Karya
belas kasihan bukan untuk meringankan hati nurani seseorang, tetapi merupakan
tindakan untuk turut menderita dengan orang-orang yang menderita. Berbelas
kasihan kepada orang lain tidak hanya berarti berbagi rasa sakit namun juga
mengambil resiko untuk mereka. Demikian ungkap Paus Fransiskus saat misa pagi
di Domanus Sanctae Marthae pada 5 Juni.
“Pikirkan
di sini di Roma, di tengah perang. Beberapa orang, dimulai dengan Pius XII,
mengambil resiko untuk menyembunyikan orang Yahudi sehingga mereka tidak akan
terbunuh, sehingga mereka tidak akan dideportasi. Mereka mempertaruhkan nyawa
mereka! Itu karena karya belas kasih untuk menyelamatkan nyawa orang-orang,”
papar Paus Fransiskus.
Homili
Paus Fransiskus terfokus pada bacaan pertama hari itu, dari Kitab Tobit, yang
menceritakan bagaimana penulisnya, salah satu dari orang Israel di pengasingan,
berduka cita atas kematian seorang kerabat yang dibunuh dan menguburkannya,
sebuah tindakan yang dilarang pada saat itu.
Sebuah
karya belas kasihan, seperti yang dilakukan Tobit, bukan hanya “perbuatan baik
sehingga saya bisa menjadi lebih tenang, sehingga saya tidak ada beban,” tetapi
ini adalah cara untuk “bersimpati dengan rasa sakit orang lain,” jelas Paus
Fransiskus. “Berbagi dan bersimpati tidak bisa dipisahkan. Seseorang yang tahu
bagaimana berbagi dan bersimpati dengan masalah orang lain adalah belas
kasihan,” tambah Paus Fransiskus.
Tobit
tidak hanya mempertaruhkan nyawanya dalam melanggar hukum, dia juga mengalami
cemoohan oleh rekan-rekannya sesama orang Israel. Untuk melakukan pekerjaan
balas kasihan, Paus Fransiskus menjelaskan, “berarti selalu memanggung
ketidaknyamanan.”
“Itu
membuat kita tidak nyaman,” tegas Paus Fransiskus. “Tapi Tuhan menanggung
ketidaknyamanan bagi kita: Dia dipaku di kayu salib untuk memberi kita
selamat.”
sumber:
UCAN Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar