik, dan semakin melebarkan jarak antara orang
kaya dan orang miskin sebagai akibat dari kemiskinan struktural yang terjadi.
Daerah dengan sumber daya
alam yang kaya ternyata belum menjamin secara langsung bahwa masyarakatnya akan
sejahtera. Golongan miskin tidak mendapat keuntungan dari sumber daya tersebut
karena adanya struktur yang menjadi penghalang. Struktur yang dimaksud di sini
adalah struktur kekuasaan dan tata pemerintahan, serta struktur
sosial lebih luas yang menyebabkan terjadinya ketimpangan, ketersisihan
dan hilangnya kapabilitas seseorang untuk mendapatkan sumber daya yang ada.
Di sisi lain, ada daerah
dengan faktor alam dan letak geografis yang kurang menguntungkan sehingga
ketersediaan jumlah dan kualitas sumber daya air bagi masyarakat petani lahan
kering, baik untuk kebutuhan primer dan sekunder umumnya sangat terbatas. Jauhnya
lokasi sumber air mengakibatkan berkurangnya alokasi waktu masyarakat untuk
kegiatan yang bersifat produktif. Upaya untuk menyediakan sumber daya air
kurang maksimal, karena kebijakan pembangunan pengairan lebih memprioritaskan
pada masyarakat di daerah hilir. Hal ini terkait dengan asumsi bahwa
pengembalian atas mahalnya investasi pembangunan sarana air hanya dapat
dilakukan oleh masyarakat kota dan lahan basah. Ini berarti, kelangkaan sumber
daya air yang dirasakan masyarakat lahan kering lebih terkait dengan masalah
distribusi sumber daya air yang belum adil dan merata. Karenanya, penyediaan
sumber daya air bagi masyarakat akan memberi dampak nyata terhadap perubahan
kualitas kehidupan sosial-ekonominya.
Setiap warga memiliki hak
asasi atas air sebagaimana halnya hak atas kesehatan dan pendidikan. Bagi
banyak orang, air tidak dapat dipikirkan sebagai sebuah “komoditas” yang harus
dibeli dan dijual. Air selalu dilihat sebagai suatu “modal publik” karena air
sangat hakiki, bukan saja untuk kehidupan manusia, melainkan juga untuk hewan
dan tanaman seperti juga untuk kehidupan bumi itu sendiri. Sebagai bagian dari
hak asasi warga negara, negara wajibmenghormati dan melindungi hak warga negara
atas air. Hak penguasaan negara atas air dikatakan masih eksis bilamana negara
yang oleh konstitusi diberikan mandat untuk membuat kebijakan memegang kendali
untuk melaksanakan pengurusan, tindakan pengaturan, tindakan pengelolaan, dan
tindakan pengawasan.
Perumusan
Gerakan APP
“Kegembiraan dan harapan,
duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa
saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para
murid Kristus juga” (Gaudium et Spes. art.1). Oleh karena itu, kehadiran Gereja
di tengah-tengah umat manusia yang menderita ketidakadilan dan ancaman terhadap
keutuhan ciptaan menjadi sangat nyata. Dokumen Kepausan yang secara khusus
berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah pembangunan, “Berdamai dengan
Allah Pencipta, berdamai dengan segenap ciptaan” (1 Januari
1990) menegaskan bahwa setiap orang Kristen mesti menyadari bahwa tugas
mereka terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian esensial dari iman mereka.
Alam semesta disediakan oleh
Allah untuk keberlangsungan hidup manusia. Peningkatan jumlah penduduk, peningkatan
kebutuhan pangan dan kemajuan ilmu dan teknologi membawa dampak terhadap
keutuhan alam semesta. Kemajuan ilmu dan teknologi membuat manusia semakin
mampu menjangkau dan mengeksploitasi alam semesta. Alam semesta
menjadi subyek ekonomis untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Pemanfaatan hutan (penebangan kayu) yang kurang/tidak berwawasan lingkungan,
pengambilan bahan tambang yang menyisakan limbah beracun, privatisasi air yang
berorientasi keuntungan ekonomis, dan pemaksaan lahan-lahan pertanian yang
merusak tanah dan menyisakan residu-residu kimia, adalah sikap dan tindakan
manusia yang memandang alam sebagai obyek ekonomis. Merusak keutuhan ciptaan
adalah cermin bahwa manusia kurang menghormati, menghargai dan memuliakan Allah
sebagai pemilik dan penguasa alam semesta. Paus Yohanes Paulus II dalam
Sollicitudo Rei Socialis sudah menegaskan bahwa persediaan sumber-sumber alam
itu terbatas keberadaannya. Bumi mesti diolah dengan sikap syukur (Centesimus
Anus, 1991). Sehingga dalam Audiensi Umum tahun 2001 Paus Yohanes Paulus
II menyerukan pentingnya pertobatan ekologis. Seruan ini ditegaskan kembali
oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik dalam Laudato Si, yaitu membangun hubungan
yang sehat dan benar dengan seluruh alam ciptaan dan tidak lagi mengulang sikap
dan perilaku yang merusak.
Gereja perlu menyadari bahwa
kehadiran penyadaran kemanusiaan dalam hal tata kelola lingkungan dan bumi
beserta isinya bukanlah pertama-tama persoalan teknis, tetapi bagaimana
menyadarkan umat bersama masyarakat menemukan dan menata kembali pemanfaatan
alam semesta yang berkeadilan sosial dan berkeutuhan ciptaan sehingga menjadi
bermanfaat bagi peningkatan hidup manusia, yaitu terlepas dari kemiskinan, dan
pada gilirannya mengembangkan kemampuan hidup untuk membangun kemandirian dan
keberlanjutan kesejahteraan hidup bersama.
Gerakan APP
Tahun 2017 – 2019
Inspirasi dasar APP
bersumber pada pemurnian makna dan jiwa puasa yang sesuai dengan kehendak Allah
seperti yang diserukan oleh nabi Yesaya, “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya
engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan talitali kuk, supaya
engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya
engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang
miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya
engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu
sendiri!”. Karena itu hasil yang paling dinantikan dari Gerakan APP adalah
gerakan aktualisasi iman kristiani dalam bentuk perubahan dan pembaharuan diri
yang semakin sesuai dengan jatidirinya yang sejati sebagai manusia yang
diciptakan secitra dengan Allah.
Manusia menjadi pusat dan
sekaligus tujuan dari pembangunan. Pembangunan yang merusak lingkungan, juga
akan merusak manusia. Dalam Evengelii Gaudium, Paus Fransiskus mengingatkan
bahwa alam itu rapuh dan tidak mempunyai kemampuan untuk membela diri terhadap
eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Paus juga mengingatkan bahwa manusia
bukan hanya sebagai pengguna alam semesta, tetapi manusia juga harus sekaligus
berperan sebagai penjaga dan pemelihara alam semesta. Oleh karena itu,
keberhasilan suatu pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya
manusia. Kualitas sumber daya manusia menjadi kunci penting untuk menuju
kesejahteraan hidup. Sumber daya alam yang melimpah di Indonesia akan
dapat dimanfaatkan dengan baik dan benar (berkeadilan dan berkeutuhan ciptaan)
jika diimbangi dengan sumber daya manusia yang bermutu. Salah satu cara untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan memberikan
pendidikan yang berkualitas. Pada saat yang sama, pendidikan juga harus
didasarkan atas asas pemerataan agar terwujud keseimbangan kesejahteraan di
setiap daerah.
Proses pendidikan berawal
dari dan dalam keluarga. Dalam pesan Hari Kedamaian Sedunia, Sri Paus Yohanes
Paulus II tanggal 1 Januari 1994 menegaskan dan mengingatkan kembali pentingnya
keluarga sebagai ruang dan tempat untuk menumbuhkembangkan pendidikan yang
berkualitas. Keluarga, sebagai persekutuan pendidikan yang fundamental dan
esensial, merupakan sarana yang pertama dan paling istimewa untuk mewariskan
nilai-nilai agama dan budaya yang membantu manusia memperoleh identitasnya
sendiri. Karena didirikan atas dasar cinta kasih dan terbuka bagi anugerah
kehidupan, keluarga dalam dirinya sendiri berisikan masa depan masyarakat; dan
tugasnya paling khusus ialah untuk secara efektif memberikan sumbangan untuk
masa depan yang penuh damai. “Keluarga adalah sel dasar masyarakat, dimana kita
meskipun berbeda, belajar hidup bersama orang lain dan menjadi milik satu sama
lain; keluarga juga merupakan tempat dimana orangtua mewariskan iman
kepada anak-anak mereka”(Evangelii Gaudium 66).
Sidang Agung Gereja Katolik
Indonesia (SAGKI) ke 4 tahun 2015 merefleksikan keluarga Katolik sebagai
sukacita Injil; Panggilan dan perutusan keluarga Katolik dalam Gereja dan
masyarakat Indonesia yang majemuk. Menumbuhkan kembali dan mengembangkan
komunikasi kasih dan kemampuan perutusan cinta kasih dalam keluarga guna menghadirkan kesejahteraan
hidup bersama yang penuh dengan kedamaian. Atas dasar peristiwa dan tema
pastoral SAGKI ke 4 tahun 2015 yang dibuat lima tahun sekali, gerakan APP tahun
2017 – 2019, “Penghormatan dan Penghargaan Keutuhan Ciptaan Demi Kesejahteraan Hidup
Bersama” akan direfleksikan dan digulirkan melalui tata kelola nilai hidup
dalam keluarga, yang secara tematis akan dibuat dalam tema tahunan.
1. Gerakan APP
Tahun 2017,
“Keluarga
Berwawasan Ekologis”.
Keluarga adalah sel dasar
masyarakat. Sebagai sel dasar, keluarga menjadi titik awal untuk membangun
‘tobat ekologis’ yang akan menumbuhkan dan mengembangkan sikap hidup dan
tindakan hidup yang berwawasan ekologis dalam membangun keutuhan hidup bersama.
Keutuhan hidup bersama dipahami sebagai suatu relasi harmonis antara manusia
dengan manusia, manusia dengan alam ciptaan dan manusia dengan Allah Sang
Pencipta. Keutuhan hidup mencakup manusia dan lingkungan hidupnya. Lingkungan
hidup mempunyai fungsi penyangga peri kehidupan yang amat penting. Oleh karena
itu, pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk mempertahankan
keberadaannya dalam keseimbangan yang dinamis untuk dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan hidup bersama. Hal ini menjadi tanggung
jawab semua orang, dan tanggung jawab ini dimulai dari dan dalam pendidikan
keluarga.
2. Gerakan APP tahun 2018
“Kesetiakawanan
Sosial Demi Keutuhan Ciptaan”
Kesetiakawanan sosial adalah
sikap dan perilaku yang dilandasi pengertian akan kesadaraan tanggung jawab dan
partisipasi sosial untuk peduli dan terlibat dalam realitas sosial hidup
manusia dengan seluruh keutuhan ciptaan yang ditandai dengan keharmonisan
hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan seluruh ciptaan dan
manusia dengan Sang Pecipta. Hubungan ini didasarkan atas Kerahiman Allah.
Kerahiman Allah adalah kepeduliaan Allah yang penuh kasih kepada manusia. Allah
menginginkan manusia hidup sejahtera, dan menghendaki manusia hidup bahagia,
penuh sukacita dan damai. Karena itu, syukur atas keutuhan ciptaan dinyatakan
dengan tindakan keadilan terhadap seluruh ciptaan. Keadilan merupakan sikap
kesediaan manusia untuk menghindari perusakan lingkungan hidup, dan
tindakan-tindakan yang dapat mengganggu keseimbangan lingkungan hidup
bertentangan dengan keadilan.
3. Gerakan APP Tahun
2019,
“Literasi
Teknologi dan Keutuhan Ciptaan”
Segala yang ada di dunia ini
digerakan oleh alam. Oleh karena itu, manusia wajib tunduk dan mengakui apa
yang telah ditetapkan oleh alam. Keserasian dan keharmonisan hidup dengan dan
bersama alam ciptaan hendaknya menjadi dasar dalam literasi teknologi, yang
akan mengarahkan pada keutuhan ciptaan dan kesejahteraan hidup bersama.
Literasi teknologi adalah kemampuan untuk memahami teknologi bekerja, bagaimana
seseorang berhasil mendapatkan dampak atau menggunakan kemajuan teknologi
dengan bijak dan tepat guna menurut kaidah kemanfaatan bagi hajat hidup orang
banyak dan tidak merusak keutuhan ciptaan. Hal ini sejalan dengan penegasan
Paus Yohanes Paulus II dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB pada 1 Januari 1990,
“Kita tidak menolak IPTEK modern, tetapi IPTEK modern yang merusak lingkungan
hidup harus ditolak. Karena merusak lingkungan hidup adalah melanggar moral,
sedangkan melestarikan lingkungan hidup merupakan kewajiban moral”. Lebih
lanjut Paus Fransiskus dalam ensiklik “Laudato Si” menyatakan dengan jelas
bahwa “Rasa persatuan mendalam dengan makhluk lain dan alam tidak mungkin
menjadi nyata jika pada saat yang sama hati kita tidak dipenuhi kelembutan,
kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama manusia” (art. 91) dan kita tidak
dipanggil untuk menjadi penguasa dunia, tetapi pengelola yang bertanggung
jawab.
Penutup
Gerakan Aksi Puasa
Pembangunan (APP) sebagai gerakan tobat dan solidaritas Gereja Katolik akan
membawa pada pembaharuan dan perubahan sikap hati dan tindakan hidup bersama
sebagai keluarga Allah. Gerakan APP Tahun 2017 – 2019, “Penghormatan dan
Penghargaan Keutuhan Ciptaan Demi Kesejahteraan Hidup Bersama” akan menjadi
gerakan bersama Gereja Katolik Indonesia. Semoga dengan gerakan ini, umat
manusia akan semakin menempatkan diri sebagai saudara dan saudari dengan
seluruh ciptaan yang sama-sama hidup bersama sebagai keluarga Allah.
Blog Anda Copas http://www.sesawi.net/app-2017-2019-penghormatan-dan-penghargaan-keutuhan-ciptaan-demi-kesejahteraan-hidup-bersama/
BalasHapusTerima kasih atas komennya. Saya sudah lupa apakah saya copas atau bukan. Tapi, kalau saya copas, pasti sudah saya tulis sumbernya. Kalau tak salah ingat, saya mengetik ulang dari selebaran atau buku kecil yang diterbitkan Komisi PSE KWI. Namun sayangnya, saya tidak menyertakan sumbernya.
HapusYang pasti, tulisan di atas memang bukan tulisan saya. Karena itu, tidak ada data penulisnya. Saya hanya membantu menyebar-luaskan gagasan baik di dalamnya.