Ketika ditahbiskan, seorang imam
memiliki jabatan sebagai gembala. Umat adalah kawanan gembalaannya. Tentulah
sangat diharapkan agar seorang imam bisa menampilkan dirinya sebagai seorang
gembala yang baik, sebagaimana yang pernah diungkapkan Tuhan Yesus (lih. Yoh 10: 1 – 11) atau yang ditegaskan oleh Petrus
(lih. 1Ptr 5: 1 – 11).
Akan tetapi, tak bisa dipungkiri
bahwa tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Demikian pula seorang
gembala. Untuk menjadi gembala yang baik, sebagaimana yang diminta oleh Tuhan,
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada begitu banyak persoalan dan
perjuangan, baik itu menyangkut hal eksternal maupun internal diri gembala itu
sendiri.
Paus Fransiskus sendiri, pada
bulan Oktober 2014 lalu sudah menyatakan akan adanya gembala yang buruk, yang
hanya sibuk dengan kepentingan diri sendiri, menyangkut uang dan kekuasaan.
Sekalipun penuh dengan kelemahan dan kekurangan, bukan lantas berarti seorang
gembala menyerah begitu saja tanpa ada niat untuk perbaikan diri. Memang tidak
ada manusia yang sempurna, tapi setiap kita dipanggil kepada kesempurnaan.
Tuhan Yesus pernah bersabda, “… haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu
yang di sorga adalah sempurna.” (Mat 5: 48).
Adanya gambaran gembala yang
buruk inilah yang sering membuat domba memberontak. Kita dapat membagi
pemberontakan ini ke dalam dua kelompok. Pertama, pemberontakan
halus. Umat melakukan perlawanan secara diam. Tampil di permukaan seperti
tidak ada pergejolakan. Umat seakan mendengar apa yang dikatakan sang gembala,
namun dengan diam mengabaikannya. Perlahan-lahan umat enggan mengikuti kegiatan
menggereja, malas mengikuti ekaristi hari Minggu, dan menolak setiap kebijakan
sang gembala,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar