Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI) menutup sidang tahunan baru-baru ini dengan sebuah pesan yang
menggaris-bawahi pentingnya membangun dialog lintas-iman untuk mengikis
fanatisme agama. Menurut KWI, keadaan bangsa Indonesia saat ini cakup
memprihatinkan karena Pancasila, sebagai dasar negara, dirongrong oleh
radikalisme dan terorisme. Sementara itu, kesatuan bangsa Indonesia dicederai
oleh sikap intoleran terhadap mereka yang memiliki keyakinan berbeda.
KWI melihat
bahwa berbagai sentimen suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) yang
digunakan dalam politik untuk mencapai kepentingan tertentu dengan mengabaikan
cita-cita kesejahteraan bersama, keadilan sosial dan keluhuran martabat manusia
turut memperparah situasi tersebut.
“Gereja Katolik harus terus membuka diri untuk membangun dialog
dengan agama lain yang didasari ketulusan. Dialog ini penting untuk membangun
sikap saling mengenal satu sama lain, meruntuhkan berbagai kecurigaan dan
mengikis fanatisme agama,” ungkap para uskup dalam pesan berjudul Panggilan Gereja
Membangun Tata Dunia. Pesan setebal tiga halaman itu dikeluarkan
seusai sidang tahunan yang berlangsung 6 – 16 November 2017 di Gedung KWI di
Menteng, Jakarta Pusat.
“Dengan dialog, Gereja ingin meneruskan misa Tuhan yaitu
merobohkan tembok-tembok pemisah dan membangun jembatan persahabatan dengan
semua orang demi terwujudnya persaudaraan sejati yang mengarah pada hidup
bersama yang lebih damai dan tenteram.”
Sekretaris Jenderal KWI, Uskup Bandung Mgr Antonius Subianto
Bunyamin OSC, mengatakan bahwa salah satu cara konkret untuk membangun dialog
adalah melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial. “Misalnya, tidak pernah
menolak undangan untuk terlibat aktif dalam kepengurusan Rt, RW dan kelurahan,”
paparnya.
“Dengan terlibat aktif dalam gerakan bersama (semacam itu) bisa mengembangkan sikap terbuka, memperkuat Bhinneka Tunggal Ika, membangkitkan semangat musyawarah dan mewujudkan keadilan sosial. Maka kehadiran Gereja Katolik menjadi lebih relevan dan signifikan,” lanjut Mgr Bunyamin OSC.
Uskup Bandung ini mengatakan bahwa KWI ingin mengaktualisasikan dokumen Konsili Vatikan II, Apostolicam Actuositatem, tau dekrit tentang kerasulan awam, yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI pada 18 November 1965. “KWI menggaris-bawahi dokumen terbut karena panggilan ini sangat konkret saat ini: bagaimana kaum awam sungguh terlibat dan para gembala membantu kaum awam supaya tidak pecah soal pilihan politik,” tambahnya.
Dalam pesannya, KWI memang menyinggung soal peran hierarki dalam mendukung kaum awam agar lebih berani mengambil peran politik khususnya menjelang pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan dilangsungkan secara serentak di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten pada 2018 dan pemilihan presiden pada 2019.
Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar OFM mengakui bahwa sentimen SARA tidak begitu kental di Propinsi Papua. Namun ada kekhawatiran bahwa kaum pendatang yang kebanyakan muslim akan mendominasi secara ekonomi. “Kami berusaha bertemu para tokoh agama untuk berdialog,” ungkapnya.
agama lain yg fanatik, gereja katolik yg kikis. Kayak cleaning service aja
BalasHapusItulah tugas Gereja Katolik, "Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar." (Matius 5: 45)
Hapus