MAAFKAN AKU, LALA
Namanya Lala. Aku baru tahu dia sebagai anak asput[1] St. Clara ketika ia dan Jeni datang menemuiku. Aku sungguh mengaguminya. Aku senang melihatnya tersenyum, menampilkan barisan gigi putihnya dan lesung pipit di kedua pipinya. Bibirnya mungil terlihat kemerahan alami tanpa polesan kosmetik. Rambutnya dipotong shaggy sampai di pundak, sangat serasi dengan wajahnya yang bulat oval. Namun, yang membuat aku tertarik adalah kesederhanaannya.
Sejak pertemuan itu, wajahnya tak pernah hilang dari pikiranku. Ia selalu
hadir disetiap gerak hidupku di seminari. Sampai-sampai teman semeja makan
selalu menggoda, takut aku salah masukkan sendok ke dalam mulut karena ...
Apakah aku lagi jatuh cinta? batinku pada suatu sore. Memang aku suka
padanya. Tak bisa kupungkiri. Ingin sekali berjalan berdua dengannya sambil
sesekali merangkul atau bergandeng, seperti yang dilakukan teman-teman sekolah
yang bukan seminari. Ahk,
seandainya aku bukan seminaris, pasti sudah aku pacari dia.
Atau berdosakah aku bila suka dan kagum padanya? Bila aku pacaran
dengannya? Dulu ada pembina berkata kalau kami ini adalah calon imam yang
berarti hidup kami harus sudah mirip seperti imam. Apakah adil bila kami yang
seorang remaja sudah dipaksakan mengambil kehidupan
orang dewasa?
Jangan-jangan ini pertanda kalau aku tak terpanggil. Tidak! gumanku dalam hati. Aku terpanggil. Aku mau jadi imam. Tapi, bagaimana
dengan ini? Oh Tuhan, kenapa Kau panggil aku tanpa
menghilangkan rasa cinta ini? keluhku.
”Pernah kau ungkapkan perasaanmu padanya?” tanya Aldo suatu siang.
”Itu lagi yang
jadi soal. Aku tak punya nyali,” ungkapku polos disambut tawa ringan sobat
karibku itu. ”Tapi, anak asput yang lain udah tahu jika aku naksir dia.”
”Bisa saja itu hanya perasaanmu. Sapa tahu dia tak punya perasaan itu.”
”Entahlah, akupun tak tahu. Terlihat akhir-akhir ini ia selalu menjauhiku.
Sikapnya pun dingin dan acuh.”
”Gimana kalo pake perantara?”
“Siapa?”
“Nita. Aku kenal baik dia. Lagi pula Nita kan sohibnya Lala.”
”Aku takut ketahuan sama suster. Bukan hanya aku yang jadi sasaran. Lala
juga jadi korban.”
”Aku bukan langsung cerita isi hatimu.” Aldo berteori. ”Cuma tanyakan
sikapnya yang dingin terhadapmu. Aku jamin Nita takkan bilang ke orang lain
demi Lala”
Dari Nita, aku tahu perihal sikap Lala yang dingin dan cuek terhadapku.
Ternyata ia takut kalau dirinya menghambat panggilanku.
”Sebenarnya dia juga suka diriku,” ungkapku. ”Ada rasa itu di hatinya,
namun dia takut mengungkapkannya karena bisa menggagalkan panggilanku.”
”Sepertinya
begitulah. Anak asput juga pada pikir begitu”
”Kau tau, Do,” ujarku, ”aku semakin mencintainya.”
”Hei, kau mau keluar atau....”
”Entahlah. Aku tak tahu. Tapi salahkah bila aku menyukainya? Terlarangkah
rasa ini?” Aldo membisu. ”Bukankah kita ini remaja. Keremajaan itu salah satu
fase dalam kehidupan manusia. Setiap manusia pasti melaluinya. Yang aku alami
ini kan bentuk dari pergolakan masa remaja.
Semua remaja tentu mengalaminya. Kita tak bisa menghindar. Tak bisa
menyangkalnya.
”Kita memang calon imam. Tapi kita juga manusia. Sebagai manusia pasti kita
lalui dan alami masa remaja dengan gejolaknya. Tak mungkin kita langsung lompat
menjadi dewasa, hanya karena mau jadi imam. Semua imam pasti pernah jadi
remaja. Mana ada imam yang terlahir sebagai dewasa. Imam juga manusia.
”Karena itu, adalah wajar kalau aku menyukainya. Ini bagian dari
keremajaanku. Seminari tak boleh menghalang. Kalau demikian, berarti seminari
akan menghilangkan salah satu fase dalam hidup kita.”
”Gus, aku pikir kau perlu bicara sama Bapa[2] Mago.” Aldo tiba-tiba nyeletuk setelah
sekian lama dikotbahi. ”Aku yakin beliau bisa memberikan masukan buatmu.”
”Aman tidak? Jangan-jangan aku dikeluarkan. Dulu ada frater yang bilang
kalo pembinaan di seminari menuntut seminaris untuk munafik, karena kejujuran
bisa membahayakan panggilan.”
”Aku rasa tidak!
***
Aku dan beberapa teman berjalan menuju asput. Sore ini ada acara pesta di
sana. Empat cewek cantik menerima kami. Seorang menghantar kami ke tempat di
mana akan diadakan upacara misa yang dipimpin oleh Bapak Uskup. Beberapa
undangan sudah datang. Sebagian besar anak asput sudah duduk di dalam ruangan.
Mereka sebagai koor. Aku melihat ada lima orang anak seminari bergabung dengan mereka. Mungkin suster memintanya.
Ketika hendak
duduk seorang anak asput mendekati kami. Ia berbisik kepadaku, “Kak Agus, nanti
sumbang satu lagu, ya?!”
Aku mau menolak,
tapi gadis itu segera berlalu. Aku cuma bisa mengumpat dalam hati, sementara
Aldo tersenyum saja.
Maka, ketika
acara resepsi dan hiburan, seorang MC meminta diriku untuk maju ke depan dan
membawakan sebuah lagu sebagai hiburan. Sontak suara tepuk tangan dari
anak-anak asput dan seminaris membahana di ruangan yang sehari-hari dipakai
sebagai kamar makan. Aku jadi kikuk. Maklum, aku sama sekali tidak siap.
Dengan langkah
berat aku berjalan ke depan. Keringat dingin mulai mengalir membasahi keningku.
Kuusap dengan punggung tanganku. Aku mengumpat, kenapa tidak membawa sapu
tangan (maklum, sejak muncul isu global
warming aku lebih memilih
pakai sapu tangan ketimbang kertas tissue). Seorang cewek mendekatiku dan memberikan
selembar tissue.
Kulihat semua mata tertuju padaku. Mereka semua tenang. Aku menarik nafas
dalam untuk menenangkan diri. Kuambil gitar dan sejenak memikirkan lagu. Tanpa
sengaja, terlintas dalam pikiranku lagu Once, ’Aku
Mau’.
Kau boleh acuhkan diriku,
Dengan ’nggap ku tak ada
Tapi takkan mengubah perasaanku kepadamu..
Semua tenang
mendengarkan laguku. Kulihat Lala duduk di antara temannya. Dia
tertunduk. Sesekali ia mengusap matanya dengan tissue. Menangiskah dia?
batinku. Karena laguku?
Saat acara rekreasi aku pulang sendirian. Ketika sampai di depan asrama,
aku mendengar sebuah suara memanggilku. Aku menoleh. Ternyata Tika. Ia bersama
Lala.
”Kak, Lala mau bicara.” Tika langsung pergi.
”Aku minta maaf atas sikapku selama ini.”
”Tak perlu minta maaf. Kamu tak salah. Kamu sungguh baik. Hatimu sangat
mulia. Akulah yang seharusnya minta maaf.” Sejenak kami terdiam, sibuk dengan
pikiran masing-masing.
Kuberanikan diri untuk meraih tangannya. ”Maafkan aku telah mencintaimu.”
Lala tertunduk. Ia mengatup kedua bibirnya. ”Kuharap aku bisa melupakanmu. Kau
mau bantu aku, kan?!” Lala tetap tertunduk. Aku melepaskan tangannya dan
berjalan pulang.
”Kak,” suara itu memaksaku menoleh. ”Kita masih bisa berteman, kan?”
Aku mengangguk.
Seulas senyum tersungging di bibirnya. Senyuman yang membuat aku kagum kepadanya,
yang takkan mungkin kulupakan.
Waena, 9 Okt 2009
by: adrian
Baca juga cerpen lainnya:
2. Leo dan Lia
3. Kuda Lumping
6. Jam Waker
Tidak ada komentar:
Posting Komentar