Pemilihan
presiden 2024 masih lama, namun geliatnya sudah mulai terasa. Survei elektabilitas
calon oleh beberapa lembaga survei telah bermunculan, terlepas apakah itu
titipan atau tidak. Riak di partai “moncong putih” (PDI-Perjuangan) sudah
muncul. Aksi dukung-dukungan kader pun terang benderang. Tidak hanya itu saja. Gerakan
koalisi pun bermunculan, meski ke permukaan dikamuflase sebagai silahturahmi.
Di antara
sekian banyak calon, nama Anies Baswedan masuk dalam bursa yang patut
diperhitungkan. Namanya selalu berada di tiga besar pada lembaga-lembaga
survei. Tentulah hal ini sedikit mengherankan bagi orang yang masih mempunyai
akal sehat. Pasalnya, umumnya orang sudah tahu kalau kinerja Anies selama
menjabat Gubernur DKI Jakarta sangat lemah, kalau tak mau dikatakan tak ada.
Anies Baswedan hanya bisa berkata-kata, tapi tak bisa bekerja. Dia hanya bisa
berjanji. Mau dibawa kemana nantinya negara dan bangsa ini nantinya?
Itulah
namanya politik. Tidak selamanya untuk urusan politik, khususnya pada PEMILU, melulu
hanya urusan akal sehat. Kerap kalkulasi tak waras turut mewarnai dukungan
politik. Pilkada DKI Jakarta 2017 memberikan buktinya. Warga lebih memilih
Anies – Sandi hanya tergiur janji dan juga karena ayat dan mayat yang dijual
tim Anies, dan melupakan Ahok – Jarot yang kerjanya jelas-jelas nyata. Sering terdengar
alasan pemilih untuk memilih calon tertentu lantaran ganteng atau popularitas,
bukan soal kredibilitas dan kapasitas yang dimiliki calon.
Akan
tetapi, sekalipun dipandang sebelah mata, tetap saja Anies Baswedan patut
diperhitungkan. Malah pada salah satu lembaga survei namanya mengungguli dua
calon lain yang biasanya unggul. Ini sedikitnya membuktikan masih ada saja “orang
tak waras”, yang lebih senang menderita asalkan jagoannya menang.
Sekalipun populer, tetap saja Anies masih mempunyai kendala untuk bisa maju pada pilpres 2024 nanti. Soal dana tak perlu diragukan lagi. Pundi-pundi Anies untuk itu sudah tersedia. Lima tahun sebagai Gubernur DKI tentulah cukup baginya, asalkan KPK tidak mengusik-usiknya. Belum lagi kalau memilih pasangan yang juga punya modal kencang, tentulah semakin aman. Kendala utama Anies adalah kendaraan politik. Anies butuh partai.
Yang
sudah jelas, meski belum terang-terangan, barulah Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Partai ini jelas mendukung lantaran “sealiran” dengan Anies. Karena “sealiran”
Anies akan memperjuangkan visi mereka, karena visinya juga sebelas duabelas. Bukankah
waktu Pilkada DKI 2017 lalu, Anies maju atas dukungan PKS? Karena itu, sudah pasti
pada pilpres 2024 ini PKS kembali mengusung Anies sebagai jagoannya. Hanya di
permukaan saat ini PKS terkesan tampil malu-malu. PKS tetap menjaga image untuk merebut hati pemilih, karena
jika sudah merebut itu, tentulah jagoannya juga pasti menang.
Akan
tetapi, PKS tidak bisa sendirian mengusung Anies lantaran terbentur dengan
aturan Presidential Treshold sebesar
20%. PKS butuh rekan partai supaya jagoannya bisa masuk dan menang. Kira-kira
partai apa saja yang akan dirangkul PKS untuk mengusung Anies? Demi mencapai
ambang batas itu, setidaknya PKS butuh 2 partai lain. Utak-atik partai-partai
yang lulus parliamentary treshold PEMILU
2019 lalu, kemungkinan besar PKS akan berkoalisi dengan Partai pimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat) dan Partai Amanat Rakyat (PAN). Demokrat tahun
2019 memperoleh 8,38%, sementara PAN 6,83%. Jika 3 partai ini bergabung, maka
mereka akan mempunyai 22,28%. PKS memilih Demokrat karena ada ikatan emosional.
Tiga
partai ini bakal berkoalisi di pilpres nanti kiranya sudah terbaca. Karena itulah,
ada upaya untuk menghancurkan koalisi ini. Upaya membuat perpecahan internal
parta PAN dan Demokrat mengarah ke indikasi tersebut. Usaha di tubuh PAN
berjalan mulus sehingga berhasil menyingkirkan pengaruh Amien Rais, sedangkan di
Demokrat mengalami kegagalan. Sekalipun berhasil “membersihkan” PAN, bukan lantas
berarti koalisi tidak bisa terwujud. Asas utama politik adalah kepentingan. Atas dasar kepentingan,
koalisi dapat terjalin lagi. Bukankah track
record PAN selama ini memang seperti itu.
Sekarang
kita lihat kalkulasi politik ketiga partai ini. Demokrat pertama-tama wajib
mendukung gagasan PKS untuk mengusung Anies sebagai Presiden RI 2024. Jika jeli,
mereka menemukan adanya kesamaan antara Anies dan SBY, sang idola mereka. Dulu SBY
pernah menjabat sebagai menteri, namun dalam perjalanan “didepak”. Akan tetapi,
ketika maju sebagai calon presiden ia menang. Anies juga pernah sebagai menteri
dan pertengahan jalan didepak. Bukan tidak mustahil saat maju nanti (tahun 2024)
ia akan mengulangi sejarah SBY. Kiranya hal inilah, salah satu modal yang
dijual kepada PAN. Ada kemungkinan PAN akan pasang politik 2 kaki, meski
kecenderungannya ada pada tawaran PKS. Jadi, terlihat jelas dalam koalisi tiga
partai ini PAN hanya sebatas pelengkap saja.
Bukan
rahasia lagi kalau politik pilpres adalah politik bagi-bagi kue kekuasaan dan
kekayaan. Jika Anies diusungkan PKS sebagai calon presiden, maka Demokrat akan
mengusungkan putra mahkotanya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sebagai wakilnya
dan bisa saja PAN kembali akan mendapat jatah Ketua MPR. Tentulah Demokrat akan
menerima pinangan ini, sekalipun dari segi perolehan suara mereka lebih banyak
dari PKS. Namun, elektabilitas jagoan mereka sangat jauh di bawah jagoan PKS. Pilihan
PKS pada AHY tentulah bukan tanpa alasan. Selain memiliki massa yang cukup
besar, yang masih mudah ditawari dengan jualan ayat, AHY juga mempunyai dana.
Jika
ketiga partai ini benar-benar berkoalisi, maka kemungkinan besarnya adalah
Anies – AHY akan tampil sebagai pemenang. Tahun 2024 Indonesia akan memiliki
presiden baru. Selain utak-atik tadi, tentulah tak bisa dilepaskan masih
banyaknya pemilih yang memilih tidak menggunakan akal tetapi lebih pada emosi. Ketiga
partai ini, selain secara gerilya menjual ayat, akan menjual “politik
penzoliman”, karena masyarakat Indonesia mudah sekali tersentuh dan bersolider
dengan mereka yang terzolimi. Salah satu medan perjuangan mereka tentulah
masjid, sebagaimana yang telah dilakukan pada pilkada DKI 2017.
Menghadapi
gerilya 3 partai ini, PDI-Perjuangan, sebagai penjaga nasionalisme, memang
sudah mulai terlihat gerakannya. Mereka mendekati Partai Gerindra, untuk
mencegah partai ini berkoalisi dengan 3 partai tersebut. Bahkan PDI-Perjuangan
berani menjual “harga dirinya” dengan menjadi pendamping Gerindra. PDI-Perjuangan
siap mencalonkan wakil presiden dan Gerindra sebagai presidennya, hanya supaya
Gerindra tak kepicut dengan tawaran PKS. Hanya sayangnya, keutuhan partai
berhaluan Bung Karno ini mulai sedikit retak. Ada “perseteruan” antara Ganjar
dan Puan. Elektabilitas Ganjar jauh melampaui Puan. Akan tetapi, Puan bukan di-setting untuk jadi presiden, tapi
sebagai wakil. Sekali lagi tujuannya agar Gerindra tidak lari ke koalisi PKS.
Jika
masalah keretakan di tubuh PDI-Perjuangan tidak diselesaikan dengan bijak, bukan
tidak mustahil Ganjar akan dipinang partai lain. Partai Nasional Demokrat (Nasdem)
biasanya suka “menyabotase” calon luar partai, hanya karena elektabilitas. Namun
Nasdem sendiri tidak bisa sendirian maju. Dia butuh partai lain. Dan bukan
tidak mustahil ia akan berkoalisi dengan Partai Golkar. Jadi, pada pilpres 2024
nanti bakal ada 3 pasang calon, yaitu [1] Anies – AHY, yang diusung PKS,
Demokrat dan PAN; [2] Prabowo – Puan, yang diusung Gerindra dan PDI-Perjuangan,
dan [3] Ganjar – Hartarto, yang diusung Nasdem dan Golkar.
Dabo
Singkep, 07 Juni 2021
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar