Tentu kita pernah dengar kata “kolegialitas” atau biasa juga dipakai
istilah korps. Kata yang terakhir diambil dari bahasa Latin,
dari kata corpus, yang berarti tubuh atau badan (manusia). Tubuh,
sekalipun mempunyai banyak anggota, merupakan satu kesatuan. Jika satu anggota
tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut menderita. Misalnya, yang sakit gigi, maka
seluruh badan ikut terasa sakit.
Demikian pula kolegialitas atau korps. Orang-orang yang masuk dalam
kolegialitas diharapkan memiliki semangat satu kesatuan seperti tubuh. Ibarat
tubuh terdiri dari banyak anggota tapi menunjukkan kesatuan, demikian pula
suatu perkumpulan manusia. Gangguan terhadap salah satu anggota berarti
gangguan terhadap semua anggota.
Semangat kolegialitas seperti tubuh manusia itu memang baik. Ia membangun
sikap peduli, empati dan solidaritas terhadap sesama anggota. Sikap ini pula
yang hendak dibangun dalam sebuah perkumpulan ketika semangat kolegialitas
hendak dibangun. Akan tetapi, tidak semua semangat kolegialitas itu sempurna untuk
diterapkan dalam suatu organisasi.
Semangat kolegialitas dapat membawa anggota suatu lembaga ke dalam fanatisme sempit. Fanatisme ini lahir dari kesombongan kelompok. Semangat kolegialitas membuat anggota suatu lembaga merasa bahwa lembaganya adalah segala-galanya. Kelompok lain biasa dianggap musuh. Penyerangan terhadap salah satu anggota, adalah juga serangan terhadap anggota lain, sehingga anggota lain berkewajiban untuk membela bahkan menyerang kelompok penyerang.
Sebagai contoh, kita dapat melihat fenomena yang sering terjadi di
Indonesia seperti pertikaian TNI –
Polri dan tawuran antar pelajar, warga kampung atau supporter.
Kejadian selalu bermula dari satu dua orang dari kelompok, yang biasanya
disebut oknum. Namun, karena adanya semangat kolegialitas, maka terjadilah
pertikaian antar lembaga atau kelompok.
Semangat kolegialitas juga sering melihat atau menilai rendah kelompok
lain. Ini biasa terjadi ketika ada satu anggota yang direndahkan oleh orang
dari luar kelompok. Perendahan atau penghinaan itu dilihat sebagai penghinaan
terhadap semua anggota kelompok, sehingga anggota lain berkewajiban untuk
membela rekan yang dihina dengan membentuk superioritas kelompok.
Hal ini dapat ditemui dalam kolegialitas imamat; kebetulan pula para imam
sangat getol dengan istilah kolegialitas ini. Jika ada serangan terhadap salah
seorang imam, mungkin karena imam itu berbuat salah, maka imam yang lain akan
segera membentuk benteng pertahanan. Dan tak jarang pula para imam ini langsung
membuat superioritas kelompoknya sebagai imam, dan menganggap rendah kelompok
lain (awam, suster atau komunitas lain).
Jadi, istilah kolegialitas di satu sisi mengandung nilai-nilai positip,
namun di sisi lain ada unsur negatif. Kedua sisi ini ibarat dua sisi mata uang.
Ketika orang menanamkan semangat kolegialitas dalam kelompoknya, tentulah nilai
positip yang diutamakan. Akan tetapi, tanpa disadari unsur negatif ikut
menyertainya. Oleh karena itu, sangat diperlukan sikap bijaksana dalam
menerapkan semangat kolegialitas ini, sehingga unsur negatif dikurangi atau
dihindari.
Untuk menghindari unsur negatif tersebut, sebuah kelompok perlu menghayati
prinsip lain selain semangat kolegialitas. Prinsip itu adalah kebenaran dan
kebaikan. Hendaknya prinsip ini berada di atas semangat kolegialitas. Artinya,
jika ada satu anggota diserang kelompok luar karena berbuat salah, dan ternyata
memang terbukti salah, anggota lain harus mengakui kesalahan itu; bukannya membela
atau melindungi. Bila perlu anggota itu disingkirkan. Ketegasan ini mirip
seperti yang diajarkan Yesus, “Jika tanganmu berbuat salah, penggallah… Dan
jika matamu menyesatkanmu, cungkillah…” (Mat 5: 29 – 30)
Oleh karena itu, dalam sebuah paguyuban, penggunaan istilah kolegialitas
harus diimbangi dengan prinsip kebenaran dan kebaikan. Janganlah demi
kolegialitas kita mengorbankan kebenaran dan kebaikan.
diambil dari tulisan 7 tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar