Jumat, 01 April 2022

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-ANFAL AYAT 71

Tetapi jika (tawanan itu) hendak mengkhianatimu (Muhammad) maka sesungguhnya sebelum itu pun mereka telah berkhianat kepada Allah, maka Dia memberikan kekuasaan kepadamu atas mereka. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS 8: 71)


Tak bisa dipungkiri bahwa umat islam percaya bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad, yang kemudian ditulis di atas kertas. Sekalipun ada di kertas, tapi umat islam yakin bahwa itu adalah kata-kata Allah sendiri. Karena Allah itu suci, maka kertas yang ditulisi perkataan Allah adalah suci juga. Pelecehan terhadap Al-Qur’an, misalnya dengan menginjak atau mendudukinya, sama artinya dengan penghinaan terhadap Allah. Umat islam wajib membela Allah sesuai permintaan Allah, dan orang yang melakukan penghinaan tersebut, berdasarkan perintah Allah, wajib dibunuh (QS al-Maidah: 33).

Dasar keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad adalah perkataan Allah sendiri. Allah sudah mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berasal dari diri-Nya. Berhubung Allah itu mahabenar, maka apa yang dikatakannya juga adalah benar. Mana mungkin Allah yang mahabenar itu berbohong? Tak mungkin Al-Qur’an itu ciptaan manusia, karena manusia bisa berbohong. Logika pikir orang islam kira-kira begini: Al-Qur’an itu wahyu Allah karena Allah sendiri yang mengatakannya adalah benar, sebab Allah itu mahabenar yang tak bisa berbohong.

Kutipan ayat di atas diambil dari surah al-Anfal ayat 71. Berangkat dari premis di atas, maka haruslah dikatakan bahwa apa yang tertulis dalam ayat 71 itu adalah merupakan kata-kata Allah sendiri. Berhubung surah al-Anfal masuk kelompok surah madaniyyah, maka dapat dipastikan wahyu Allah ini disampaikan kepada Muhammad saat berada di Madinah. Dalam kutipan ayat di atas ada dua tanda kurung, yaitu yang berisi tawanan itu dan Muhammad. Seperti ayat-ayat Al-Qur’an lainnya, apa yang tertulis di dalam tanda kurung bukanlah merupakan kata-kata Allah, melainkan tambahan kemudian yang berasal dari manusia. Tambahan tersebut berguna memudahkan orang memahami isi dari wahyu Allah, atau dengan kata lain tambahan itu membuat wahyu Allah menjadi jelas. Jadi, sebenarnya wahyu Allah kurang jelas, sekalipun Allah sendiri sudah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah keterangan yang jelas.

Membaca sekilas kutipan wahyu Allah di atas, lengkap dengan tambahan yang berasal dari manusia, pembaca langsung menangkap bahwa wahyu Allah itu turun pada situasi perang. Hal ini ditegaskan pula dari ayat-ayat sebelumnya. Bisa dikatakan bahwa saat itu kemenangan ada di pihak Muhammad. Karena itu, ayat 69 berbicara soal rampasan perang, dan 2 ayat berikutnya soal tawanan perang. Tawanan perang di sini adalah orang kafir. Pada ayat 71 Allah berbicara tentang kemungkinan tawanan perang yang mengkhianati Muhammad. Allah menegaskan bahwa kemungkinan itu selalu ada, karena sejak semula mereka sudah mengkhianati Allah (karena itulah mereka disebut kafir). Bagaimana sikap terhadap tawanan yang berkhianat itu? Dalam kutipan wahyu Allah di atas dikatakan bahwa Allah memberikan kuasa kepada Muhammad atas mereka. Kuasa yang diberikan ini umumnya dimengerti sebagai kuasa atas hidup-mati seseorang; dengan kata lain, tindakan untuk membunuh tawanan tersebut. Jadi, secara sederhana kutipan ayat di atas bisa dimaknai sebagai berikut: Allah mengingatkan bahwa bisa saja tawanan perang berkhianat; dan jika hal itu terjadi, bunuhlah tawanan perang itu.

Ada 2 kata ganti yang menarik dari kutipan wahyu Allah di atas untuk ditelaah. Kedua kata ganti orang itu adalah –mu (pada kata mengkhianatimu dan kepadamu), dan Dia. Kata ganti orang yang pertama, dalam wahyu Allah itu, dapatlah dipastikan merujuk pada Muhammad. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat Al-Qur’an merupakan perkataan Allah yang langsung disampaikan kepada Muhammad. Jadi, saat itu Allah berbicara kepada Muhammad, sehingga kata ganti orang –mu langsung merujuk pada lawan bicara. Menjadi persoalan adalah bahwa wahyu Allah ini tidak hanya berhenti pada satu masa saja, melainkan berlaku sepanjang masa. Jika demikian, siapa yang dimaksud dengan –mu di sini? Tidak mungkin –mu di sini tetap dimaknai dengan Muhammad. Pemaknaan demikian membuat wahyu Allah ini mati, tidak relevan lagi saat ini.

Tak sedikit ulama sepakat bahwa kata ganti –mu di sini akhirnya dimaknai sebagai umat islam, khususnya pada pemimpinnya. Setiap pemimpin islam, entah itu dalam arti agama maupun politik, diberi kekuasaan oleh Allah atas tawanan perang. Artinya, jika tawanan perang berkhianat, mereka boleh membunuh tawanan itu. Sampai di sini persoalan kata gantinya sudah selesai, namun masih tetap menimbulkan pertanyaan terkait relevansi wahyu Allah ini. Bagaimana agar pemimpin islam bisa melaksanakan kuasa yang telah diberikan Allah itu? Tentulah jawabannya harus ada tawanan perang yang berkhianat. Langkah awalnya adalah menghadirkan dulu tawanan perang. Dan bagaimana agar bisa ada tawanan perang? Tentulah jawabannya harus ada perang. Tanpa perang, tentulah tidak akan ada tawanan perang. Jadi, supaya wahyu Allah ini tetap hidup dan relevan, maka umat islam harus menciptakan perang. Tak salah bila wahyu Allah ini masuk kategori ayat perang.

Kata ganti yang kedua adalah Dia. Dalam ilmu bahasa, kata ini termasuk kata ganti orang ketiga tunggal. Berhubung penulisannya menggunakan huruf kapital, maka dengan sangat mudah pembaca menafsirkannya sebagai Allah. Kalimatnya dipahami sebagai berikut: Allah memberikan kekuasaan kepadamu atas mereka. Sekilas penjelasan ini masuk akal. Akan tetapi, menjadi aneh bila dipahami dalam konteks dialog Allah dengan Muhammad. Allah berbicara kepada Muhammad dengan berkata, “Dia memberikan kekuasaan kepadamu atas mereka.” Telaah linguistik atas kata ganti menunjukkan bahwa kata “Dia” sama sekali tidak merujuk kepada Allah yang sedang berbicara kepada Muhammad. Dalam ilmu bahasa, Allah yang berbicara adalah orang pertama, sedangkan Muhammad sebagai lawan bicara-Nya adalah orang kedua. Orang ketiga adalah orang yang berada di luar. Jadi, kata “Dia” yang ditafsirkan sebagai Allah, adalah allah yang lain selain Allah yang sedang berbicara. Dengan demikian, ada dua Allah dalam islam; yang pertama Allah yang menyampaikan wahyu kepada Muhammad, dan yang kedua Allah yang memberi kuasa. Dengan perkataan lain, Allah islam bukan SATU tapi DUA.

DEMIKIANLAH kajian singkat atas surah al-Anfal ayat 71. Dari kajian ini ditemukan bahwa wahyu Allah dalam ayat ini adalah wahyu perang. Agar wahyu ini tetap hidup, maka umat islam harus menciptakan perang. Karena itu, tidak heran kalau islam dikenal sebagai agama perang. Selain itu, kajian singkat ini menemukan bahwa Allah umat islam ada dua, bukan satu. Karena itu, tak pantas bila islam disbut sebagai agama monoteisme.

Tanjung Pinang, 15 Januari 2022

by: adrian 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar