MAAFKAN AKU, LALA
“Gus,
ada yang mau ketemu.” Leo berkata sambil tersenyum membuat aku tak yakin. Siapa
sih yang siang-siang begini mau ketemu. Orang baru aja bangun. “Anak Asput.”[1] Leo kembali menegaskan karena melihat aku yang meragukan
pernyataannya.
”Siapa?” Tanyaku sekenanya. Aku mulai mengambil peralatan
mandiku. Sepertinya ada sedikit rasa percaya mulai tumbuh dalam diriku. Masak
nemui cewek dengan kondisi badan belum mandi. Gengsi donk!
Leo
menaikkan bahunya tanda tidak tahu. ”Manis lo orangnya,” ujarnya sambil kembali
tersenyum. Temanku yang lain pada batuk kecil menggoda. Anis langsung
menyodorkan AXE terbarunya. Kalau Yoseph menawarkan sabun mandi wanginya.
Aku
cuek saja. Dengan langkah tenang aku ke kamar mandi. Namun pikiranku masih terus memikirkan siapa cewek yang
datang itu. Selama dua tahun aku tinggal di seminari ini, tak pernah sekalipun
aku berkenalan sama anak asput. Makanya, tak pernah terbayangkan akan mendapat
tamu dari tetangga kami ini.
Aku keluar dari asrama menemui tamuku. Ternyata dua orang
cewek. Mereka duduk di bawah pohon ketapang; membelakangiku.
”Hai,” sapaku. Seorang dari mereka menoleh. ”Sorry kalau nunggu lama.”
”Mat sore, kak Agus.” Yang menoleh tadi menyapaku.
Kemudian disusul yang satunya. Ketika ia menoleh aku sedikit terkejut.
”Ooo..., ternyata kamu anak asput ya?!” Aku jadi ingat
saat MOS lalu. Aku sebagai pembina gugus, sedangkan cewek itu cawi (calon
siswi) di sekolah kami. Waktu itu, di hari kedua
MOS, ia datang terlambat. Kebetulan ia berhadapan dengan diriku. Temanku membisikkan ke telinga agar aku ’mengerjainya’. Maka
aku mulai membentak dan memarahinya. Kulihat ia mulai down. Aku jadi bersemangat. Ia tertunduk dan aku, dengan suara
membentak, menyuruhnya untuk menegakkan kepalanya. Terlihat jelas matanya
berkaca-kaca dan tak lama kemudian setetes air mata jatuh menetes di pipinya. Ia
mulai menangis. Melihat hal itu, aku bukannya menjadi luluh, tapi malah buat ia
makin menjadi-jadi. Untung waktu itu ada pembina gugus cewek yang menunjukkan
”solidaritas antar-perempuan” sehingga aku segera berlalu.
”Gus, ternyata kamu garang juga ya?!” Vicky menghampiriku
setelah aku meninggalkan dua perempuan itu. ”Kelihatannya cantik juga tu cawi.”
”Apanya yang cantik?” Sahutku. ”Matamu salah kali. Atau
seleramu murahan.”
”Saya yakin, kalau ikatan-ikatan rambutnya dilepas, dia
pasti terlihat menarik.”
”Ya udah, kamu tembak aja dia. Biasa kan, pembina jadian
sama yang dibina. Tahun lalu juga ada tu yang seperti itu.”
”Iya. Gak tahu tu sekarang gimana nasib si Lia setelah
Nato tamat. Apalagi si Nato lanjut ke Yogya.”
Kembali kenangan MOS beberapa bulan lalu berputar dalam
ingatanku. Dan aku sama sekali tidak menyangka kalau dia adalah anak asput,
tetangga kami. Akan tetapi aku tidak mau menceritakan kisah itu.
Cewek itu menoleh kepadaku sambil tersenyum. Aku jadi
sedikit malu. Namun terbersit dalam hatiku kekaguman akan kecantikannya.
Ternyata benar apa yang dikatakan Vicky waktu itu. Tidak ada yang salah pada
matanya; dan seleranya sama seperti aku.
”Kak, kami mau kembalikan payung yang kemarin kami
pinjam.”
Aku mengambil payung itu. ”Oya, aku tidak tahu nama
kalian.”
”Aku Jeni,” ujar yang memberikan payung. Ia kelihatan
sudah senior di asput. Kelas dua SMU Taruna Bakti. ”Ini Lala. Dia memang anak
baru.”
”Jeni asal dari mana?” Tanyaku membuka perkenalan lanjut.
Jeni menjelaskan panjang lebar tentang asalnya.
Siapa ortunya dan bagaimana suka dukanya jauh dari ortu. Sepertinya Jeni tipe
orang yang suka ngobrol, sehingga pertanyaan sedikit dijawab dengan panjang
lebar.
Sambil Jeni bercerita tentang dirinya, aku sesekali
melirik ke Lala. Aku sungguh menganguminya. Rupanya penglihatan Vicky tidak
keliru, pikirku. Aku senang melihatnya tersenyum, menampilkan barisan giginya
yang putih dan lesung pipit di kedua pipinya. Bibirnya yang mungil terlihat
kemerahan alami tanpa polesan alat kosmetik. Rambutnya yang dipotong shaggy sampai di pundak sangat serasi
dengan wajahnya yang bulat oval. Namun, yang membuat aku tertarik adalah
kesederhanaannya.
***
Sejak pertemuan di bawah pohon ketapang itu, wajah Lala
tak pernah hilang dari pikiranku. Ia selalu hadir dalam setiap gerak
kehidupanku di seminari.[2] Waktu belajar, doa bahkan waktu makan sekalipun.
Sampai-sampai teman-teman semeja makan selalu menggodaku, takut aku salah
memasukkan sendok ke dalam mulut karena ....
Apakah aku lagi jatuh cinta? Batinku pada suatu sore
menjelang doa sore. Memang aku suka sekali padanya. Tak bisa kupungiri rasa
itu. Ingin sekali berjalan berdua dengannya sambil sesekali merangkul atau
bergandeng, seperti yang dilakukan teman-teman sekolah yang bukan seminari. Ahk, seandainya aku bukan seminaris,
pasti sudah aku pacari dia.
Atau berdosakah aku bila suka dan kagum padanya? Bila aku
cinta dan pacaran dengannya? Salahkah aku? Dulu pernah seorang pembina
mengatakan kalau kami ini adalah calon imam yang berarti hidup kami harus sudah
mirip seperti imam. Tapi, bukankah ada imam juga yang ’selingkuh’ malah ada
yang akhirnya keluar? Apakah adil bila kami yang seorang remaja sudah dipaksakan mengambil kehidupan orang dewasa? Bukankah itu berarti seminari
berarti telah menghilangkan masa remaja kami?
Jangan-jangan ini pertanda kalau aku tidak terpanggil. Tidak!
Aku mengguman dalam hati. Aku terpanggil. Aku mau jadi
imam. Tapi, bagaimana dengan ini? Oh
Tuhan, kenapa Kau memanggil aku tanpa menghilangkan rasa cinta ini? keluhku.
”Emang kau sudah pernah ungkapkan perasaanmu kepadanya?”
Tanya Aldo suatu ketika di ruang jemuran.
”Itu lagi yang menjadi persoalan. Aku tidak punya nyali,”
ungkapku polos disambut tawa ringan sahabat karibku itu. ”Tapi, anak-anak asput
yang lain udah pada tahu kalau aku naksir dia. Lihat saja, kalau kita bubar
misa pagi atau sore, beberapa anak asput selalu menggoda aku atau juga Lala.”
”Bisa saja itu hanya perasaanmu. Sapa tahu dia tak punya perasaan itu.”
”Entahlah, akupun tak tahu. Terlihat akhir-akhir ini ia
selalu menjauhi aku. Sikapnya pun dingin dan acuh.”
”Gimana kalau pake
perantara?”
”Mak
comblang, maksudmu?” Aldo cuma mengangguk. “Siapa?”
“Kan
Kak Nato punya adik di asput. Tesa, namanya. Aku kenal baik orangnya. Lagi pula Tesa kan teman akrab
dengan Lala.”
”Aku takut ketahuan sama suster mereka. Bukan hanya aku
yang jadi sasaran, bisa-bisa Lala juga jadi korban. Kau ingat kan tahun lalu. Anggie
diskor gara-gara ketahuan pacaran sama seminaris.”
”Aku bukan langsung menyampaikan isi hatimu.” Jelas Aldo
berteori. ”Cuma menanyakan sikapnya yang dingin terhadapmu. Aku jamin Tesa
tidak akan mengumbar ke orang lain. Dia juga pasti mau menjaga persahabatannya
dengan Lala”
Dari Tesa, setelah misi Aldo berhasil, aku mengetahui
perihal sikap Lala yang dingin dan cuek terhadapku. Ternyata ia takut kalau
dirinya menghambat panggilanku.
”Sebenarnya dia juga suka diriku,” ungkapku pada Aldo.
”Ada rasa itu di hatinya, namun dia takut mengungkapkannya karena bisa
menggagalkan panggilanku.”
”Sepertinya begitulah. Anak-anak asput juga pada
berpikiran demikian”
”Kau tau, Do,” ujarku, ”aku semakin mencintainya. Aku
makin suka padanya. Hal ini menunjukkan kepribadiannya yang baik.”
”Hei, kau mau keluar atau....”
”Entahlah. Aku tidak tahu. Tapi salahkah bila aku
menyukainya? Terlarangkah rasa ini?” Aldo membisu. ”Bukankah kita ini remaja.
Keremajaan itu merupakan salah satu fase dalam kehidupan manusia. Setiap
manusia pasti melaluinya. Apa yang aku alami saat ini kan merupakan bentuk dari pergolakan masa remaja. Semua remaja
tentulah mengalami hal ini. Kita tidak bisa menghindar. Tak bisa menyangkalnya.
”Nah, kita adalah seminaris, calon imam. Tapi kita juga
manusia. Sebagai manusia niscaya kita melalui dan mengalami masa remaja dengan
gejolaknya. Tak mungkin kita langsung melompat menjadi dewasa, hanya karena
kita mau jadi imam. Semua imam pasti pernah menjadi remaja. Mana ada imam yang
terlahir sebagai dewasa. Imam juga manusia.
”Karena itu, adalah wajar kalau aku menyukainya. Ini
merupakan bagian dari keremajaanku. Seminari tak boleh menghalang ataupun
melarang. Kalau demikian, berarti seminari akan menghilangkan salah satu fase
dalam hidup kita. Wah, sungguh menyedihkan sekali nasib ini. Tapi apa memang
begitu?”
”Gus, aku pikir kau perlu bicara dengan Bapa[3] Mago.” Aldo tiba-tiba nyeletuk setelah sekian lama
dikotbahi. ”Aku yakin beliau bisa memberikan masukan buat kamu.”
”Aman tidak? Jangan-jangan aku dikeluarkan. Dulu ada
frater yang mengatakan kalau pembinaan di seminari menuntut seminaris untuk
munafik, karena kejujuran bisa membahayakan panggilannya.”
”Aku rasa tidak! Kau ingat tahun lalu ketika Kak Paskalis
ketauan sama suster pacaran dengan Anggie. Suster meminta agar Kak Kalis dikeluarkan.
Tapi ditanggapi dingin oleh bapa.”
***
Aku dan beberapa teman berjalan menuju asput. Sore
ini ada acara pesta pelindung konggregasi suster yang mendampingi asput.
Terlihat jelas wajah-wajah ceria pada rekan-rekanku. Sejak bangun siang tadi
semua pikiran kami sudah ke asput. Semua
sibuk menyeterika pakaian. Harus keren dan beken, boo! ujar teman seunitku.
Kami
diterima oleh empat cewek cantik. Anak-anak asput St Clara. Seorang dari mereka
menghantar kami masuk ke tempat di mana akan diadakan upacara misa yang akan
dipimpin oleh Bapak Uskup. Beberapa undangan sudah pada datang. Sebagian besar
anak asput sudah duduk di dalam ruangan. Mereka sebagai koor. Aku melihat ada
lima orang anak seminari bergabung dengan mereka. Mungkin suster sudah
memintanya.
Aku
mengajak Aldo untuk duduk di bangku di luar ruang. Alasanku, di luar banyak
angin. Seorang anak asput mendekati kami. Ia berbisik kepadaku, “Kak Agus,
nanti sumbang satu lagu, ya?!”
Aku
mau menolak, tapi cewek itu segera berlalu. Aku cuma bisa mengumpat dalam hati,
sementara Aldo tersenyum saja.
Maka,
ketika acara resepsi dan hiburan, seorang anak asput yang berperan sebagai MC
meminta diriku untuk maju ke depan dan membawakan sebuah lagu sebagai hiburan.
Sontak suara tepuk tangan dari anak-anak asput lainnya dan juga dari seminaris
membahana di ruangan yang sehari-hari dipakai sebagai kamar makan anak asput.
Aku jadi kikuk. Maklum, aku sama sekali tidak siap. Namun, suara tepuk tangan
tadi berubah menjadi suara koor ‘ayo
maju-maju, jangan malu-malu….’
Dengan
langkah berat aku berjalan menuju ke depan, yang mereka sebut panggung.
Keringat dingin mulai mengalir membasahi keningku. Kuusap dengan punggung
tanganku. Aku mengumpat, kenapa tidak membawa sapu tangan (maklum, sejak muncul
isu global warming aku lebih memilih
memakai sapu tangan ketimbang kertas tissue). Seorang cewek mendekatiku dan memberikan selembar tissue.
Kulihat semua mata tertuju kepadaku. Mereka semua tenang.
Aku menarik nafas dalam untuk menenangkan diri. Gitar yang diberikan kepadaku kucoba
petik satu persatu snarnya untuk memastikan suaranya. Setelah yakin akupun
mengambil posisi duduk dan siap menyanyikan lagu. Tanpa sengaja, terlintas
dalam pikiranku lagu Once, ’Aku Mau’.
Kau boleh acuhkan diriku,
Dengan ’nggap ku tak ada
Tapi takkan mengubah perasaanku kepadamu.
Kuyakin
pasti suatu saat
Semua
kan terjadi
Kau
kan mencintaiku
Dan
takkan pernah melepasku.......
Semua
penonton duduk tenang mendengarkan laguku. Kulihat Lala duduk di antara anak-anak asput. Dia
tertunduk. Sesekali ia mengusap matanya dengan tissue yang ada di tangannya.
Menangiskah dia? batinku. Karena laguku?
Aku meninggalkan teman-temanku yang lagi asyik bergoyang
bersama anak-anak asput. Aldo pun tak ketinggalan. Jadi aku pulang sendirian.
Ketika sampai di depan pintu masuk asrama, aku mendengar sebuah suara
memanggilku. Aku menoleh. Ternyata Tesa. Ia tidak sendirian. Ada Lala di
sampingnya.
”Kak, Lala mau bicara.” Setelah mengatakan itu, Tesa
segera menyingkir.
”Aku minta maaf atas sikapku selama ini.”
”Tak perlu minta maaf. Kamu tidak salah. Kamu sungguh
baik. Hatimu sangat mulia. Akulah yang seharusnya minta maaf.” Sejenak kami
terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Kuberanikan diri untuk meraih tangannya. ”Maafkan aku,
Lala. Aku telah mencintaimu.” Lala tertunduk. Ia mengatup kedua bibirnya.
”Kuharap aku bisa melupakanmu. Kau mau bantu aku, kan?!” Lala tetap tertunduk.
Aku melepaskan tangannya dan berjalan pulang.
”Kak,” suara Lala memaksaku menoleh. ”Kita masih bisa
berteman, kan?”
Aku
mengangguk. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Senyuman yang membuat aku kagum kepadanya, yang takkan
mungkin kulupakan.
Waena,
9 Oktober 2009
by: adrian
- Cerpen ini sudah dibukukan dalam kumpulan cerpan Uda Agus, dkk, “Hitam, Putih, Abu-abu” Yogyakarta: AG Publishing, 2012
[1] Asput (asrama putri) adalah istilah
untuk anak-anak penghuni asrama putri. Di beberapa tempat dipakai istilah astri. Ada kesan asput ini untuk tingkat
SMU sedangkan astri untuk tingkat kuliahan.
[2] Seminari adalah sekolah
khusus bagi mereka yang mau menjadi imam dalam gereja Katolik. Karena itu,
sekolah ini hanya diperuntuknya bagi anak laki-laki.
[3] Bapa adalah sapaan untuk pastor (imam).
Kalau di Jawa pastor dipanggil dengan romo,
di Keuskupan Jayapura ini umat biasa menyapa bapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar