JAM WAKER
Sejak diterima bekerja, Joko
terpaksa mengurangi kebiasaannya nonton film sampai jauh larut malam. Ia harus
bangun pagi jam lima dan berada di stasiun tidak boleh lebih dari jam enam.
Lewat beberapa menit saja bisa berakibat fatal: ketinggalan kereta. Dan kalau
sudah ketinggalan kereta pertama berarti ia harus menunggu kira-kira sejam
kereta kedua yang searah dengan tempat kerjanya. Dan berarti ia terlambat
sekitar 45 menit.
Sebenarnya ada jalan lain
seandainya tidak dapat kereta. Taksi. Hanya duit saja yang jadi masalah.
Jaraknya saja sudah jauh, belum lagi bila terjebak dalam kemacetan lalu lintas
atau kerusuhan-kerusuhan. Memang akhir-akhir ini bukan saja aksi demo menuntut
mundur presiden yang lagi marak, kerusuhan dan aksi tawuran, baik pelajar
maupun warga masyarakat, pun turut ramai. Entahlah apa yang dicari
mereka-mereka itu, pikir Joko suatu ketika. Manusia sepertinya sudah menjadi
serigala bagi sesamanya. Homo homini
lupus, istilahnya
(nggak ada kaitannya dengan Lupus-nya
Hilman).
Selama ini baru dua kali
Joko terlambat. Pas pula waktu itu sang bos lagi masuk. Tepat waktu pula.
Biasanya agak siangan atau malah tidak masuk sama sekali. Pamitnya saja ke
kantor pada istri, tapi sebenarnya nongkrong ke “kantor” lain mencari hiburan
di antara minuman dan wanita-wanita penghibur yang selalu ada dan siap
dipanggil kapan saja bila dibutuhkan. Memang enak jadi bos.
“Kamu yang namanya Joko?”
Hardik sang bos.
“Benar, Pak.” Joko
tertunduk.
“Empat hari yang lalu sudah
terlambat, kini terlambat lagi...”
“Anu, Pak,”
“Anu apa? Baru sebulan kerja di sini sudah
mulai macam-macam. Kalau nggak mau kerja, ya keluar saja. Saya nggak rugi, kok. Masih banyak
yang siap gantikan kamu. Tau? Saya lebih butuh dengan orang yang betul mau
kerja.”
“Ii, iya, Pak, “ jawab Joko
gugup.
“Kamu yang butuh pekerjaan
ini. Saya sebenarnya tidak butuh kamu. Jadi, bisa saja saya gantikan kamu
dengan orang yang sungguh-sungguh mau bekerja. Yang mau berdisiplin. Yang
tekun. Yang …”
“Maaf, Pak.”
“Kamu kan baru sebulan
kerja. Seharusnya punya semangat, dong!”
“Iya, Pak. Saya salah.”
Wajah Joko memelas. Suaranya pun syahdu mengiba. “Maafkan saya, Pak. Lain kali
saya nggak terlambat lagi. Saya janji.”
“Saya tidak butuh
janji-janjian. Banyak orang suka bikin janji, tapi pelaksa-naan kosong. Saya
cuma butuh tindakan nyata. Ya, sudah, kerja sana !”
Betapa leganya hati Joko
mendengar kalimat terakhir bosnya itu. Seakan baru lepas dari beban
penderitaan. Syukur, tidak jadi dipecat, pikirnya.
Dari peristiwa itu, sepulang
kerja, Joko langsung mampir sebentar di terminal bus. Cari jam waker yang
banyak dijual di pinggiran jalan. Lebih murah ketimbang yang ada di toko,
alasan Joko.
Mulailah Joko hidup teratur.
Tidak ada lagi alasan terlambat bangun. Weker itu selalu membangunkannya tepat
jam lima pagi. Joko selalu menyetelnya setiap kali hendak tidur. Dan sejak ada
weker, Joko mulai berani nonton film-film (memang sudah hobinya) sampai larut
malam. Ia bisa nonton sinema aksi di Indosiar, atau layar emas di RCTI.
Bukankah ada weker yang akan membangunkan saya nanti, demikian Joko. Jadi,
kapan saja saya mau tidur, nggak masalah. Pokoknya bangun tepat waktu, naik kereta tidak terlambat dan
masuk kantor tepat waktu. Soal tidur bisa diatur di perjalanan. Lagi pula bos
cuma baru mempermasalahkan keterlambatan saya. Jadi, kalo saya nggak terlambat,
ya nggak ada masalah.
Mulanya Joko menganggap
biasa dengan bunyi ’kriiiiiiiiing!’ jam wekernya setiap jam lima pagi.
(Tapi mungkin tidak bagi teman seberang kamar tempat mereka kos). Joko langsung
terjaga setiap kali mendengar bunyi itu. Malah beberapa kali sempat ia langsung
terduduk atau berdiri sigap. Persis tentara yang lagi dapat komando di pagi
buta saat lagi enak-enaknya mimpi malam.
Tapi lama kelamaan Joko
mulai merasa bosan. Dari perasaan itu muncul perasaan jengkel. Semua perasaan
itu tertuju pada jam wekernya yang awalnya dianggap Joko setia membangunkannya.
Ini disebabkan karena Joko belum bisa melepaskan dirinya dari kelekatannya pada
tempat tidur. Ia sudah terbiasa molor, apalagi kalau pagi itu cuaca mendukung
untuk tetap melanjutkan tidur. Dia merasa weker itu selalu mengganggu acara
tidurnya. Walaupun ia sendiri yang sebelumnya menyetel weker agar bunyi pada
jam lima pagi.
“Mosok aku sebagai manusia mau diatur-atur
sama benda,“ keluhnya suatu sore. Di hadapannya jam weker diam membisu.
“Manusia adalah ciptaan Tuhan yang jauh lebih unggul dari ciptaan lainnya.
Dengan ciptaan lain yang hidup saja sudah jauh lebih unggul, apalagi dengan
yang mati seperti weker ini. Malah agama mengajarkan bahwa manusia juga lebih
unggul dari pada para malaikat.”
Jam weker tetap diam
membisu. Jarum detik tetap terus berputar, sedang jarum menit menunjuk angka
sembilan dan jarum jam pada angka enam. Joko terus mengoceh.
“Manusia diserahi tugas oleh
Tuhan, sang pencipta, untuk menguasai ciptaan-Nya, baik yang hidup maupun yang
mati. Jadi, seharusnya aku yang menguasai
jam weker ini. Kok sekarang ia malah menguasai aku.
Mengatur-atur diriku dan memaksaku supaya bangun jam lima pagi. Enak benar dia
ini.
“Seharusnya dia bersyukur
aku ambil dia dari pinggiran jalan yang panas, kotor dan penuh asap debu.
Apalagi daerah terminal. Di sini dia enak-enak. Nggak tersengat terik matahari, nggak ada
asap kendaraan atau bising klakson kendaraan yang ingin cepat tapi terhalang
oleh padatnya manusia dan kendaraan lain. Dia punya utang budi padaku.
Seandainya dia ini manusia, tentu aku ini sudah jadi bosnya.”
Sementara Joko mengoceh, jam weker masih
tetap membisu. Jarum detiknya terus berputar. Kini jarum panjangnya menunjuk
pertengahan antara sebelas dan dua belas.
“Mosok bosnya yang diperintah-perintah.
Lancang benar. Kalau aku kaya, sudah kubanting atau kulempar keluar dia.”
Sekalipun sudah diomeli
berkali-kali, namun kejadian yang sudah-sudah tetap saja terjadi. Joko selalu
merasa terganggu tidurnya setiap kali jam lima. Sampai akhirnya ia membuat
suatu rencana.
Pagi-pagi sekali Joko sudah
bangun dari tidurnya. Jamnya masih menun-juk waktu 04.45. Joko duduk di atas
ranjangnya setelah beberapa menit ia berdiri menggerak-gerakkan badannya. Di
depannya jam weker masih berdetak-detak. Joko tetap menatapnya. Ia tersenyum.
Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing...... Weker berdering. Tepat jam lima.
Joko berdiri. “Kau
terlambat!! Sudah dari tadi aku bangun.”
Joko keluar kamar menuju
kamar mandi sambil bersiul-siul.
Sinaksak, Pebruari 1997
by: adrian
Baca cerpen lain juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar