Jumat, 05 Desember 2025

Refleksi Mengakhiri Tahun Yubileum 2025 dan Menyongsong Tahun 2026

 Sukacita Peziarah Pengharapan Untuk Bertanggungjawab Memelihara “Rumah Bersama”

RD. Antonius Wahyu P

Pengantar

Tidak terasa Tahun Yubileum akan segera berakhir, perjalanan satu tahun merayakan Tahun Yubileum tentunya penuh warna dan banyak pengalaman yang boleh disyukuri. Paus Fransiskus dalam bulla Yubileum yang berjudul Spes non Confundit mengajak semua umat beriman, para uskup, imam dan biarawan-biarawati untuk memiliki pengharapan dalam hidup. Di tengah ketidakpastian dunia dan masa depan, kita diajak untuk memperbarui harapan tersebut “karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Roma 5:1-2,5). Paus mengajak setiap insan beriman untuk berjalan bersama dalam iman, menyalakan cahaya pengharapan, dan merajut kasih di tengah tantangan zaman. Lebih dari sekadar perayaan, Yubileum adalah panggilan untuk kembali kepada inti iman: pertobatan, belas kasih, dan kebersamaan dalam cinta Tuhan.

Paus Fransiskus menekankan pentingnya menjalin solidaritas, kasih, dan perhatian kepada sesama---melihat dengan hati, bukan sekadar dengan mata. Sebab di sekitar kita, ada tangisan yang tak terdengar, bukan karena tak bersuara, tetapi karena dunia terlalu sibuk untuk memperhatikannya. Pengharapan yang lahir dari kasih Allah dan didasarkan pada kasih Allah yang memancar dari hati Kudus Yesus yang tertikam di kayu salib. Karena kurban Kristus itu selalu hidup dan hadir di tengah Gereja-Nya, maka pengharapan itu pun selalu hidup. Paus mengajak kita untuk melihat pengharapan itu secara global, yaitu tentang perdamaian dunia, pengharapan untuk memiliki semangat hidup dan berbagi, panggilan pengharapan bagi saudara-saudari yang mengalami berbagai kesulitan, orang miskin, para lansia, para migran, dan panggilan untuk mendukung kaum muda yang merupakan perwujudan harapan.

Paus Fransiskus mengajak kita untuk memiliki dasar yang kuat untuk berharap, karena Kristus memberi kehidupan kekal sebagai kebahagiaan. Tanpa dasar ini tentu orang akan berputus asa menghadapi penderitaan dan kematian. Harapan akan kehidupan kekal membantu orang untuk mengalami perjumpaan dengan Kristus yang mulia. Kristus yang telah bangkit inilah dasar pengharapan umat beriman, dengan tetap mengakui adanya penghakiman Allah. Itulah mengapa mendoakan mereka yang sudah meninggal menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Indulgensi Tahun Yubileum baik itu untuk kita maupun jiwa-jiwa di api penyucian hendaknya dimaknai sebagai sarana untuk menemukan kembali sifat tak terbatas Allah, yang merupakan ungkapan penuh pengampunan Allah yang tak terbatas (bdk. Spes non Confundit No. 23) Dalam sakramen Tobat kita memperoleh pengampunan dosa, di mana tergenapi teks Mazmur ini, “Dialah [Tuhan] yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat … Tuhan adalah Penyayang dan Pengasih” (Mzm 103: 3-4, 8).

Pada akhirnya Paus mengajak kita untuk meneladani Maria sebagai saksi mulia bagi pengharapan. Ketabahannya dan ketegaran hatinya saat berdiri di kaki salib puteranya. Meskipun diliputi kesedihan mendalam, namun dia tetap memiliki harapan kepada Allah. Yubileum yang akan segera berakhir ini dirayakan oleh seluruh umat beriman dengan berbagai macam bentuk peziarahan, doa dan olah rohani. Saya mencoba menyampaikan refleksi singkat ini berdasarkan pengalaman yang saya jumpai dalam perjalanan hidup panggilan imamat dan pelayanan pastoral di tengah umat.

Harapan Yang Membahagiakan: Sukacita Rahmat Tahbisan Imam

Sebagai imam baru saya mulai banyak menjalankan tugas-tugas di paroki untuk pelayanan pastoral. Penempatan tugas kembali di Tanjungpinang membuat saya lebih mudah menyesuaikan diri dengan situasi pastoral di paroki. Saya bersyukur atas rahmat tahbisan imamat yang telah saya terima, dan berkomitmen untuk terus mampu menempatkan Kristus sebagai pusat hidup imamat. Allah sumber kekuatan memampukan saya untuk setia, taat dan teguh. Saya menyadari bahwa proses panjang yang telah saya lewati mulai dari hidup sebagai biarawan dan akhirnya menjadi imam diocesan tidak lepas dari penyertaan Allah. “Non Mea Voluntas Sed Tua Fiat” (Lukas 22:42) Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi menjadi motto tahbisan yang sekaligus penyemangat hidup dalam menjalani panggilan imamat saya. Penerimaan sakramen imamat bukanlah akhir melainkan awal dari perjalanan panggilan saya sebagai seorang imam. Perjuangan terus berlanjut dan akan mengundang berbagai tantangan yang dijumpai dalam perjalanan panggilan.

 Allah adalah inisiator utama dalam kehidupan panggilan saya. Dia telah hadir dalam banyak pengalaman dan juga setiap pribadi yang berperan dalam perjalanan panggilan saya. Keluarga yang selalu mendukung, teman-teman angkatan, baik yang dulu di Seminari Menengah maupun teman angkatan yang bersama-sama menerima rahmat tahbisan. Demikian juga para imam yang turut serta berjalan bersama dalam sinodalitas dan kolegialitas para imam. Saya bersyukur bahwa Allah juga hadir dalam setiap pengalaman baik selama hidup diluar, maupun dalam proses internalisasi ke dalam Keuskupan Pangkalpinang. Kami bertiga bersyukur boleh menerima rahmat tahbisan di tahun Yubileum ini. Secara khusus saya pribadi, yang memaknai bahwa harapan yang membahagiakan itu saya rasakan sebagai sukacita dan buah dari penantian dan perjalanan panggilan. Rahmat tak terhingga kami terima melalui penumpangan tangan uskup dan para imam. Lewat penumpangan tangan dan doa, kami menerima misi untuk bertindak dalam pribadi Kristus, inilah pengalaman yang penuh rahmat.

Peziarahan panggilan itu terus berlanjut, dengan tetap membawa harapan yang penuh sukacita. Saya menyadari bahwa rahmat itu semata-mata karena kehendak dan penyertaan Allah sendiri. Allah menghendaki saya untuk menjadi saluran kasih dan sabda-Nya di tengah umat dan siapa saja yang saya layani. Oleh karena itu kuasa rohani yang diperoleh, merupakan anugerah Allah yang senantiasa menyertai. Sekalipun dalam ketidakpantasan, saya berusaha untuk setia dan taat. Melalui hidup rohani, doa dan Ekaristi yang menjadi sumber kekuatan, Allah memampukan saya. Allah membuka hati saya untuk lebih peka pada situasi, terutama pribadi-pribadi yang membutuhkan perhatian, mereka yang sakit, meninggal, dan berbagai masalah di tengah umat. Saya bersyukur boleh terlibat dalam pelayanan pastoral di tengah umat dan juga bagi mereka yang berada diluar lingkup gereja Katolik.

Berjalan Bersama Dalam Komunitas

            Tuhan sering berbicara dalam kelembutan dan bisikan, namun dunia yang bising sering kali membuat kita kurang mampu mendengarkan bisikan Tuhan. Selama Tahun Yubileum ini sudahkah kita kembali mendengar, merangkul dan bertindak dengan kasih yang nyata. Mendengar dengan hati, bukan sekedar menangkap suara dengan telinga. Setiap sharing dari umat di dengarkan, juga dalam doa bersama dengan komunitas pastoran yang biasa kami laksanakan setiap hari selasa. Dalam menanggapi keluhan dan curhatan umat saya mencoba menanggapi dengan bijaksana dan perhatian. Terkadang juga umat tidak butuh nasehat panjang, hanya kehadiran yang meneguhkan ketika terucap dari mulut mereka “Terima Kasih Romo sudah boleh bercerita”. Seperti Yesus yang berhenti di tengah langkah-Nya untuk mendengarkan seruan Bartimeus (Mrk 10:46-52), kita pun dipanggil untuk memberi waktu, menajamkan hati, dan menjadi telinga bagi mereka yang tak berani bersuara.

            Setiap pribadi memiliki karakter yang khas, baik dari kepribadian bahkan dalam bentuk pelayanannya. Tindakan sederhana yang terkadang tidak diperhatikan, sebenarnya merupakan bentuk perhatian bagi rekan komunitas di pastoran. Sekedar membuat jus atau menyediakan buah dan makanan yang menyehatkan adalah bentuk sederhana dalam merawat harapan di lingkup keluarga pastoran. Kisah dan cerita yang meneguhkan di meja makan menjadi kesempatan untuk saling berbagi cerita dan pengalaman. Ada yang mencintai dengan cara melayani dalam dunia pendidikan di sekolah, ada juga yang secara sederhana merawat tanaman dan lingkungan di pastoran. Apapun bentuknya, itulah bentuk saling melengkapi di komunitas kami. Ketika satu orang berhalangan tetap tanggap untuk hadir menggantikan tugas pelayanan.

            Kasih yang sejati selalu bergerak, Dia tidak berhenti pada niat baik atau sekedar kata-kata penghiburan, tetapi mewujud dalam tindakan sederhana yang penuh ketulusan. Terkadang, perbuatan kecil dapat menjadi terang bagi mereka yang hampir padam harapannya. Tahun Yubileum bukan hanya sekedar merayakan melainkan juga menghidupi maknanya. Ketika kita mampu berhenti sejenak dari kesibukan kita, membuka mata dan hati, dan menjadi harapan bagi mereka yang hampir menyerah. Sebab harapan bukan hanya tentang menantikan sesuatu yang lebih baik, tetapi juga tentang menjadi terang bagi sesama, meski dalam cara yang paling sederhana.

Bersama Umat Merawat Harapan Yang Tidak Mengecewakan

            Tahun Yubileum menjadi panggilan setiap umat beriman secara khusus para imam sebagai animator proses sinodal untuk mendengar dengan hati, sebab kasih sejati tak hanya berbicara, melainkan juga mendengarkan. Mungkin kita tak mampu menghapus semua air mata, tetapi dengan kepekaan dan kepedulian, kita bisa menjadi pelipur bagi mereka yang menangis dalam diam---sebab harapan tak selalu hadir dalam cahaya gemilang, tetapi juga dalam keheningan kasih yang peduli. Kepekaan akan kebutuhan umat dalam pelayanan pastoral mendorong kita untuk membuka mata pada realita bagi mereka yang membutuhkan cinta. Bersama dengan umat di paroki, para imam di Paroki HSMTB berjalan bersama umat dalam semangat sinodalitas di Tahun Yubileum ini.

Tidak semua luka mengeluarkan darah, tidak semua duka meneteskan air mata. Ada kesedihan yang tersembunyi di balik senyuman, ada pergumulan yang disamarkan dalam tawa, ada rasa sakit yang disimpan dalam diam. Kita hidup di antara mereka yang memilih untuk bersembunyi di balik kata "Aku baik-baik saja", meski di dalam hatinya ada kepedihan yang tak terkatakan. Kasih sejati tidak hanya hadir bagi mereka yang bersuara, tetapi juga bagi mereka yang tak sanggup mengungkapkan luka. Solidaritas bukan sekadar mengulurkan tangan kepada yang meminta pertolongan, tetapi juga membuka mata bagi mereka yang menanggung beban dalam kesendirian. Pendampingan bagi mereka yang membutuhkan kehadiran para imam merupakan langkah konkret merawat harapan. Mengunjungi yang sakit dan memberikan sakramen pengurapan orang sakit, melayat mereka yang meninggal dan merayakan ekaristi bagi keselamatan jiwa dan penghiburan bagi keluarga.

Selama Tahun Yubileum, Paroki HSMTB mendampingi umat dalam peziarahan, kunjungan ke penjara, pendampingan hukum bagi umat, pelayanan sakramen, dan juga pemberesan perkawinan bagi pasangan suami isteri. Selama satu tahun ini setidaknya sudah ada 39 pasangan yang dibantu pemberesan perkawinannya. Mereka diajak menemukan kembali rahmat Allah dan merasakan belas kasih Allah yang tanpa batas. Dengan demikian, kami memahami pentingnya memiliki hati yang peka dan mata iman---agar kita tidak hanya melihat yang tampak, tetapi juga merasakan yang tersembunyi. Kepekaan adalah seni mendengar suara yang tak terucapkan, membaca kesedihan yang tak tertulis, dan merangkul mereka yang tak meminta. Sebab sering kali, yang paling membutuhkan uluran tangan bukanlah mereka yang berseru paling nyaring, melainkan mereka yang diam dalam luka. 

Tahun Yubileum ini mengundang kita untuk berhenti sejenak, menajamkan batin, dan membiarkan kasih menjadi bahasa yang mengerti tanpa perlu kata-kata. Sebab terkadang, perhatian yang tulus lebih menenangkan daripada jawaban, dan kehadiran yang peduli lebih menyembuhkan daripada seribu nasihat. Mari belajar dari Yesus sang Peziarah Harapan yang sejati, Dia tidak hanya melihat yang tampak,tetapi juga menyentuh luka yang tersembunyi, Kasih-Nya melampaui batas kata-kata, hadir dalam sentuhan lembut dan perhatian yang tulus. Dia menjumpai wanita yang telah dua belas tahun mengalami pendarahan (Luk 8:43-48), yang tanpa kata hanya mampu berharap bahwa dia akan sembuh. Yesus juga menjumpai Bartimeus si buta di pinggir jalan (Mrk 10:46-52), yang suaranya ditenggelamkan oleh hiruk-pikuk keramaian, tetapi tidak bagi Yesus. Ia berhenti, memanggilnya, dan dalam kasih-Nya, memberi penglihatan serta harapan baru. Dan Maria Magdalena (Yoh 20:11-18), yang menangis dalam sunyi di depan makam kosong, menemukan sukacita ketika Yesus menyapanya dengan penuh kelembutan. 

Yesus tidak menunggu mereka datang dengan permohonan yang jelas, tanpa kata bahkan hanya lewat air mata. Dia 'melihat' sebelum diminta, 'mendengar' sebelum seruan itu sampai ke telinga dunia. Itulah kasih sejati---kasih yang lebih dulu menyadari, lebih dulu memahami, lebih dulu mengasihi. Kita para imam diajak untuk sama seperti Yesus yang sungguh peka akan kebutuhan umat-Nya. Saat ini, di tengah perjalanan hidup kita, panggilan itu disampaikan kembali: Bagaimana kita dapat meneladani Kristus? Mungkin bukan dalam mukjizat besar, tetapi dalam hal-hal kecil yang berarti. Dalam mata yang memperhatikan mereka yang selalu tersisih. Dalam telinga yang sedia mendengar tanpa menghakimi. Dalam tangan yang terulur, meski tanpa diminta. Dalam langkah yang mendekat, bahkan kepada mereka yang merasa tak pantas dicintai. 

Tahun Yubileum yang sebentar lagi akan berakhir bukan hanya sekedar perayaan, melainkan sebuah undangan untuk menapaki jalan kasih Kristus. Sebab harapan tidak hanya bersinar dalam cahaya terang, tetapi dalam kehadiran yang tulus bagi mereka yang membutuhkan sapaan, dan uluran tangan kita. Di sanalah dalam setiap sentuhan kasih, Kristus hadir kembali melalui para imam nya. Semangat tahun Yubileum tetap dihidupi di tahun-tahun selanjutnya dalam setiap pelayanan kita. 

Bertanggungjawab Melaksanakan Misi Untuk Memelihara “Rumah Bersama”

            Tahun Yubileium akan kita tutup namun sukacita peziarahan pengharapan itu tetap harus dimiliki sebagai bentuk keberlanjutan yang mendasari pelayanan kita. Kita menyongsong tahun 2026 dengan penuh harapan dan sukacita dengan fokus pastoral di Keuskupan kita: Bertanggungjawab bersama dalam melaksanakan misi untuk memelihara “Rumah Bersama” Bapa Uskup mengajak seluruh umat untuk tetap melanjutkan semangat sinodalitas berjalan bersama (partisipatif-sinodal). Dengan mendasarkan pada hasil sinode Gereja Universal 2024, kita diingatkan untuk memberikan perhatian pada saudara-saudari yang mungkin selama ini belum diberikan ruang cukup untuk terlibat, misalnya berkaitan dengan peran serta kaum perempuan dalam tugas pelayanan.

            Setiap paroki dapat melanjutkan semangat Tahun Yubelium yang sudah dihidupi dalam pelayanan di tengah umat, perhatian pada lansia dan kaum terpinggirkan, umat yang rentan dan kurang mampu secara ekonomi, dan mereka yang mungkin kurang mendapat sapaan selama ini. Perhatian itu dapat terungkap dalam berbagai bentuk pelayanan dan kegiatan bersama umat, aksi nyata di KBG dan kelompok kategorial. Budaya untuk “lebih dekat” dengan umat dan menjadi pelayan yang terbuka dan rendah hati kiranya tetap terus dihidupi. Komunikasi yang baik di internal sesama imam pun kiranya dilihat kembali untuk dihidupkan semangat sinodalitas, rekonsiliasi dan berbagi tanggungjawab bersama dalam pelayanan.

            Selain itu juga berkaitan dengan pelaksanaan misi, untuk bergerak keluar kepada masyarakat luas, keterlibatan dengan FKUB misalnya. Salah satu pendampingan yang semakin mendapat perhatian adalah kelompok umat di kalangan TNI dan Polri. Setelah kunjungan Bapa Kardinal Suharyo dan pelantikan pengurus DKP OCI, pendampingan untuk umat di kalangan TNI, Polri dan ASN semakin diotimalkan. Perayaan Tahun Yubileum bersamaTNI dan Polri  baik di Batam maupun Tanjungpinang menjadi permulaan untuk pelaksanaan pendampingan kepada mereka. Harapannya setiap umat yang bekerja di lingkungan TNI, Polri dan ASN beserta keluarganya dapat secara maksimal dilayani dengan semangat 100% Katolik, 100% Indonesia.

            Selanjutnya, fokus pastoral 2026 adalah tentang “Memelihara Rumah Bersama” yang bisa kita pahami sebagai bentuk perhatian pada lingkungan hidup. Hal ini sekaligus bentuk pelaksanaan dari rekomendasi temu pastoral Regio Sumatera untuk menindaklanjuti seruan Paus Fransiskus mengenai kepedulian terhadap lingkungan. Sejauh ini di paroki HSMTB dimaksimalkan penataan taman gereja, dan taman doa bersama komunitas Fransiskan OFS. Demikian juga di sekolah, Rm. Kamilus merawat lingkungan sekolah dengan pembuatan taman yang sekaligus menjadi sarana pembelajaran siswa. Sementara itu di pastoran Rm. Moses merawat berbagai macam tanaman hias dan saya mulai menanam sayuran dengan memanfaatkan lahan yang sempit. Pengolahan sampah organik dari sisa potongan sayur di dapur juga dibuat di pastoran. Seruan apostolik Paus Fransiskus “Laudate Deum” yang merupakan kelanjutan dari Laudato Si menjadi bahan refleksi untuk melaksanakan misi “Merawat rumah bersama”

            Di tengah kondisi alam semesta yang sudah banyak rusak, dan terjadi berbagai macam bencana, secara khusus di wilayah Sumatera Utara, para imam diajak terlibat mengajak umat untuk “Merawat rumah bersama”. Selain langkah membantu dengan doa dan donasi, setidaknya kejadian itu menggerakkan kita untuk menumbuhkan kesadaran di tengah umat untuk sadar akan pentingnya merawat lingkungan tempat tinggal kita. Berbagai macam bentuk kegiatan dapat dilaksakan dengan semangat ini.

Berbagi Komitmen Pastoral Bersama Menyambut Tahun 2026

Tahun Yubileum 2025 bukan sekedar peringatan dan berlomba-lomba untuk mengisi daftar tempat peziarahan, melainkan kita diundang untuk lebih peka, senantiasa hadir dan lebih mencintai. Kita melatih diri agar tidak hanya mendengar dengan telinga tetapi dengan hati, juga kelembutan jiwa. Mungkin kita tidak mampu untuk menghapus setiap luka dan air mata, tidak mampu menyelesaikan semua persoalan dalam pelayanan, tetapi setidaknya menjadi sahabat yang menemani. Marilah kita mengakhiri Tahun Yubileum ini dengan tetap memiliki sukacita harapan untuk berjalan bersama dan terlibat untuk merawat “Rumah bersama”. Pertanyaan refleksi yang dapat kita renungkan adalah:

1.      Bagaimana upaya kita sebagai imam untuk tetap merawat harapan bagi mereka yang masih belum tersentuh oleh pelayanan dan kurang mendapat perhatian?

2.      Langkah konkret ekologis apa yang dapat dilakukan untuk “Merawat rumah bersama”, menumbuhkan kesadaran di kalangan umat baik melalui dialog maupun partisipasi?

3.      Bagaimana setiap paroki melakukan kaderisasi/pendampingan untuk mempersiapkan umat menjadi pelayan awam yang membantu pelayanan pastoral?

Ketika kita mampu meluangkan waktu untuk yang kurang diperhatikan, menahan diri untuk menghakimi serta menghadirkan cinta dalam hal-hal kecil yang sering terlewat. Kiranya Tuhan membuka mata kita untuk melihat yang tersembunyi, telinga kita untuk mendengar yang terdiam, dan hati kita untuk bertindak dalam kasih yang tulus. Tuhan yang penuh kasih, ajarilah kami untuk mendengar dengan hati, merangkul dengan kelembutan, dan bertindak dengan ketulusan. Jadikanlah kami peziarah harapan di dunia yang haus akan cinta. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar