Drama
perseteruan Badan Pemenangan Nasional (BPN) dan Tim Kampanye Nasional (TKN)
sudah berakhir pasca putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan Kamis, 21.16 WIB.
Dalam amar putusannya, MK menolak seluruh permohonan pemohon, yaitu tim kuasa
hukum BPN. Dalam putusan, yang dibacakan bergantian oleh 9 Hakim Konstitusi
selama kurang lebih 9 jam dengan waktu jeda (skorsing waktu) 2 kali, hakim
benar-benar menguliti setiap dalil pemohon. Dan dalam proses itu terlihat jelas
bahwa dalil-dalil yang dimohonkan pemohon sama sekali lemah, tidak relevan dan
tak berdasar serta tidak terbukti.
Sangat
menarik mencermati sikap BPN, yang diwakili oleh Prabowo, sekaligus pihak yang
sangat berkepentingan dalam pertarungan tersebut, dalam menyikapi putusan MK
itu. Bertempat di Jl. Kertanegara, dan didampingi para tokoh partai koalisi 02,
Prabowo membacakan pernyataan sikap BPN. Setidaknya ada 3 pernyataan yang
menarik, yang perlu dicermati.
Pertama, Prabowo
menyatakan menerima dan menghormati keputusan MK. Bukan tidak mungkn hal itu dipahami bahwa BPN
menerima keutusan MK sebagai keputusan akhir yang final dan
mengikat. Secara tidak langsung Prabowo, mewakili BPN, menerima keputusan KPU
dan menerima pasangan Jokowi – Maruf Amin sebagai pemenang pilpres 2019. Kedua, Prabowo menyerahkan kebenaran dan
keadilan hakiki kepada Allah. Di sini secara implisit Prabowo menerima
keputusan MK sebagai keputusan yang tidak adil. Dengan kata lain, Prabowo dan
BPN masih mengalami ketidak-adilan. Terlihat kalau Prabowo belum ikhlas
menerima keputusan MK tersebut. Ketiga, Prabowo
mengatakan akan berkonsultasi lagi dengan tim hukum terkait langkah hukum
selanjutnya. Sekalipun awalnya menyatakan menerima keputusan MK dan tahu bahwa
keputusan tersebut final dan mengikat, namun Prabowo masih mau mencari peluang
lain. Di sini, sama seperti poin 2, Prabowo terlihat belum rela menerima
keputusan MK tersebut.
Dari
3 poin menarik di atas, muncul satu pertanyaan: apakah BPN itu pembohong atau
pecundang? Socrates pernah berkata, “Ketika kalah dalam debat, fitnah menjadi
alat bagi pecundang.” Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu terlebih dahulu
melihat perjalanan pertarungan BPN melawan TKN sampai akhirnya bermuara di
sidang MK.
Berangkat
dari pernyataan Socrates, dapatlah dikatakan bahwa antara pembohong dan
pecundang itu bedanya sangat tipis. Pembohong
membangun kebenaran dari ilusi. Baginya ilusi itulah kebenarannya. Sedangkan
pecundang membuat ilusi jadi indah sehingga orang lain tidak lagi melihat
kebenaran sebenarnya tetapi hanya keindahan.
Kedua hal tersebut, yaitu pembohong dan pecundang
dapat terlihat dalam kubu BPN. Mereka telah membuat kebohongan dengan
mengatakan bahwa pasangan 02, Prabowo – Sandi, memenangi pilpres 2019. Bahkan
sehari setelah pilpres, 17 April, BPN sudah mengklaim kemenangan itu. Dan
sebagaimana kebohongan selalu ditutupi dengan kebohongan-kebohongan lainnya,
maka mereka mulai menciptakan narasi-narasi yang membangun opini publik bahwa
jika nanti KPU mengumumkan kemenangan pasangan 01, itu berarti klaim mereka
bahwa ada kecurangan benar adanya.
Terkait dengan klaim kemenangan 02 dan soal
kebohongan, Ade Armando pernah mengajukan pengaduan ke Bareskrim. Ade mengadu
bahwa Prabowo telah melakukan kebohongan publik dengan mengklaim kemenangan
dirinya. Akan tetapi, waktu itu pihak polisi menolak karena menunggu hasil
pengumuman KPU sebagai dasar pijaknya. Seharusnya, sekarang Ade Armando dapat
meneruskan pengaduannya karena sudah ada dasar pijak yang kuat, yaitu keputusan
MK. Sudah terbukti bahwa Prabowo dan BPN telah melakukan pembohongan dengan
mengatakan kemenangan mereka. Pihak MK sudah menyatakan bahwa data kemenangan
BPN yang berbeda dengan KPU dan juga hasil quick
count, tidak dapat dibuktikan. Dapat dikatakan bahwa data itu adalah data
bodong.
Tidak hanya kebohongan soal data hasil pilpres saja
yang bohong, tetapi juga kecurangan yang diklaim sebagai terstruktur,
sistematis dan massif (TSM). Narasi kecurangan ini sudah dibangun bahkan
sebelum KPU mengumumkan hasil pemilu serentak, 21 Mei lalu. Dan ketika klaim
itu diuji di MK, terlihat jelas bahwa semua tuduhan tersebut sama sekali tidak
terbukti.
Sikap pecundang adalah sikap yang tidak mau
menerima fakta realitas. Mereka selalu hidup di awang-awang atau dalam ilusi. Bagi
mereka yang ilusi itulah yang benar. Karena itu, mereka berusaha memperindah
ilusi tersebut. Inilah yang terjadi pada pihak BPN. Dalam setiap wawancara
dengan media, orang-orang BPN selalu menampilkan narasi mimpi bahwa merekalah
pemenang, bahwa jika kalah berarti mereka dicurangi. Tak kalah menarik dengan
sikap para kuasa hukum BPN. Alih-alih tampil sebagai ahli hukum, terlihat jelas
mereka lemah dalam hukum itu sendiri. Misalnya, hukum beracara di MK sendiri
dilanggar, menyerahkan pembuktian kasus kepada hakim dan beberapa logika hukum
yang lemah. Tapi, di luar sidang mereka tampil yakin diri bahwa mereka benar,
mereka menang, dan menganggap pihak lawan lemah, arogan dll. Lebih lucunya
lagi, mereka menggunakan dasar agama juga.
Tidak puas dengan soal data hasil pilpres dan
kecurangan TSM, pihak BPN dan juga tim kuasa hukumnya, melontarkan
amunisi-amunisi serangan lain seperti soal dana kampanye dari kas Jokowi,
status Maruf Amin di dua bank syariah, netralitas PNS – Polri (TNI), jaminan
keamanan para saksi dari LPSK seolah-olah ada ancaman, dan masih banyak
lainnya. Mereka tidak hanya “berperang” di MK saja, melainkan juga di media. Akan
tetapi, semua serangan itu dipatahkan oleh MK. Sekalipun sudah mengakui bahwa
keputusan MK adalah keputusan final dan mengikat, namun terbukti Prabowo masih
mau mencari celah lain lagi.
Dari semua rangkaian di atas, dapatlah dikatakan
bahwa baik BPN maupun tim kuasa hukumnya adalah para pecundang politik dan
hukum. Dengan mengikuti apa yang dikatakan Socrates, dapatlah juga dikatakan
mereka adalah juga pembohong.
Dabo, 28 Juni 2019
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar