Rabu, 23 November 2022

KIAT ATASI ANAK REWEL

 

Tentu kita berharap supaya anak-anak kita hidup tenang, menurut dan tidak rewel. Ada orangtua yang merasa kaget ketika menghadapi anaknya yang rewel, seperti suka ngambek dan teriak-teriak saat keinginannya tak dituruti. Kekagetan ini bisa saja disebabkan karena pengalaman orangtua ketika masih kanak-kanak tidak seperti anaknya saat ini. Padahal pepatah mengatakan “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.” Karena itu, orangtua akan bertanya apa, dimana dan siapa yang salah?

Perlu disadari bahwa menjadi orangtua tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hingga saat ini belum ada pendidikan khusus untuk menjadi orangtua. Menjadi orangtua merupakan suatu panggilan hidup, dan untuk menjadi orangtua yang baik merupakan suatu proses yang panjang, bahkan tak berhenti.

Untuk menjadi orangtua, kita harus memperkaya diri dengan banyak pengetahuan cara mendidik serta melakukan pengasuhan. Pengetahuan ini bisa didapat melalui bahan bacaan, bisa juga melalui pengalaman-pengalaman orang lain. Intinya, harus ada sikap terbuka untuk menerima masukan.

Mendidik dan mengasuh anak itu terkait dengan pola asuh. Tentang pola asuh ini, masing-masing keluarga punya caranya tersendiri. Namun perlu juga diingat bahwa pola asuh ini tidak selamanya bersifat permanen, kecuali sudah terbukti sahih. Bagi keluarga yang belum menemukan pola asuh yang pas, sangat terbuka untuk mengubahnya.

Dalam menghadapi anak yang rewel, orangtua perlu memberikan batasan dan pengertian mengenai hal-hal yang bisa diberikan atau tidak, lengkap dengan alasannya. Anak dapat membentuk sistem regulasi diri jika memang diberikan kesempatan lebih banyak untuk dapat melakukan yang baik dan benar sehingga hal tersebut akan terbentuk secara sempurna sesuai usia. Hal praktis yang dapat dilakukan oleh orangtua adalah dengan membuat aturan secara konsisten dan diterapkan lengkap dengan konsekuensi yang logis (bukan hukuman)

Anak yang sudah mencapai usia 6 tahun memungkinkan untuk mendapatkan penjelasan dan pemahaman secara verbal dan setiap aturan yang diberikan sebaiknya diikuti dengan contoh konkret. Misalnya, jika ingin membuat aturan kapan waktunya membeli mainan, anak diberikan pemahaman bahwa mainan itu baru dapat dibeli setiap 3 bulan sekali di tanggal tertentu; jelaskan alasannya dan mengapa perlu dilakukan pengaturan pembelian mainan.

Bila perlu, ajak anak untuk mendiskusikan keinginannya disertai contoh cerita anak-anak yang terkait dengan permasalahan yang dihadapi sehingga anak akan lebih mudah dalam memahami. Selain itu, perlu dilakuan penguatan terhadap perilaku yang akan dibentuk dengan memberikan reward atau penghargaan berupa stiker atau poin ketika anak dapat melakukan sesuatu sesuai kesepakatan.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Selasa, 22 November 2022

RANGKAP JABATAN DAN KESERAKAHAN

 

Serakah atau keserakahan merupakan salah satu sifat buruk yang harus dihindari. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru terdapat 10 kali penyebutan kata ini, yaitu sekali dalam Injil (Mrk 7: 22), tujuh kali dalam surat Paulus (Rom 1: 29; Ef 4: 19; Ef 5: 3; Ef 5: 5; Kol 3: 5; 1Tim 3: 8 dan Tit 1: 7) dan dua kali dalam surat Petrus (2Ptr 2: 3 dan 2Ptr 2: 14). Semuanya menyerukan agar umat menghindari sifat serakah ini, karena orang yang serakah tidak akan mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah (Ef 5: 5).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “serakah” dipahami sebagai selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki. Orang yang memiliki sifat ini mempunyai perasaan tidak puas dengan apa yang sudah ada pada dirinya. Dia ingin lagi dan lagi, sekalipun ia sadar akan keterbatasan dirinya. Karena itu, kata “serakah” ini berpadanan dengan kata tamak atau rakus.

Dalam arti tertentu, kejatuhan manusia pertama, Adam dan Hawa, ke dalam dosa disebabkan karena sifat serakah mereka. Sekalipun sudah menikmati hidup bahagia di taman Eden, namun mereka tidak puas. Mereka ingin lebih. Pada titik inilah setan masuk dan menggoda. “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (Kej 3: 4 – 5). Manusia ingin lebih dari apa yang sudah ada, sehingga akhirnya ia menuruti godaan setan.

Keserakahan dapat terlihat dalam berbagai wujud. Perselingkuhan yang terjadi dalam dunia rumah tangga bisa dikatakan sebagai bentuk lain dari keserakahan, karena suami atau istri merasa tidak puas dengan apa yang sudah ada pada dirinya, yaitu pasangan hidupnya. Keserahakan juga dapat dilihat pada perilaku remaja yang melakukan hubungan seks sebelum nikah, karena tindakan itu hanya dikhususkan bagi mereka yang sudah resmi menjadi suami istri (makanya, hubungan seks = hubungan suami istri). Orang yang melakukan korupsi pun dapat dimasukkan ke dalam kategori serakah.

Masih banyak lagi bentuk konkret dari keserakahan. Yang akan dibahas di sini adalah soal rangkap jabatan. Ada banyak dalam kehidupan kita, baik itu dalam dunia sipil maupun dalam dunia Gereja, fenomena rangkap jabatan. Artinya, satu orang memegang beberapa jabatan. Menjadi persoalan, apakah rangkap jabatan termasuk kategori serakah?

Perlu disadari bahwa tidak semua yang rangkap jabatan itu adalah serakah. Akan tetapi, yang serakah itu pasti rangkap jabatan. Tidak ada orang yang tidak serakah hanya memiliki satu jabatan saja. Karena sifat tidak puas dengan apa yang sudah ada itu membuat orang berusaha untuk mendapatkan jabatan lain. Namun, orang yang rangkap jabatan belum bisa dikatakan sebagai orang serakah.

Senin, 21 November 2022

MENGENAL SEKILAS TENTANG SAKRAMEN TOBAT

 

Salah satu poin penting pada masa Tahun Suci Kerahiman adalah pertobatan. Umat diajak untuk bertobat, karena pertobatan merupakan sarana, yang darinya umat mendapatkan kerahiman Allah berupa pengampunan dosa. Dengan pengampunan dosa, kita memperoleh belas kasih Allah, sehingga kita berdamai kembali dengan Allah. Paus Benediktus XVI pernah berkata, “Tidak benar jika kita berpikir harus hidup sedemikian rupa sehingga kita tidak pernah membutuhkan pengampunan. Kita harus menerima kelemahan kita, tetapi terus berjalan, tidak menyerah tetapi bergerak maju dan bertobat menjadi baru kembali melalui Sakramen Pengampunan Dosa sebagai langkah awal, tumbuh dan menjadi dewasa dalam Tuhan oleh persekutuan kita dengan Dia.”

Hendaklah di tahun penuh rahmat ini umat benar-benar memanfaatkan pertobatan. Tobat ada karena ada dosa. Setiap manusia pastilah berdosa. Yohanes dalam suratnya yang pertama menulis, “Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.” (1Yoh 1: 8). Karena itu, St. Yohanes Maria Vianney berkata, “Setelah jatuh, segeralah bangkit kembali! Jangan biarkan dosa di dalam hatimu bahkan untuk sejenak!” Pastor dari Ars ini mengajak kita untuk menggunakan sarana yang ada, yaitu Sakramen Tobat. “Allah sangat menghargai pertobatan sehingga sekecil apa pun pertobatan di dunia, asalkan itu murni, menyebabkan Dia melupakan segala jenis dosa, bahkan setan pun akan diampuni semua dosanya, jika saja mereka memiliki penyesalan,” demikian kata St. Fransiskus de Sales.

“Pertobatan yang tulus adalah menghindari kesempatan untuk berbuat dosa,” ujar St. Bernardus Clairvaux. Dengan bertobat, kita diminta untuk tidak mengulangi dosa-dosa yang telah diakukan. Yang penting kita mau datang ke ruang pengakuan dengan rasa sesal dan niat untuk bertobat. Jangan suka menunda. Yohanes Maria Vianney menasehati, “Kita selalu menunda pertobatan kita lagi dan lagi sampai ajal tiba. Tapi siapa bilang bahwa kita masih akan memiliki waktu dan kekuatan untuk itu?” Karena itu, bertobatlah sekarang!

Mgr Ignatius Suharyo, dalam bukunya The Catholic Way (2009: 25), mengatakan ada tiga proses pertobatan. ketiga proses itu adalah [1] Pengakuan Pujian. Proses tobat diawali dengan menyadari dan mengalami kebaikan/anugerah Allah dalam hidup. Namun anugerah ini tidak ditanggapi dengan baik. Kita sering gagal dan jatuh. Pengakuan inilah yang diungkapkan dalam [2] Pengakuan Mengenai Hidup. Kita sadari dan akui kegagalan dan kejatuhan kita. Namun, sekalipun sering jatuh, kita tetap percaya bahwa kasih setia dan kerahiman Allah tanpa batas. Inilah yang dinyatakan dalam [3] Pengakuan Iman. Dengan demikian Sakramen Tobat pertama-tama membantu kita untuk mengalami kasih setia dan kerahiman Allah, bukan untuk menuduh diri kita.