INI CARAKU, BAGAIMANA CARAMU?
Tentulah kita sudah tak asing lagi dengan istilah global warming. Istilah ini sudah
menjadi keprihatinan dunia, karena menjadi tantangan masa depan bumi. Kiranya
tak perlu lagi diuraikan di sini apa itu global
warming, atau pemanasan global. Yang penting, semua kita tahu bahwa hal ini
menjadi ancaman bagi kehidupan di muka bumi, kini dan di masa datang.
Gerakan-gerakan untuk mengatasi pemanasan global pun
dicanangkan. Karena sudah menjadi ancaman bersama, maka semua pihak pun
terlibat. Gereja sebagai warga dunia
pun turut ambil bagian dalam usaha pencegahan pemanasan global. Karena itu,
ada satu tema APP nasional adalah soal isu ini. Selain itu, tahun 2012 lalu KWI mengeluarkan satu nota pastoral berkaitan dengan masalah ini. Tentulah Gereja, dalam hal
ini hierarkinya (uskup dan para imam) sudah berkoar-koar menjelaskan dan
menghimbau umat untuk berperan serta mengatasi pemanasan global.
Yang menjadi persoalan adalah bukan sejauh mana atau
sepanjang apa atau sebanyak apa kita menjelaskan kepada umat atau orang lain, melainkan
sebanyak apa yang sudah kita lakukan. Dengan kata lain, bukan apa yang sudah dikatakan,
melainkan apa yang telah dibuat. Karena, banyak orang menjelaskan isu pemanasan
global dengan panjang lebar dan sangat indah, namun perbuatannya tidak
mencerminkan dukungan untuk mencegah pemanasan global.
Bagaimana dengan saya? Apa saja yang sudah saya lakukan?
Pertama-tama saya mencari tahu dulu apa saja yang harus
dicegah dan yang bisa saya lakukan. Yang harus dicegah, ini mengandaikan
pengetahuan; yang bisa dilakukan, ini mengandaikan komitmen. Dari penelusuran saya,
maka saya menemukan:
1.
Menanam
pohon. Ketika saya di Puri Sadhana, Kebun Sahang, salah satu program saya
adalah penghijauan. Karena itu, saya menghubungi orang di Pematangsiantar untuk
mengirimkan biji Mahoni. Selain Mahoni, saya juga menanam pohon Angsana dan
beberapa pohon lain. Salah satu mimpi saya adalah di belakang Puri Sadhana akan
tercipta semacam “hutan” Mahoni.
2.
Tidak
boros kertas. Salah satu bahan pembuat kertas (segala jenis kertas) adalah
pohon. Jika saya sering menggunakan kertas, maka saya turut mendukung
percepatan penebangan hutan (pohon), padahal pohon berfungsi mengurangi efek
emisi gas rumah kaca. Namun bila saya membatasi, saya sudah memperlambatnya.
Karena itu:
a) Waktu saya di Puri Sadhana, bahkan
hingga kini, saya sering menggunakan kertas bekas, untuk segala keperluan yang
dalam kacamata saya tidak bersifat formal. Salah satu contohnya, laporan
keuangan ke ekonom keuskupan, saya gunakan kertas bekas. Bahkan, dengan kertas
bekas itu juga saya buat amplop untuk mengisi keperluan-keperluan lain.
Intinya, sejauh masih pantas dan layak, saya akan menggunakan kertas bekas itu.
Karena itu, sering saya ke keuskupan untuk mencari kertas bekas itu.
b) Sejak di Puri Sadhana hingga kini,
saya nyaris tidak menggunakan tissu. Sebagai gantinya, saya menyediakan sapu
tangan. Kalau umumnya orang lain sehabis makan dengan seenaknya saja mencabut
tissu, saya akan memakai sapu tangan atau kain lap yang disediakan.
c) Ketika saya di paroki, saya melihat
kalau setiap tahun paroki selalu membuat buku panduan liturgi Hari Raya Natal
dan Paskah. Padahal isinya dari tahun ke tahun sama saja. Yang berubah hanya
tahun dan tema perayaan. Membayangkan betapa banyak kertas yang terbuang, maka
saya menggagas buku panduan liturgi yang bisa dipakai sepanjang tahun. Memang,
gagasan saya ini mendapat tantangan karena dinilai jauh dari kebiasaan umum.
d) Pernah saya berpikiran pragmatis soal
celana dalam kertas. Hal ini diperkenalkan oleh seorang rekan. Saya tertarik
untuk mencobanya. Namun ketika menyadari komitmen saya, akhirnya saya
memutuskan untuk menolaknya.
3.
Hemat
listrik. Bagi saya, hemat listrik berarti menggunakan listrik sebagaimana
perlunya saja. Maka, jika dirasa memang tidak perlu, maka listrik musti
dipadamkan. Hal ini sudah saya terapkan sejak saya di Puri Sadhana. Malah,
ketika PLN padam, dan kebetulan tidak ada kegiatan retret, maka saya tidak akan
menghidupkan jenset. Saya akan menikmati kegelapan malam. Demikian pula dengan
penggunakan alat-alat elektronik lainnya. Saat ini (ketika saya di Binus
Square), kalau siang saya tidak menggunakan AC; dan sebagai gantinya saya
membuka pintu agar udara masuk.
4.
Mengurangi
pelepasan gas fosil. Hal ini saya lakukan dengan mengurangi bepergian dengan
kendaraan bermotor (mobil atau motor). Jika jarak tempuh bisa dilakukan dengan
berjalan kaki, maka saya akan berjalan kaki. Malah, ketika saya di Puri
Sadhana, menggantikan motor atau mobil untuk urusan ke keuskupan, saya
menggunakan sepeda. Selain itu, saya memilih untuk nebeng atau naik angkutan
umum. Intinya, saya tidak akan begitu mudah menggunakan kendaraan bermotor.
5.
Bawa
kantong sendiri. Umumnya, setiap belanja kita menerima belanjaan di dalam
kantong plastik. Seberapa sering kita belanja, sebanyak itu juga kantong
plastiknya. Misalnya, awalnya ke apotik beli obat. Lalu ke toko ini beli ini,
ke toko itu beli itu. Maka, kita akan mendapat tiga kantong plastik berisi
barang belanjaan. Sebagai gantinya saya menyediakan kantong plastik sendiri
(syukur-syukur kalau ada kantong belanjaan). Karena itu, setiap kali saya ke
toko atau warung, saat penjual hendak memasukkan barang-barang ke dalam
kantong, saya langsung mencegahnya dan mengeluarkan kantong bawaan saya
sendiri.
Demikianlah lima cara yang sudah saya lakukan sebagai bentuk
kepedulian saya terhadap bumi. Ini caraku, bagaimana caramu?
Sebenarnya masih ada banyak yang masih bisa dilakukan, namun
semua itu masih dalam tahap perjuangan. Karena untuk bisa sampai pada titik itu
dibutuhkan sebuah komitmen. Saya sadar dan tahu bahwa pemanasan global menjadi
ancaman serius bagi kehidupan. Karena itu, harus dibutuhkan aksi yang nyata,
bukan hanya retorika belaka.
Saya sudah melakukannya, bagaimana dengan Anda?
Jakarta, 6 Maret 2014
by: adrian
Sharing yang mencerahkan. Sebenarnya ada banyak cara yang sangat sangat sederhana, tapi yang sederhana pun susah untuk dilaksanakan. Dibutuhkan kemauan dan komitmen untuk melaksanakan yang sederhana itu.
BalasHapus