Keprihatinan adalah ungkapan manusiawi. Setiap
orang tentu pernah mengalami atau merasakan prihatin. Keprihatian selalu lahir
dari situasi yang tidak baik atau keadaan yang rusak. Para nabi Perjanjian Lama
dipanggil Tuhan untuk menyuarakan keprihatinan Allah atas situasi bangsa Israel
yang tidak benar di mata Allah. Misalnya, penyimpangan hidup moral, sosial dan agama.
Keprihatinan merupakan ungkapan suara hati
yang tertekan. Orang yang masih memiliki suara hati akan cepat merasa prihatin
ketika melihat ketidakberesan situasi yang ada. Misalnya, ketika melihat
kelaparan di negeri seberang, orang yang memiliki suara hati akan segera
tersentuh hatinya. Berbeda dengan mereka yang tidak memiliki suara hati. Ketidakpedulian
merupakan wujudnya. Misalnya, sekalipun jutaan rakyat hidup menderita, para pejabat
tenang-tenang saja mencuri uang rakyat atas nama rakyat.
Keprihatinan memang bersifat individual. Sayalah
yang merasakan keprihatinan tersebut. Akan tetapi keprihatinan ini dapat
dijadikan sebagai keprihatinan bersama. Dengan berbagi maka orang lain pun
dapat merasakan keprihatinan saya. Inipun mengandaikan orang yang mendengar
keprihatinan saya masih memiliki hati nurani. Ada satu pengharapan agar
keprihatinan yang menjadi milik bersama dapat melahirkan gerak bersama untuk
satu perubahan.
Inilah yang melandasi tulisan ini yang terdiri dari tiga cerita. Sekalipun tidak berhubungan satu sama lain,
namun memiliki keterkaitan. Ada satu poin yang merangkum tiga cerita ini. Silahkan Anda merangkai dan menemukan kaitan ketiga cerita
ini.
BERAWAL DARI CERITAKU
Untuk memenuhi salah satu amanat sinode
(lihat MGP no. 307), dibentuklah Tim Pendamping OMK (TPO) yang beranggota 12
orang. Memang untuk kriteria seperti yang digambarkan dalam buku sinode adalah sulit. Karena itu, pilihan didasarkan pada KEMAUAN dan potensi yang
dimiliki tiap anggota. Namun belum ada tiga bulan keberadaan tim ini salah
seorang anggota tim mengundurkan diri. Alasan mundur adalah faktor kesibukan.
Namun, selang beberapa bulan
kemudian, mantan anggota TPO ini membentuk sebuah komunitas untuk karya
pastoral parokial. Spontan muncul pertanyaan, bukankah kesibukan yang
diungkap dalam surat pengunduran diri masih melekat pada dirinya. Koq masih bisa menyibukkan diri lagi
dengan komunitas baru. Apakah ketika di TPO terasa sibuk, sedangkan di
komunitas barunya itu tidak? Aneh.
Kebingungan semakin bertambah ketika
mendengar bahwa komunitas baru tersebut dikatakan sesuai dengan amanat buku sinode. Setelah
dicari-cari dalam buku sinode, tidak ditemukan pendasaran untuk komunitas ini. Aneh. Seperti
ada agenda terselubung. Lebih anehnya lagi Pastor Kepala Paroki tenang-tenang saja, sebagai ungkapan setuju.
CERITA ORANG BIMAS (DEPAG)
Ada pertemuan informal dengan orang
pebimas Departemen Agama (Depag) di pastoran Tiban. Tujuan pertemuan ini adalah
untuk mencari tahu peluang mendapatkan dana bantuan untuk kegiatan temu imam
Basepta (Bawah Sepuluh Tahun) Keuskupan Pangkalpinang di Paroki Ujung Beting
pada bulan Februari tahun depan. Ketika mendengar rencana kegiatan, wajah
pegawai Depag ini langsung ceria sumringah, namun segera redup saat mendengar kata
Ujung Beting.
“Kalau dibuat di Batam bisa saja, Romo.
Kebetulan program [/proyek] saya tahun 2013-2014 masih tinggal satu lagi. Jadi
bisa pakai saya punya. Tapi itu pun hanya untuk satu hari dan panitianya dari
saya.” Demikian penjelasannya.
Mendengar ceritanya ini, muncul memori kegiatan
OMK yang diadakan di TK Immanuel, Sei Bati pada 21 April 2012. Sepertinya
kegiatan tersebut bukan murni dari Gereja/Paroki, melainkan dari Depag atau
kerjasama Depag dan oknum Gereja/Paroki. Pada waktu itu, bahkan para pesertanya
pun mendapatkan “uang duduk”. Tentu menggoda.
Dari obrolan itu, akhirnya diketahui bahwa
orang-orang di Depag sering membuat program/proyek pembinaan rohani. Membuat
program/proyek itu sama artinya membuat proposal. Dan proposal itu identik
dengan uang. Tiap orang dapat membuat lebih dari satu program. Jika programnya
disetujui maka itu merupakan keuntungannya, karena selain mendapat uang dari
gaji tetapnya, ia juga menerima uang dari proyeknya. Ia bisa bermain sendiri
dengan tetap mendapat persetujuan dari pimpinan Gereja setempat (pastor paroki),
atau bekerja sama dengan “orang kepercayaan” di Gereja lokal. Karena itulah,
ada banyak orang selalu membina relasi baik dengan pastor paroki (istilahnya:
orang dekat).
Misalnya, A bekerja di Depag. A punya
kenalan B di Paroki X. Si B dekat dengan pastor paroki sehingga dengan mudah
buat proyek rohani. Soal uang B tinggal menghubungi A. Maka dengan mudah dana
cair. Di sinilah terjadi proses bagi-bagi duit.
BERAKHIR DI CERITA SAHABAT
Dalam sebuah obrolan, Rm. Yudhi mengungkapkan
beberapa keprihatinan atas Gereja. Ada dua cerita Rm. Yudhi yang menarik untuk
di-sharing-kan
di sini. Pertama, di
sebuah paroki (di wilayah Selatan keuskupan ini) ada umat rajin membuat
proposal untuk kegiatan gerejawi. Proposal diajukan ke Depag, karena sejalan
dengan kegiatannya. Namun sayang, proposal itu selalu ditolak, karena proposal
tersebut tidak ditandatangani oleh pastor paroki sebagai pejabat resmi Gereja.
Ketika mendengar cerita ini, saya langsung
berkata bahwa untung orang Depag yang menolak itu baik. Bagaimana jika orang
Depag itu sudah berkonspirasi dengan umat yang membuat proposal tadi (seperti
contoh di atas)? Selain itu perlu juga dipertanyakan kenapa ia tidak mau minta
tanda tangan pastor paroki? Apakah ia takut diketahui niat buruknya atau ia
tidak rela jatahnya berkurang karena harus berbagi dengan pastor paroki?
Kedua, di sebuah paroki lain lagi (masih di
wilayah yang sama) ada umat yang bekerja di Depag kerapkali membuat kegiatan
gerejawi. Semua kegiatan tersebut dia sendiri yang menanganinya. Mendengar
cerita tersebut, otak saya langsung berkata bahwa orang itu membuat dan
mendapat proyek yang banyak sehingga bisa melakukan banyak kegiatan gerejawi.
--o0o--
Demikianlah tiga buah cerita. Tentulah
dapat dikatakan bahwa ketika membuat proposal kegiatan gerejawi itu, dokumen
Gereja dan tujuan mulia dikemukakan sebagai pendasaran kegiatan tersebut. Tak
peduli soal kebenaran dokumen Gereja tersebut. Tak peduli juga soal kebenaran
tujuan mulia itu. Mungkin ada yang mengatakan bahwa saya anti kegiatan gerejawi.
TIDAK! Saya tidak menolak kegiatan-kegiatan gerejawi. Namun dari semua ini ada
satu pertanyaan mendasar saya:
APAKAH KEGIATAN-KEGIATAN GEREJAWI
ITU
DEMI PENGEMBANGAN GEREJA
ATAU
DEMI KEPENTINGAN PRIBADI?
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar