Tetapi jika (tawanan itu) hendak mengkhianatimu (Muhammad) maka sesungguhnya sebelum itu pun mereka telah berkhianat kepada Allah, maka Dia memberikan kekuasaan kepadamu atas mereka. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS 8: 71)
Dasar
keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang langsung
disampaikan kepada Muhammad adalah perkataan Allah sendiri. Allah sudah
mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berasal dari diri-Nya. Berhubung Allah itu
mahabenar, maka apa yang dikatakannya juga adalah benar. Mana mungkin Allah
yang mahabenar itu berbohong? Tak mungkin
Al-Qur’an itu ciptaan manusia, karena manusia bisa berbohong. Logika pikir
orang islam kira-kira begini: Al-Qur’an itu wahyu Allah karena Allah sendiri
yang mengatakannya adalah benar, sebab Allah itu mahabenar yang tak bisa
berbohong.
Kutipan ayat di atas diambil dari surah al-Anfal ayat 71. Berangkat dari premis di atas, maka haruslah dikatakan bahwa apa yang tertulis dalam ayat 71 itu adalah merupakan kata-kata Allah sendiri. Berhubung surah al-Anfal masuk kelompok surah madaniyyah, maka dapat dipastikan wahyu Allah ini disampaikan kepada Muhammad saat berada di Madinah. Dalam kutipan ayat di atas ada dua tanda kurung, yaitu yang berisi tawanan itu dan Muhammad. Seperti ayat-ayat Al-Qur’an lainnya, apa yang tertulis di dalam tanda kurung bukanlah merupakan kata-kata Allah, melainkan tambahan kemudian yang berasal dari manusia. Tambahan tersebut berguna memudahkan orang memahami isi dari wahyu Allah, atau dengan kata lain tambahan itu membuat wahyu Allah menjadi jelas. Jadi, sebenarnya wahyu Allah kurang jelas, sekalipun Allah sendiri sudah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah keterangan yang jelas.
Membaca sekilas kutipan wahyu Allah di atas, lengkap
dengan tambahan yang berasal dari manusia, pembaca langsung menangkap bahwa
wahyu Allah itu turun pada situasi perang. Hal ini ditegaskan pula dari
ayat-ayat sebelumnya. Bisa dikatakan bahwa saat itu kemenangan ada di pihak
Muhammad. Karena itu, ayat 69 berbicara soal rampasan perang, dan 2 ayat
berikutnya soal tawanan perang. Tawanan perang di sini adalah orang kafir. Pada
ayat 71 Allah berbicara tentang kemungkinan tawanan perang yang mengkhianati
Muhammad. Allah menegaskan bahwa kemungkinan itu selalu ada, karena sejak
semula mereka sudah mengkhianati Allah (karena itulah mereka disebut kafir).
Bagaimana sikap terhadap tawanan yang berkhianat itu? Dalam kutipan wahyu Allah
di atas dikatakan bahwa Allah memberikan kuasa kepada Muhammad atas mereka.
Kuasa yang diberikan ini umumnya dimengerti sebagai kuasa atas hidup-mati
seseorang; dengan kata lain, tindakan untuk membunuh tawanan tersebut. Jadi,
secara sederhana kutipan ayat di atas bisa dimaknai sebagai berikut: Allah
mengingatkan bahwa bisa saja tawanan perang berkhianat; dan jika hal itu
terjadi, bunuhlah tawanan perang itu.
Ada 2 kata ganti yang menarik dari kutipan wahyu Allah
di atas untuk ditelaah. Kedua kata ganti orang itu adalah –mu (pada kata mengkhianatimu dan kepadamu), dan Dia. Kata ganti orang yang pertama,
dalam wahyu Allah itu, dapatlah dipastikan merujuk pada Muhammad. Hal ini dapat
dimaklumi, mengingat Al-Qur’an merupakan perkataan Allah yang langsung
disampaikan kepada Muhammad. Jadi, saat itu Allah berbicara kepada Muhammad,
sehingga kata ganti orang –mu langsung merujuk pada lawan bicara. Menjadi
persoalan adalah bahwa wahyu Allah ini tidak hanya berhenti pada satu masa
saja, melainkan berlaku sepanjang masa. Jika demikian, siapa yang dimaksud
dengan –mu di sini? Tidak mungkin –mu di sini tetap dimaknai dengan Muhammad.
Pemaknaan demikian membuat wahyu Allah ini mati, tidak relevan lagi saat ini.
Tak sedikit ulama sepakat bahwa kata ganti –mu di sini
akhirnya dimaknai sebagai umat islam, khususnya pada pemimpinnya. Setiap
pemimpin islam, entah itu dalam arti agama maupun politik, diberi kekuasaan oleh
Allah atas tawanan perang. Artinya, jika tawanan perang berkhianat, mereka boleh
membunuh tawanan itu. Sampai di sini persoalan kata gantinya sudah selesai,
namun masih tetap menimbulkan pertanyaan terkait relevansi wahyu Allah ini.
Bagaimana agar pemimpin islam bisa melaksanakan kuasa yang telah diberikan
Allah itu? Tentulah jawabannya harus ada tawanan perang yang berkhianat.
Langkah awalnya adalah menghadirkan dulu tawanan perang. Dan bagaimana agar
bisa ada tawanan perang? Tentulah jawabannya harus ada perang. Tanpa perang,
tentulah tidak akan ada tawanan perang. Jadi, supaya wahyu Allah ini tetap
hidup dan relevan, maka umat islam harus menciptakan perang. Tak salah bila
wahyu Allah ini masuk kategori ayat perang.
Kata ganti yang kedua adalah Dia. Dalam ilmu bahasa, kata ini termasuk kata ganti orang ketiga
tunggal. Berhubung penulisannya menggunakan huruf kapital, maka dengan sangat
mudah pembaca menafsirkannya sebagai Allah. Kalimatnya dipahami sebagai
berikut: Allah memberikan kekuasaan kepadamu atas mereka. Sekilas penjelasan
ini masuk akal. Akan tetapi, menjadi aneh bila dipahami dalam konteks dialog
Allah dengan Muhammad. Allah berbicara kepada Muhammad dengan berkata, “Dia memberikan
kekuasaan kepadamu atas mereka.” Telaah linguistik atas kata ganti menunjukkan
bahwa kata “Dia” sama sekali tidak merujuk kepada Allah yang sedang berbicara
kepada Muhammad. Dalam ilmu bahasa, Allah yang berbicara adalah orang pertama,
sedangkan Muhammad sebagai lawan bicara-Nya adalah orang kedua. Orang ketiga
adalah orang yang berada di luar. Jadi, kata “Dia” yang ditafsirkan sebagai
Allah, adalah allah yang lain selain Allah yang sedang berbicara. Dengan
demikian, ada dua Allah dalam islam; yang pertama Allah yang menyampaikan wahyu
kepada Muhammad, dan yang kedua Allah yang memberi kuasa. Dengan perkataan
lain, Allah islam bukan SATU tapi DUA.
DEMIKIANLAH kajian singkat atas surah al-Anfal ayat
71. Dari kajian ini ditemukan bahwa wahyu Allah dalam ayat ini adalah wahyu
perang. Agar wahyu ini tetap hidup, maka umat islam harus menciptakan perang.
Karena itu, tidak heran kalau islam dikenal sebagai agama perang. Selain itu,
kajian singkat ini menemukan bahwa Allah umat islam ada dua, bukan satu. Karena
itu, tak pantas bila islam disbut sebagai agama monoteisme.
Tanjung Pinang, 15 Januari 2022
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar