Pengantar
Tidak
terasa Tahun Yubileum akan segera berakhir, perjalanan satu tahun merayakan
Tahun Yubileum tentunya penuh warna dan banyak pengalaman yang boleh disyukuri.
Paus Fransiskus dalam bulla Yubileum yang berjudul Spes non Confundit
mengajak semua umat beriman, para uskup, imam dan biarawan-biarawati untuk
memiliki pengharapan dalam hidup. Di tengah ketidakpastian dunia dan masa
depan, kita diajak untuk memperbarui harapan tersebut “karena kasih Allah
telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Roma 5:1-2,5). Paus
mengajak setiap insan beriman untuk berjalan bersama dalam iman, menyalakan
cahaya pengharapan, dan merajut kasih di tengah tantangan zaman. Lebih dari
sekadar perayaan, Yubileum adalah panggilan untuk kembali kepada inti iman:
pertobatan, belas kasih, dan kebersamaan dalam cinta Tuhan.
Paus
Fransiskus menekankan pentingnya menjalin solidaritas, kasih, dan perhatian
kepada sesama---melihat dengan hati, bukan sekadar dengan mata. Sebab di
sekitar kita, ada tangisan yang tak terdengar, bukan karena tak bersuara,
tetapi karena dunia terlalu sibuk untuk memperhatikannya. Pengharapan yang
lahir dari kasih Allah dan didasarkan pada kasih Allah yang memancar dari hati
Kudus Yesus yang tertikam di kayu salib. Karena kurban Kristus itu selalu hidup
dan hadir di tengah Gereja-Nya, maka pengharapan itu pun selalu hidup. Paus
mengajak kita untuk melihat pengharapan itu secara global, yaitu tentang
perdamaian dunia, pengharapan untuk memiliki semangat hidup dan berbagi,
panggilan pengharapan bagi saudara-saudari yang mengalami berbagai kesulitan,
orang miskin, para lansia, para migran, dan panggilan untuk mendukung kaum muda
yang merupakan perwujudan harapan.
Paus
Fransiskus mengajak kita untuk memiliki dasar yang kuat untuk berharap, karena
Kristus memberi kehidupan kekal sebagai kebahagiaan. Tanpa dasar ini tentu
orang akan berputus asa menghadapi penderitaan dan kematian. Harapan akan
kehidupan kekal membantu orang untuk mengalami perjumpaan dengan Kristus yang
mulia. Kristus yang telah bangkit inilah dasar pengharapan umat beriman, dengan
tetap mengakui adanya penghakiman Allah. Itulah mengapa mendoakan mereka yang
sudah meninggal menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Indulgensi Tahun Yubileum
baik itu untuk kita maupun jiwa-jiwa di api penyucian hendaknya dimaknai
sebagai sarana untuk menemukan kembali sifat tak terbatas Allah, yang merupakan
ungkapan penuh pengampunan Allah yang tak terbatas (bdk. Spes non Confundit
No. 23) Dalam sakramen Tobat kita memperoleh pengampunan dosa, di mana
tergenapi teks Mazmur ini, “Dialah [Tuhan] yang mengampuni segala
kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang menebus hidupmu dari
lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat … Tuhan
adalah Penyayang dan Pengasih” (Mzm 103: 3-4, 8).
Pada akhirnya Paus mengajak kita untuk meneladani Maria sebagai saksi mulia bagi pengharapan. Ketabahannya dan ketegaran hatinya saat berdiri di kaki salib puteranya. Meskipun diliputi kesedihan mendalam, namun dia tetap memiliki harapan kepada Allah. Yubileum yang akan segera berakhir ini dirayakan oleh seluruh umat beriman dengan berbagai macam bentuk peziarahan, doa dan olah rohani. Saya mencoba menyampaikan refleksi singkat ini berdasarkan pengalaman yang saya jumpai dalam perjalanan hidup panggilan imamat dan pelayanan pastoral di tengah umat.
Harapan Yang Membahagiakan: Sukacita Rahmat Tahbisan Imam
Sebagai
imam baru saya mulai banyak menjalankan tugas-tugas di paroki untuk pelayanan
pastoral. Penempatan tugas kembali di Tanjungpinang membuat saya lebih mudah
menyesuaikan diri dengan situasi pastoral di paroki. Saya bersyukur atas rahmat
tahbisan imamat yang telah saya terima, dan berkomitmen untuk terus mampu
menempatkan Kristus sebagai pusat hidup imamat. Allah sumber kekuatan
memampukan saya untuk setia, taat dan teguh. Saya menyadari bahwa proses
panjang yang telah saya lewati mulai dari hidup sebagai biarawan dan akhirnya
menjadi imam diocesan tidak lepas dari penyertaan Allah. “Non Mea Voluntas
Sed Tua Fiat” (Lukas 22:42) Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang
terjadi menjadi motto tahbisan yang sekaligus penyemangat hidup dalam menjalani
panggilan imamat saya. Penerimaan sakramen imamat bukanlah akhir melainkan awal
dari perjalanan panggilan saya sebagai seorang imam. Perjuangan terus berlanjut
dan akan mengundang berbagai tantangan yang dijumpai dalam perjalanan
panggilan.
Allah adalah inisiator utama dalam kehidupan
panggilan saya. Dia telah hadir dalam banyak pengalaman dan juga setiap pribadi
yang berperan dalam perjalanan panggilan saya. Keluarga yang selalu mendukung,
teman-teman angkatan, baik yang dulu di Seminari Menengah maupun teman angkatan
yang bersama-sama menerima rahmat tahbisan. Demikian juga para imam yang turut
serta berjalan bersama dalam sinodalitas dan kolegialitas para imam. Saya
bersyukur bahwa Allah juga hadir dalam setiap pengalaman baik selama hidup
diluar, maupun dalam proses internalisasi ke dalam Keuskupan Pangkalpinang.
Kami bertiga bersyukur boleh menerima rahmat tahbisan di tahun Yubileum ini.
Secara khusus saya pribadi, yang memaknai bahwa harapan yang membahagiakan itu
saya rasakan sebagai sukacita dan buah dari penantian dan perjalanan panggilan.
Rahmat tak terhingga kami terima melalui penumpangan tangan uskup dan para
imam. Lewat penumpangan tangan dan doa, kami menerima misi untuk bertindak
dalam pribadi Kristus, inilah pengalaman yang penuh rahmat.
Peziarahan panggilan itu terus berlanjut, dengan tetap membawa harapan yang penuh sukacita. Saya menyadari bahwa rahmat itu semata-mata karena kehendak dan penyertaan Allah sendiri. Allah menghendaki saya untuk menjadi saluran kasih dan sabda-Nya di tengah umat dan siapa saja yang saya layani. Oleh karena itu kuasa rohani yang diperoleh, merupakan anugerah Allah yang senantiasa menyertai. Sekalipun dalam ketidakpantasan, saya berusaha untuk setia dan taat. Melalui hidup rohani, doa dan Ekaristi yang menjadi sumber kekuatan, Allah memampukan saya. Allah membuka hati saya untuk lebih peka pada situasi, terutama pribadi-pribadi yang membutuhkan perhatian, mereka yang sakit, meninggal, dan berbagai masalah di tengah umat. Saya bersyukur boleh terlibat dalam pelayanan pastoral di tengah umat dan juga bagi mereka yang berada diluar lingkup gereja Katolik.
Berjalan
Bersama Dalam Komunitas
Tuhan sering berbicara dalam
kelembutan dan bisikan, namun dunia yang bising sering kali membuat kita kurang
mampu mendengarkan bisikan Tuhan. Selama Tahun Yubileum ini sudahkah kita
kembali mendengar, merangkul dan bertindak dengan kasih yang nyata. Mendengar
dengan hati, bukan sekedar menangkap suara dengan telinga. Setiap sharing dari
umat di dengarkan, juga dalam doa bersama dengan komunitas pastoran yang biasa
kami laksanakan setiap hari selasa. Dalam menanggapi keluhan dan curhatan umat saya
mencoba menanggapi dengan bijaksana dan perhatian. Terkadang juga umat tidak
butuh nasehat panjang, hanya kehadiran yang meneguhkan ketika terucap dari
mulut mereka “Terima Kasih Romo sudah boleh bercerita”. Seperti Yesus
yang berhenti di tengah langkah-Nya untuk mendengarkan seruan Bartimeus (Mrk
10:46-52), kita pun dipanggil untuk memberi waktu, menajamkan hati, dan menjadi
telinga bagi mereka yang tak berani bersuara.
Setiap pribadi memiliki karakter
yang khas, baik dari kepribadian bahkan dalam bentuk pelayanannya. Tindakan
sederhana yang terkadang tidak diperhatikan, sebenarnya merupakan bentuk
perhatian bagi rekan komunitas di pastoran. Sekedar membuat jus atau menyediakan
buah dan makanan yang menyehatkan adalah bentuk sederhana dalam merawat harapan
di lingkup keluarga pastoran. Kisah dan cerita yang meneguhkan di meja makan
menjadi kesempatan untuk saling berbagi cerita dan pengalaman. Ada yang
mencintai dengan cara melayani dalam dunia pendidikan di sekolah, ada juga yang
secara sederhana merawat tanaman dan lingkungan di pastoran. Apapun bentuknya,
itulah bentuk saling melengkapi di komunitas kami. Ketika satu orang
berhalangan tetap tanggap untuk hadir menggantikan tugas pelayanan.
Kasih yang sejati selalu bergerak, Dia tidak berhenti pada niat baik atau sekedar kata-kata penghiburan, tetapi mewujud dalam tindakan sederhana yang penuh ketulusan. Terkadang, perbuatan kecil dapat menjadi terang bagi mereka yang hampir padam harapannya. Tahun Yubileum bukan hanya sekedar merayakan melainkan juga menghidupi maknanya. Ketika kita mampu berhenti sejenak dari kesibukan kita, membuka mata dan hati, dan menjadi harapan bagi mereka yang hampir menyerah. Sebab harapan bukan hanya tentang menantikan sesuatu yang lebih baik, tetapi juga tentang menjadi terang bagi sesama, meski dalam cara yang paling sederhana.
Bersama
Umat Merawat Harapan Yang Tidak Mengecewakan
Tahun Yubileum menjadi panggilan
setiap umat beriman secara khusus para imam sebagai animator proses sinodal
untuk mendengar dengan hati, sebab kasih sejati tak hanya berbicara, melainkan
juga mendengarkan. Mungkin kita tak mampu menghapus semua air mata, tetapi
dengan kepekaan dan kepedulian, kita bisa menjadi pelipur bagi mereka yang
menangis dalam diam---sebab harapan tak selalu hadir dalam cahaya gemilang,
tetapi juga dalam keheningan kasih yang peduli. Kepekaan akan kebutuhan umat
dalam pelayanan pastoral mendorong kita untuk membuka mata pada realita bagi
mereka yang membutuhkan cinta. Bersama dengan umat di paroki, para imam di
Paroki HSMTB berjalan bersama umat dalam semangat sinodalitas di Tahun Yubileum
ini.
Tidak
semua luka mengeluarkan darah, tidak semua duka meneteskan air mata. Ada
kesedihan yang tersembunyi di balik senyuman, ada pergumulan yang disamarkan
dalam tawa, ada rasa sakit yang disimpan dalam diam. Kita hidup di antara
mereka yang memilih untuk bersembunyi di balik kata "Aku baik-baik
saja", meski di dalam hatinya ada kepedihan yang tak terkatakan. Kasih
sejati tidak hanya hadir bagi mereka yang bersuara, tetapi juga bagi mereka
yang tak sanggup mengungkapkan luka. Solidaritas bukan sekadar mengulurkan
tangan kepada yang meminta pertolongan, tetapi juga membuka mata bagi mereka
yang menanggung beban dalam kesendirian. Pendampingan bagi mereka yang
membutuhkan kehadiran para imam merupakan langkah konkret merawat harapan.
Mengunjungi yang sakit dan memberikan sakramen pengurapan orang sakit, melayat
mereka yang meninggal dan merayakan ekaristi bagi keselamatan jiwa dan
penghiburan bagi keluarga.
Selama
Tahun Yubileum, Paroki HSMTB mendampingi umat dalam peziarahan, kunjungan ke
penjara, pendampingan hukum bagi umat, pelayanan sakramen, dan juga pemberesan
perkawinan bagi pasangan suami isteri. Selama satu tahun ini setidaknya sudah
ada 39 pasangan yang dibantu pemberesan perkawinannya. Mereka diajak menemukan
kembali rahmat Allah dan merasakan belas kasih Allah yang tanpa batas. Dengan
demikian, kami memahami pentingnya memiliki hati yang peka dan mata iman---agar
kita tidak hanya melihat yang tampak, tetapi juga merasakan yang tersembunyi.
Kepekaan adalah seni mendengar suara yang tak terucapkan, membaca kesedihan
yang tak tertulis, dan merangkul mereka yang tak meminta. Sebab sering kali,
yang paling membutuhkan uluran tangan bukanlah mereka yang berseru paling
nyaring, melainkan mereka yang diam dalam luka.
Tahun
Yubileum ini mengundang kita untuk berhenti sejenak, menajamkan batin, dan
membiarkan kasih menjadi bahasa yang mengerti tanpa perlu kata-kata. Sebab
terkadang, perhatian yang tulus lebih menenangkan daripada jawaban, dan
kehadiran yang peduli lebih menyembuhkan daripada seribu nasihat. Mari belajar
dari Yesus sang Peziarah Harapan yang sejati, Dia tidak hanya melihat yang
tampak,tetapi juga menyentuh luka yang tersembunyi, Kasih-Nya melampaui batas
kata-kata, hadir dalam sentuhan lembut dan perhatian yang tulus. Dia menjumpai wanita
yang telah dua belas tahun mengalami pendarahan (Luk 8:43-48), yang tanpa kata
hanya mampu berharap bahwa dia akan sembuh. Yesus juga menjumpai Bartimeus si
buta di pinggir jalan (Mrk 10:46-52), yang suaranya ditenggelamkan oleh
hiruk-pikuk keramaian, tetapi tidak bagi Yesus. Ia berhenti, memanggilnya, dan
dalam kasih-Nya, memberi penglihatan serta harapan baru. Dan Maria Magdalena
(Yoh 20:11-18), yang menangis dalam sunyi di depan makam kosong, menemukan
sukacita ketika Yesus menyapanya dengan penuh kelembutan.
Yesus
tidak menunggu mereka datang dengan permohonan yang jelas, tanpa kata bahkan
hanya lewat air mata. Dia 'melihat' sebelum diminta, 'mendengar' sebelum seruan
itu sampai ke telinga dunia. Itulah kasih sejati---kasih yang lebih dulu
menyadari, lebih dulu memahami, lebih dulu mengasihi. Kita para imam
diajak untuk sama seperti Yesus yang sungguh peka akan kebutuhan umat-Nya. Saat
ini, di tengah perjalanan hidup kita, panggilan itu disampaikan kembali:
Bagaimana kita dapat meneladani Kristus? Mungkin bukan dalam mukjizat besar,
tetapi dalam hal-hal kecil yang berarti. Dalam mata yang memperhatikan mereka
yang selalu tersisih. Dalam telinga yang sedia mendengar tanpa menghakimi.
Dalam tangan yang terulur, meski tanpa diminta. Dalam langkah yang mendekat, bahkan
kepada mereka yang merasa tak pantas dicintai.
Tahun Yubileum yang sebentar lagi akan berakhir bukan hanya sekedar perayaan, melainkan sebuah undangan untuk menapaki jalan kasih Kristus. Sebab harapan tidak hanya bersinar dalam cahaya terang, tetapi dalam kehadiran yang tulus bagi mereka yang membutuhkan sapaan, dan uluran tangan kita. Di sanalah dalam setiap sentuhan kasih, Kristus hadir kembali melalui para imam nya. Semangat tahun Yubileum tetap dihidupi di tahun-tahun selanjutnya dalam setiap pelayanan kita.
Bertanggungjawab
Melaksanakan Misi Untuk Memelihara “Rumah Bersama”
Tahun Yubileium akan kita tutup
namun sukacita peziarahan pengharapan itu tetap harus dimiliki sebagai bentuk
keberlanjutan yang mendasari pelayanan kita. Kita menyongsong tahun 2026 dengan
penuh harapan dan sukacita dengan fokus pastoral di Keuskupan kita: Bertanggungjawab
bersama dalam melaksanakan misi untuk memelihara “Rumah Bersama” Bapa
Uskup mengajak seluruh umat untuk tetap melanjutkan semangat sinodalitas
berjalan bersama (partisipatif-sinodal). Dengan mendasarkan pada hasil sinode
Gereja Universal 2024, kita diingatkan untuk memberikan perhatian pada
saudara-saudari yang mungkin selama ini belum diberikan ruang cukup untuk
terlibat, misalnya berkaitan dengan peran serta kaum perempuan dalam tugas
pelayanan.
Setiap paroki dapat melanjutkan
semangat Tahun Yubelium yang sudah dihidupi dalam pelayanan di tengah umat,
perhatian pada lansia dan kaum terpinggirkan, umat yang rentan dan kurang mampu
secara ekonomi, dan mereka yang mungkin kurang mendapat sapaan selama ini.
Perhatian itu dapat terungkap dalam berbagai bentuk pelayanan dan kegiatan
bersama umat, aksi nyata di KBG dan kelompok kategorial. Budaya untuk “lebih
dekat” dengan umat dan menjadi pelayan yang terbuka dan rendah hati kiranya
tetap terus dihidupi. Komunikasi yang baik di internal sesama imam pun kiranya
dilihat kembali untuk dihidupkan semangat sinodalitas, rekonsiliasi dan berbagi
tanggungjawab bersama dalam pelayanan.
Selain itu juga berkaitan dengan
pelaksanaan misi, untuk bergerak keluar kepada masyarakat luas, keterlibatan
dengan FKUB misalnya. Salah satu pendampingan yang semakin mendapat perhatian
adalah kelompok umat di kalangan TNI dan Polri. Setelah kunjungan Bapa Kardinal
Suharyo dan pelantikan pengurus DKP OCI, pendampingan untuk umat di kalangan
TNI, Polri dan ASN semakin diotimalkan. Perayaan Tahun Yubileum bersamaTNI dan
Polri baik di Batam maupun Tanjungpinang
menjadi permulaan untuk pelaksanaan pendampingan kepada mereka. Harapannya
setiap umat yang bekerja di lingkungan TNI, Polri dan ASN beserta keluarganya
dapat secara maksimal dilayani dengan semangat 100% Katolik, 100% Indonesia.
Selanjutnya, fokus pastoral 2026
adalah tentang “Memelihara Rumah Bersama” yang bisa kita pahami sebagai bentuk
perhatian pada lingkungan hidup. Hal ini sekaligus bentuk pelaksanaan dari
rekomendasi temu pastoral Regio Sumatera untuk menindaklanjuti seruan Paus
Fransiskus mengenai kepedulian terhadap lingkungan. Sejauh ini di paroki HSMTB
dimaksimalkan penataan taman gereja, dan taman doa bersama komunitas Fransiskan
OFS. Demikian juga di sekolah, Rm. Kamilus merawat lingkungan sekolah dengan
pembuatan taman yang sekaligus menjadi sarana pembelajaran siswa. Sementara itu
di pastoran Rm. Moses merawat berbagai macam tanaman hias dan saya mulai
menanam sayuran dengan memanfaatkan lahan yang sempit. Pengolahan sampah
organik dari sisa potongan sayur di dapur juga dibuat di pastoran. Seruan
apostolik Paus Fransiskus “Laudate Deum” yang merupakan kelanjutan dari Laudato
Si menjadi bahan refleksi untuk melaksanakan misi “Merawat rumah bersama”
Di tengah kondisi alam semesta yang
sudah banyak rusak, dan terjadi berbagai macam bencana, secara khusus di
wilayah Sumatera Utara, para imam diajak terlibat mengajak umat untuk “Merawat
rumah bersama”. Selain langkah membantu dengan doa dan donasi, setidaknya
kejadian itu menggerakkan kita untuk menumbuhkan kesadaran di tengah umat untuk
sadar akan pentingnya merawat lingkungan tempat tinggal kita. Berbagai macam
bentuk kegiatan dapat dilaksakan dengan semangat ini.
Berbagi Komitmen Pastoral Bersama Menyambut Tahun 2026
Tahun
Yubileum 2025 bukan sekedar peringatan dan berlomba-lomba untuk mengisi daftar
tempat peziarahan, melainkan kita diundang untuk lebih peka, senantiasa hadir
dan lebih mencintai. Kita melatih diri agar tidak hanya mendengar dengan
telinga tetapi dengan hati, juga kelembutan jiwa. Mungkin kita tidak mampu
untuk menghapus setiap luka dan air mata, tidak mampu menyelesaikan semua
persoalan dalam pelayanan, tetapi setidaknya menjadi sahabat yang menemani.
Marilah kita mengakhiri Tahun Yubileum ini dengan tetap memiliki sukacita
harapan untuk berjalan bersama dan terlibat untuk merawat “Rumah bersama”.
Pertanyaan refleksi yang dapat kita renungkan adalah:
1. Bagaimana
upaya kita sebagai imam untuk tetap merawat harapan bagi mereka yang masih
belum tersentuh oleh pelayanan dan kurang mendapat perhatian?
2. Langkah
konkret ekologis apa yang dapat dilakukan untuk “Merawat rumah bersama”,
menumbuhkan kesadaran di kalangan umat baik melalui dialog maupun partisipasi?
3. Bagaimana
setiap paroki melakukan kaderisasi/pendampingan untuk mempersiapkan umat
menjadi pelayan awam yang membantu pelayanan pastoral?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar