Hidup manusia
selalu bergerak maju ke depan, bukan ke belakang. Apa yang ditinggalkan di
belakang menjadi sejarah kehidupan. Kemajuan hidup itu bisa hanya menyentuh
pribadi indvidu, bisa juga menyangkut suatu kelompok/bangsa. Terkadang kemajuannya
cukup pesat sehingga gerak langkahnya maju ke depan. Tingkat kemajuan tidak
sama untuk setiap orang atau bangsa. Ada bangsa yang sangat maju ke depan,
sementara yang lain masih tertatih-tatih di belakang.
Ada banyak faktor yang menyebabkan adanya perbedaan dalam
kemajuan suatu bangsa atau kelompok tertentu. Salah satunya adalah faktor pola
pikir. Masih ada orang atau sekelompok orang yang masih berpikir tradisional
sehingga menolak adanya perubahan. Orang yang mau berpikiran maju tentulah akan
terlihat maju dalam segala aspek kehidupan.
Salah satu aspek kemajuan dalam kehidupan manusia adalah
teknologi. Ada banyak bentuk kemajuan teknologi ini, salah satunya adalah
teknologi komunikasi. Dulu, untuk berkomunikasi dengan saudara di tempat yang
jauh, orang menggunakan surat atau telegram. Selangkah lebih maju, kemudian
muncullah telepon. Kehadiran telepon sangat terbatas; hanya keluarga tertentu
yang punya telepon rumah, sisanya hanya bisa menggunakan fasilitas telepon
umum.
Kemudian muncullah handphone.
Awalnya hanphone murni hanya sebatas alat komunikasi (telepon dan pesan
singkat). Namun kini, semua media sosial ada dalam genggaman tangan manusia. Benda
kecil yang ada di genggaman tangan manusia ini dikenal dengan istilah smartphone. Dengan segera manusia dapat
mengetahui apa yang terjadi di belahan bumi lainnya. Tapi, apakah manusia
penggunanya sudah ikutan maju seiring dengan media elektronik ini?
Jika kita perhatikan dengan seksama di media sosial, banyak
orang berpendapat, berteori bahkan berpolitik secara menumpahkan emosi, tanpa
menggunakan rasio. Sering juga dijumpai ada orang yang tiba-tiba merasa ahli,
meski semakin mereka berpendapat semakin mereka kelihatan bodohnya. Bahkan ada
orang memanjatkan doa melalui media sosial sehingga urusan kita dengan Tuhan
terpublikasi ke publik. Padahal Yesus sudah berpesan, “Jika engkau berdoa,
masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada
di tempat tersembunyi.” (Matius 6: 6).
Kita tidak tahu apakah hal-hal tersebut di atas memang
merupakan kebutuhan, kebodohan atau bahkan pendangkalan. Yang jelas terlihat
jelas bahwa banyak orang tidak siap dengan kemajuan teknologi komunikasi ini. Rhenald
Kasali, dosen di Universitas Indonesia, pernah mengomentari soal smartphone ini, yaitu bahwa yang pintar
sebenarnya adalah phone-nya,
sementara manusia tetap bodoh.
Penggunaan dan ketergantungan orang pada smartphone ini semakin menggila. Bila pada
tahun 2012, penelitian tentang berapa kali orang rata-rata mengecek media
elektroniknya per hari mendapat angka 37 kali, tahun 2016 diperkirakan tiap
orang rata-rata mengecek surel dan media sosialnya sebanyak 85 kali. Di sini
terlihat bahwa penggunaan media elektronik sudah mendominasi kehidupan manusia.
Jika waktu jaga normal manusia 16 jam, dan mengecek ponsel sebanyak 85 kali,
artinya orang memegang ponsel dan mengeceknya setiap 11 menit. Artinya, 5 jam
dalam sehari atau 30 persen dari waktu jaga dihabiskan dengan benda kecil tersebut.
Mungkin waktu yang paling aman, lepas dari ponsel hanyalah
ketika orang mandi. Satu pertanyaan muncul, apakah smartphone sungguh membuat manusia menjadi semakin smart? Pertanyaan ini untuk melihat
persoalan apakah fenomena media elektronik ini berdampak pada kerja otak
mausia? Apakah kerja otak manusia menjadi cepat? Apakah kapasitas memori
manusia berantakan?
Kehadiran teknologi telekomunikasi seperti ponsel pintar
membuat manusia tidak sempat lagi membaca textbook,
jurnal atau literatur. Mereka menggantikannya dengan cara pemutakhiran
pengetahuan melalui berita-berita singkat berkarakter 140. Pemahaman yang
didapat dari informasi singkat ini kemudian membuat orang langsung berkomentar,
berdebat, emosional sampai mengembangkan masalah atau pendapat dengan
pengetahuan yang terbatas.
Nicholas Carr, dalam bukunya The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains, melukiskan
bahwa pemikiran manusia yang sudah disuguhi informasi yang tak terbatas ini
membuat manusia tidak terbiasa untuk menyelam
dan mendalami suatu masalah. Orang sudah terbiasa membaca informasi yang lebih
banyak, dan berpindah dari satu topik ke topik lain. Ini semua dimungkinkan oleh
internet, bahkan orang dimanjakan dengan kecepatan kerja komputer. Semua ini
membuat orang bermental instan dan tidak sabaran.
Carr menilai kalau orang sekadar mencari informasi melalui
internet, orang ibarat melihat hutan tanpa bisa menggambarkan hutannya secara
detail. Orang tidak juga mampu melihat pohonnya, tetapi langsung menemukan dahan
dan daun-daun saja. Demikian pula kalau orang melihat masalah seperti masalah
politik, agama dan kenegaraan melalui media sosial yang sebenarnya perlu
didalami dari ujung ke ujung.
Informasi yang lengkap sebenarnya tersedia, tetapi hampir
semua orang hanya melihat cuplikan terkini secara berulang-ulang. Manusia menjadi
budak teknologi, sirkuit otaknya dibentuk oleh program-program gadget. Internet sudah mengubah kerja
otak manusia, bukan menjadi lebih buruk, tetapi menjadi manja, tidak sabar, dan
hanya suka bekerja di permukaan. Orang bukan menjadi lebih bodoh; orang lebih
pintar tetapi semakin buta dalam membaca, semakin tidak percaya dan bersahabat
dengan kepanikan.
Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa otak manusia
tidak mungkin dikalahkan oleh komputer manapun. Selain itu, pengembangan
pribadi manusia tidak sepenuhnya dibantu kerja otak; masih ada kekuatan fisik
dan emosi, yang tak perlu dibantu kerja komputer. Manusia harus sadar bahwa
dirinya dapat bekerja dan terhibur tanpa memelototi perangkat pintar. Dengan membaca
buku, orang tidak disuguhi film-film pendek untuk memanjakan kerja otak dan
imajinasi. Namun otak dan perasaan manusialah yang berimajinasi. Orang dapat
mengharuskan dirinya bercerita lebih banyak; tidak mengisi percakapan dengan
kalimat-kalimat pendek dan singkatan atau emoticon
semata. Dengan terbiasa menyusun cerita, otak semakin terlatih untuk membuat
struktur imajiner yang lebih baik dan mendalam.
by: adrian, diolah
dari “Thingking About Thingking” dalam
KOMPAS, 31 Desember 2016, hlm. 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar