KESALAHAN PEMIMPIN YANG SERING TAK
DISADARI
MAJU tidaknya suatu lembaga
atau organisasi banyak ditentukan oleh pimpinan. Sekalipun bawahan atau
karyawannya baik dan berkualitas, namun jika pemimpin tidak bisa menampilkan
performa yang baik, kinerja lembaga akan melambat. Ada banyak hal penyebab
karyawan merasa tidak nyaman bekerja. Hal yang sering tidak disadari adalah
sikap atasan atau pemimpin. Apa saja sikap yang dimaksud?
Pertama,
sikap tidak peduli.
Pemimpin yang memandang anak buahnya layaknya robot atau peranti dalam
mengenjot produktivitas tentu membuat karyawan tidak betah bekerja. Banyak
atasan yang hanya melimpahkan pekerjaan pada anak buah tanpa menjalin
komunikasi yang baik. Misalnya, memberi tugas atau jabatan kepada orang tanpa
menjelaskan apa tugasnya atau apa yang mau dikerjakan.
Kasus lain, karyawan yang
berperforma kerja baik dan berprestasi tidak diberikan apresiasi. Kerja keras
karyawan tidak dilihat. Pemimpin hanya mau melihat karyawan yang disukainya
saja. Hal ini membuat karyawan lain merasa tidak berharga dan bisa membuat
performa kinerja menjadi tidak maksimal.
Kedua,
menempatkan orang yang salah
dalam tugas atau posisi yang tidak tepat. Atasan yang
mempromosikan karyawan hanya karena menyukai karyawan tersebut atau hanya
mendengarkan bisikan orang dalam tanpa melihat prestasi dan kinerjanya tentu
membuat karyawan lain merasa dirugikan. Apalagi jika penempatan karyawan
melalui “jalan belakang”. Hal ini membuat karyawan lain tidak betah bekerja di
bawah atasan yang tidak “bersih”.
Lebih aneh lagi, sekalipun
ada banyak kesalahan atau pelanggaran dari karyawan yang dipromosikan atasan,
namun atasan seakan tidak melihatnya. Hal ini disebabkan karena relasinya bukan
berdasarkan relasi fungsional, melainkan like
dislike. Hal ini dapat membuat karyawan lain bersikap apatis. Jika ini
diteruskan, bukan tidak mungkin perkembangan perusahaan menjadi lamban.
Ketiga,
tidak bertanggung jawab.
Melimpahkan tugas tertentu pada bawahan biasa dilakukan atasan. Namun, apabila
terjadi kesalahan oleh bawahan lalu atasan marah-marah berkepanjangan dan
menyalahkan bawahan, hal ini kurang tepat. Apalagi bila ini terjadi akibat
komunikasi yang tidak jelas pada bawahan.
Idealnya, jika terjadi
kesalahan, atasan mampu memberikan solusi dan menegur bawahan agar tidak
terulang kesalahan yang sama. Bila permasalahan terkait dengan arus informasi
yang tidak jelas, atasan perlu berkomunikasi dengan efektif. Jika terjadi suatu
masalah dan atasan justru mencari kambing hitam, cara ini tidak tepat.
Keempat,
memberikan pekerjaan
berlebihan. Dikejar target atau ingin menepati tenggat waktu (deadline) memang membuat para atasan
memberikan pekerjaan tambahan atau menyuruh karyawan bekerja lebih cepat. Namun
jika dalam kondisi biasa atasan memberikan pekerjaan yang berlebihan atau di
luar batas kemampuan karyawan, hal ini bisa menjadi masalah. Beberapa karyawan
mengaku berpindah kerja karena beban kerja berlebihan.
Sebagai contoh, Ani (30),
karyawan perusahaan asing di Jakarta ini menuturkan, ia merasa tidak nyaman
bekerja di kantor barunya karena pada akhir pekan, baik Sabtu maupun Minggu, ia
masuk kerja. Padahal, pada hari biasa ia harus masuk kerja pukul 08.30 dan
sering pulang kerja setelah pukul 23.00. Ani sempat terpikir untuk mengundurkan
diri dari pekerjaannya.
Kelima,
tidak mengembangkan karyawan.
Setiap karyawan mempunyai daya kreasi, inovasi dan potensi terpendam
tersendiri. Jika atasan tidak mau menerima ide-ide dari karyawan, tidak
memberikan pelatihan atau memberikan kesempatan bagi karyawan untuk berkembang,
motivasi kerja karyawan pun bisa menurun. Ada kemungkinan karyawan akan
berpindah kerja untuk mencari tantangan baru.
Terkadang, ada juga pemimpin
yang sudah memberi kesempatan kepada bawahannya untuk pengembangan diri, namun ketika
kembali ke perusahaan hasil pengembangan tersebut tidak dimanfaatkan. Misalnya,
atasan menguliahkan bawahannya sekolah hukum, namun bukannya bergerak di bidang
hukum tetapi justru di bidang lain. Semua ini sering disebabkan karena atasan
hanya mau mengikuti bisikan dari penasehat pribadi yang sarat kepentingan, tapi
tidak disadari oleh pemimpin.
Keenam, “buta dan tuli” akan kritik dan saran.
Tak bisa dipungkiri ada banyak karyawan bekerja bukan semata-mata untuk mencari
gaji. Mereka biasanya memiliki hati untuk perkembangan perusahaan. Dan untuk
perkembangan itu, tak sedikit mereka sering memberikan kritik dan saran. Di
balik kritik dan saran itu terkandung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran untuk
perusahaan. Namun seringkali pemimpin tak peduli akan suara-suara tersebut,
apalagi bila suara-suara itu lahir dari orang-orang yang tidak disukainya.
Kebanyakan pemimpin hanya mau mendengarkan suara dari orang-orang yang
disukainya.
Sikap menutup mata dan
telinga terhadap kritik dan saran, sekalipun hal ini baik dan berguna bagi
perkembangan perusahaan dapat membuat semangat kerja karyawan menjadi lemah.
Karyawan yang mempunyai hati untuk perkembangan perusahaan akan melihat masa
depan perusahaan yang suram. Hal ini dapat memicu karyawan untuk pindah ke
perusahaan lain.
Ketujuh,
I am the boss. Ada pemimpin, khususnya untuk lembaga-lembaga
yang bersifat kekeluargaan atau hierarki seperti Gereja (keuskupan, paroki)
memiliki mental penguasa yang tak kebal terhadap noda cela. Terhadap kasus-kasus
yang terkait dengan atasan, misalnya korupsi atau skandal, karyawan seakan
tidak dapat berbuat banyak karena pemimpin akan memakan mantra agung, “I’m the boss!”. Jadi, bila pemimpinnya korupsi atau asyik bermesraan dengan wanita idaman, karyawan hanya mengambil sikap permisif.
Pemimpin yang mempunyai sikap atau mental seperti
ini jelas sangat menghambat perkembangan sebuah perusahaan. Segala aib dan
keburukan yang terkait dengan atasan, sekalipun berdampak ke perusahaan, akan
tetap terpelihara hingga muncul pemimpin lain yang benar-benar memiliki mental
yang berbeda.
DEMIKIANLAH tujuh kesalahan
seorang pemimpin yang sering kali tidak disadari. Kesadaran akan kelemahan diri
dapat menumbuhkan dalam diri kemauan untuk memperbaiki diri. Usaha perbaikan
diri bisa menunjang perkembangan perusahaan menjadi lebih baik.
Dari tujuh kesalahan ini
kita dapat bercermin diri. Adakah ketujuh kesalahan itu pada diri saya sebagai
seorang pemimpin? Adakah ketujuh kesalahan itu pada pimpinan dimana saya
berkarya? Bagaimana usaha untuk memperbaikinya?
by:
adrian, diolah dari KOMPAS, Rabu (20
Januari 2016), hlm 36
Baca
juga tulisan lain tentang “Pemimpin”:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar