Mengapa kehidupan menggereja kaum muda dan umat umumnya tidak
kelihatan gregetnya? Tulisan singkat ini
mau memperlihatkan sejarah gerakan kaum muda. Kita bisa menilai
perbedaan kaum muda dulu dan kini. Pertanyaan adalah: Mau dibawa ke mana Gereja
kita? Semoga paparan ini memberi inspirasi.
1. Tonggak-Tonggak Sejarah
Awal 1900-an: Para Misionaris Katolik
makin mantap berkarya mewartakan Injil di Indonesia (Hindia Belanda) dengan
membuka karya pendidikan dan pelayanan medis serta pengajaran iman Katolik. Rm
Van Lith mendirikan HIK (Sekolah Guru Katolik) di Muntilan untuk mendidik orang
muda sebagai guru bagi bangsanya. Lahirlah generasi intelektual Katolik
Indonesia.
Agustus 1923: 30 orang guru muda berusia 22-23
tahun alumni sekolah guru mendirikan Perkumpulan Katolik untuk aksi politik
bagi orang-orang Jawa.
Februari 1925: berdiri Perkumpulan Politik Katolik
Jawa.
Tahun 1930: Organisasi politik umat
Katolik yang dimotori orang-orang muda bersatu dalam Persatuan Politik Katolik
Indonesia.
Tahun 1930 – 1949: Ada banyak komunitas kaum muda Katolik, mulai dari Muda Katolik, Muda Wanita Katolik, Pandu Katolik hingga misdinar.
7 – 12 Desember 1949: diadakan Kongres Umat Katolik
Seluruh Indonesia. Semua ormas Katolik disatukan ke dalam satu organisasi
tunggal, yaitu Partai Katolik. Namun Pandu Katolik masih dipertahankan.
Pada bulan ini Munajat, mewakili Mgr Sugiyopranata, menjadi satu-satunya
utusan organisasi pemuda yang ikut dalam Konferensi Meja Bundar di Belanda. Ia
berperan penting dalam lobby politik di Belanda melalui partai
Katolik Belanda di parlemen.
Tahun 1950-an: Gerakan Pancasila
dirintis atas inisiatif dari Mgr. Soegijapranata sebagai counter dominasi
ideologi pada kehidupan masyarakat (pola ini kemudian dipakai untuk membuat
sekber Golkar). Gerakan Pancasila terdiri dari berbagai organisasi seperti
nelayan, petani, paramedis, usahawan.
Juli 1960: kelompok Muda Katolik Indonesia
dalam kongres di Solo berubah menjadi Pemuda Katolik atas usul Munajat.
Tahun 1960-an: Pater Beek merintis
kaderisasi politik KASBUL untuk mahasiswa/ intelektual muda Katolik untuk
menghasilkan kader-kader yang militan.
Tahun 1965: Melawan komunisme,
Pemuda Katolik dan PMKRI memegang peran kunci. PMKRI di kota besar dan di
lingkaran kekuasaan, PK di desa-desa dan kota kecil, di lingkaran massa. Ada
juga ISKI (Ikatan Siswa Katolik Indonesia), Partai Katolik, yang menggalang
Front Pancasila, serta WKRI. Untuk membendung komunisme dengan dukungan
hirarkhi dibentuklah Front Katolik Tanpa Lubang.
Tahun 1973: Muncul UU Kepartaian.
Partai Katolik melebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Akibatnya kerangka
sistem peran sosial politik Gereja Katolik Indonesia pun runtuh.
Tahun 1974: Peran sosial politik
kaum muda Katolik masih sangat terasa, ini tampak dalam Kongres KNPI I 27
Okt 1974. PMKRI dan PK menjadi delegasi yang mewakili hampir 50% delegasi KNPI
propinsi/kabupaten dari seluruh Indonesia. Setelah itu mulai terjadi penurunan
dinamika dengan cepat.
1970 – 1980-an : SPIRITUALITAS
Model pendampingan seperti Choice, Karismatik, Anthiokhia mulai
bermunculan. Di Bandung Gereja Mahasiswa mulai dirintis. Ada
Retret Nasional disponsori oleh Romo Dahler. Gladi Rohani lahir dari gerakan
para alumni Retnas. Pendekatan CIVITA KAJ mulai muncul dan membentuk trend baru
pendampingan yang berorientasi spiritualitas dan pengembangan karakter. Muncul
pula KASIS (Kaderisasi Basis). Di UGM muncul Misa Kampus.
Tahun 1985: Karena situasi internal
pendampingan kaum muda makin lemah serta munculnya UU Keormasan (wujud
depolitisasi Orde Baru) yang melarang ormas ada dalam lingkungan tempat ibadah,
diputuskan PMKRI dan PK lepas dari struktur paroki dan mengikuti struktur
pemerintah (desa, kecamatan, kabupaten, dst). Keduanya mengisi peran eksternal
gereja. Sebagai gantinya dibentuklah Mudika untuk kaum muda teritorial, dan
KMK untuk mahasiswa kategorial. Akibatnya PK dan PKMRI kehilangan basis massa
kader, sementara KMK dan Mudika kehilangan kesadaran kritis dan tanggung jawab
sosialnya, terbenam ke dalam dirinya sendiri.
1980 – 1990-an : KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL
Muncul kelompok-kelompok Katolik muda yang sangat beragam sifatnya,
non-hirarkhis, serta berorientasi sosial politik kemasyarakatan.
Model-model live-in, teater rakyat, kelompok diskusi, bahkan
pandampingan desa bermunculan. Peran para frater Jesuit dengan proyek sosial
mereka sangat berpengaruh. Gerakan sosial kaum muda Katolik masa ini sangat
terinspirasi Teologi Pembebasan. Gerakan Romo Mangun dan karya-karyanya
memotivasi banyak orang. Di Solo komunitas Keping (Kelompok Pinggiran) tumbuh.
Selain itu komunitas yang lebih rohani seperti bengkel Rohani, Bahtera Rohani,
Jarkom Pelajar Katolik untuk pertama kali muncul. Dua simpul seni yang dimotori
orang muda Katolik muncul di Yogya: teater Introspeksi di Kotabaru oleh Landung
Simatupang, Lono Simatupang, Nasarius Sudaryono di Utara, dan teater Gandrik di
Yogya Selatan.
Tahun 1998: Pada masa Reformasi,
peran OMK ada tetapi bersifat personal-individual. Tetapi ada gerakan mahasiswa
di dua kampus Katolik di Yogyakarta yang memegang peran penting dalam gerakan
Mei 1998: FAMPERA di Atmajaya dan SOMASI dari USD.
Generasi 2000: Komersialisasi dan
pencabutan subsidi pendidikan oleh negara dan tekanan ekonomi menjadikan
tekanan studi serta orientasi kerja sangat menonjol, kesadaran dan kerinduan
organisasi melemah luar biasa. Di sisi lain sejak remaja kebudayaan populer
yang serba gemerlap terus dijejalkan melalui media massa dan teknologi, ini
melahirkan generasi yang cenderung hedonis & individualis. Hal ini membuat
keterlibatan kaum muda di gereja semakin berkurang.
2. Apa yang kita pelajari ?
Dari sejarah tersebut ditunjukkan hal-hal berikut :
* Awam yang kuat
Dinamika Gereja sangat hidup di tahun 1950 – 1970-an karena kuatnya peran
kaum muda dalam gereja. Artinya, kaum muda mau memberi diri berperan aktif.
Inisiatif gerakan selalu berawal dari kaum muda.
* Dukungan hirarkhi yang kuat
Adanya dukungan sinergis dari hirarkhi mulai dari paroki hingga tingkat
nasional. Ini karena ada saling kebutuhan yang sangat kuat merajut keduanya.
* Visi bersama yang menggerakkan segala sesuatu
Visi yang kuat mampu menyatukan seluruh energi awam dan hirarkhi ke dalam
satu barisan pendampingan dan kaderisasi kaum muda yang sangat tertata. Yang
pertama semangat anti komunisme, yang kedua mempengaruhi kekuasaan.
* Spiritualitas yang utuh dan mendalam
Kalau gereja sekarang berorientasi pada aspek liturgis semata, Gereja pada
periode-periode awal hingga tahun 1970-an sangat berorientasi pada formatio umatnya.
Ini terasa mulai dari pendekatan pendidikan dan spiritualitas
sehingga melahirkan generasi muda Katolik dengan wataknya khas: religius,
sederhana, sabar, telaten, daya tahan, cerdas, bisa dipercaya, serta
organisator ulung.
* Dari politik kekuasaan menjadi politik kemanusiaan
Gerakan politik Katolik lama adalah politik kekuasaan. Akibatnya umat agama
lain merasa tersisihkan, tidak mendapat ruang dalam politik nasional. Ini
melahirkan kebencian yang masih sangat membekas hingga kini. Sejak periode 1980
– 1990-an gerakan kembali pada orientasi kemanusiaan. Contohnya (alm) Romo
Mangunwijaya.
4. Membuka Kesadaran
Gereja dan OMK berada di tengah realitas kemiskinan, pluralitas agama dan
budaya, perusakan lingkungan hidup, korupsi, kekerasan. Di tengah kondisi ini,
Umat Katolik yang berjumlah 3 persen dari jumlah penduduk (sekitar 7,5 juta
jiwa) dengan jumlah OMK sekitar 4 juta jiwa merupakan kekuatan yang potensial
untuk menyumbangkan kesaksian hidup akan karya keselamatan di Indonesia.
Kalau dulu kaum muda memberi diri dalam karya sosial politik sebagai wujud
kesaksian hidup, bagaimana dengan kaum muda sekarang? Akankah kita diam urus
diri sendiri tanpa mau peduli akan nasib sesama dan Gereja? Apakah tunggu ada
masalah dulu baru kita datang ke Gereja?
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar