BIJAK
Sebuah institusi
keuangan bergengsi menekankan pentingnya mengukur kematangan individu untuk
menentukan peserta yang berhak menerima program beasiswa. Hasil evaluasi
program menunjukkan banyak peserta gagal menyelesaikan program studi di luar
negeri, tidak hanya karena kurangnya kemampuan adaptasi, tetapi juga
ketidakmampuan mengolah dan menyikapi berbagai persoalan yang dihadapi. Dalam
proses seleksi fit and proper untuk
memilih jajaran pimpinan organisasi, para penguji pun setuju betapa kandidat
perlu menunjukkan kematangan emosi dan kebijakan penalaran moral agar ia mampu
menghadapi situasi sulit dalam pengambilan keputusan dengan tetap berintegrasi.
Kematangan dan
sikap bijaksana kita sadari menjadi sangat krusial di tengah semakin banyaknya
persoalan yang silih berganti dan tuntutan peran yang semakin kompleks.
Pertanyaannya, bagaimana kita mengevaluasi kematangan atau bijaksana-tidaknya
seseorang? Dari mana individu bisa memperoleh “wisdom” yang sarat, sementara yang lain bisa melewatkan hidup
begitu saja dan terasa pemikirannya dangkal tanpa bobot? Apa yang membedakan
orang yang mampu bersikap tenang dalam mengambil keputusan berat serta bisa
membahas masalah kehidupan dengan lancar dan mendalam, sementara yang lain bisa
segera terpuruk saat menghadapi “ujian”? Atau, bahkan melakukan kecurangan dan
menghalalkan segala cara?
Kita kadang
bertanya-tanya, mengapa ada orang dengan usia yang sama, tetapi kematangan diri
yang ditunjukkan bisa sangat berbeda. Kita kadang menganalisis bahwa orang yang
hidupnya “tidak pernah susah” membuat ia tidak punya modal untuk bijaksana. Ada
orang yang galau berkepanjangan karena kritik yang diterima atau kegagalan yang
dihadapi, sementara orang lain tidak bisa membayangkan mengapa kita sangat
mengkhawatirkan situasi tersebut. Rasa galau dan kecewa menghadapi berbagai
kejadian sangat tergantung pada bagaimana kita memandang situasinya. Dari sini,
kita bisa lihat bahwa kematangan diri dapat diteropong melalui respons individu
dalam menghadapi kesulitan. Orang sering menyebutnya street smartness, suatu
aspek kecerdasan yang didapat sebagai hasil pemikiran mengenai kehidupan
praktis yang dialami individu sendiri.
Dalam situasi
sehari-hari, kita bisa mengukur kematangan. Apakah kita menggunakan fasilitas
kantor berlebihan tanpa rasa bersalah? Apakah kita melakukan atau menyaksikan
penyimpangan tanpa berusaha menohok diri sendiri dan memperingatkan diri
keras-keras untuk tidak melakukannya? Apakah kegagalan komunikasi dengan atasan
kita sikapi dengan menyalahkan atasan tanpa upaya untuk mengkritik diri
sendiri, mempertanyakan, mengevaluasi dan mengarahkan diri? Kematangan ini bisa
disuburkan dengan proses pengolahan batin yang terjadi pada diri kita. Bila
kita khawatir dengan kemerosotan moral yang banyak dibicarakan belakangan ini, setidaknya
kita masing-masing perlu mengecek sendiri proses pengolahan batin kita.
Introspeksi
dan Pengolahan Pribadi
Penelitian
terhadap sopir taksi di London, yang dipisahkan antara sopir taksi dengan
pengalaman yang sama, tetapi “bijaksana” dan yang terkesan “tidak matang”
menunjukkan bahwa bagian otak depan yaitu prefrontal
cortex pada yang bijaksana, ternyata lebih besar dan lebih subur
berkembang. Jadi, ternyata kegiatan berpikir saja tidak cukup. Exercise otak mengenai cara berpikirnya
sendiri adalah kunci “kesadaran” seseorang dan akan mempengaruhi di dalam
setiap aspek kehidupannya. Inilah penjelasan mengapa dua individu yang
sama-sama pintar, bisa berbeda sikap, prilaku dan tingkat kedewasaannya. Pemahaman
mengenai aspek manusia dalam diri sendiri perlu kita kembangkan dan latihkan,
antara lain melalui self talk atau
bicara dengan diri sendiri. Kita bisa membohongi diri sendiri terus menerus,
tetapi juga bisa menantang diri untuk bersikap fair, misalnya kalah salah, ya terima dimarahi.
Dr. Stephen dari
University College London membuktikan adanya korelasi positif antara ketepatan
pengambilan keputusan dan kemampuan introspeksi individu. Introspeksi yang
merupakan proses observasi dan refleksi diri memang tidak diajarkan di sekolah.
Jadi, bisa saja individu tumbuh tanpa kegiatan introspeksi, apalagi self talk. Bisa saja sepanjang hidupnya
tidak ada kegiatan menyalahkan diri, mendera dan menguatkan diri sendiri yang
tuntas. Yang terjadi pada diri individu hanyalah kegiatan melihat keluar dan
menyerap nilai-nilai yang ada di luar dirinya, dan dijadikan patokan hidupnya.
Filsuf Yunani paling kuno, Socrates, sudah mengatakan, “the unexamined life is not worth living.” Dalam kehidupan sosial
yang semakin kompleks ini, pendalaman kepribadian akan menyelamatkan individu
dari kekosongan mental.
Menyadari
“Pikir” dan “Rasa”
Membaca novel,
menyaksikan atau mengalami sendiri kejadian romantis, menegangkan atau
menyedihkan, merupakan kegiatan yang kita alami sehari-hari. Interpretasi
mengenai kejadian-kejadian ini dan bagaimana dialog “follow – up”-nyalah yang akan berdampak pada perkembangan pribadi
kita. Membaca novel sering membuat kita teringat pada pengalaman diri sendiri.
Hal yang paling penting adalah kemampuan kita melihat diri secara obyektif,
bukan subyektif dan menerjemahkan situasi tersebut ke dalam situasi perbaikan.
Pertama-tama
kita perlu mengupayakan untuk “stick to
the facts”. “Saya mencoba celana saya dan ternyata sempit” atau “Jeans saya
sudah tidak pantas lagi karena terlalu ketat”. Perasaan yang timbul akibat
celana kesempitan inilah yang mempengaruhi keyakinan kita. Kita bisa mengatakan
pada diri sendiri “Kamu jelek “ atau kita juga bisa mengatakan “Kamu makan
terlalu banyak”. Kualitas jelek sulit di-follow-up
dan diperbaiki, tetapi pernyataan
“makan terlalu banyak” bisa kita ikuti dengan janji pada diri sendiri untuk
tidak menambah porsi makan esok hari. Bila self
talk ini secara terus menerus disadari dan diarahkan pada tindakan
perbaikan, kita akan terbiasa untuk “memeriksa diri” dan menasehati diri menuju
ke arah perbaikan. Kita akan menjadi orang yang “dalam” dan lebih “positif”.
Bila mengubah cara berpikir, kita bisa mengubah cara merasa.
by: Eileen Rachman & Sylvina
Savitri, dalam KOMPAS, 7 Juli 2012,
hlm 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar