Rabu, 11 Agustus 2021

BERIMAN ALA SADRAKH, MESAKH DAN ABEDNEGO

 


Banyak orang beragama, ketika ditanya apakah dirinya beriman, dengan tegas menjawab bahwa dirinya beriman. Sekalipun ada nuansa antara beragama dan beriman, selalu saja orang begitu yakin bahwa dirinya benar-benar mempunyai iman. Akan tetapi, jika ditelusuri dengan cermat terlihat jelas kalau konsep beriman itu masih didominasi dengan selera pribadi. Beriman di sini lebih pada sesuai dengan kriteria dan standar orang yang beriman, bukan menurut kehendak yang diimani.

Iman merupakan tanggapan pribadi atas sapaan Allah. Dengan beriman kita menyerahkan hidup kita seluruhnya ke dalam penyelenggaraan Allah. Sebagai umat-Nya kita diminta untuk taat dan berserah pada kehendak Allah, sekalipun kehendak-Nya itu bertentangan dengan keinginan diri. Ada banyak orang beriman kepada Allah ketika keinginannya terpenuhi. Sikap iman seperti ini seperti iman bersyarat; kita beriman dengan syarat keinginan kita terpenuhi.

Iman kepada Allah itu harus tanpa syarat. Inti iman ada pada kehendak Allah pada hidup kita, bukan pada kehendak pribadi kita. Karena itu, salah satu sikap iman adalah berserah diri. Hal ini terlihat dalam ungkapan iman Bunda Maria, “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.”

Ada contoh menarik untuk menggambarkan sikap iman tanpa syarat ini. Sikap iman itu dapat kita lihat pada kisah Tiga Pemuda: Sadrakh, Mesakh, Abednego. Mereka beriman kepada Allahnya. Ketika mereka menolak titah raja untuk menyangkal iman mereka dengan cara menyembah dewanya sang raja, mereka menghadapi ancaman hukuman mati. Akan tetapi, mereka tidak takut dan meninggalkan imannya.

Banyak orang, demi alasan keamanan, melakukan titah sang raja. Dengan kata lain, mereka meninggalkan imannya. Mereka takut, karena jika mereka tetap beriman pada Alllahnya, mereka akan mati. Mereka tahu pasti bahwa Allah tidak dapat menolong atau menyelamatkan mereka dari hukuman mati. Hanya mengikuti perintah raja saja yang bisa meluputkan mereka dari kematian. Hal ini berarti dewanya sang raja yang menyelamatkan.

Selasa, 10 Agustus 2021

PARADOKS KEBENARAN

 


Kebenaran adalah sesuatu yang paradoksal, selalu dirindukan bahkan diperjuangkan siapa pun, kapan dan dimana pun. Orang dapat mempertaruhkan segalanya asal menemukan kebenaran. Debat hukum di ruang pengadilan, entah dengan argumentasi yang rasional maupun bukan, semuanya bermuara ke upaya penemuan kebenaran.

Namun, ketika kebenaran tersingkap, apakah semua pihak menyukainya? Di situlah paradoksnya! Kebenaran menyembuhkan, juga melukai. Ia ibarat buah simalakama. Pihak yang yakin kebenaran akan menyembuhkan tak akan pantang mundur berupaya menemukannya.

Pihak yang takut bahwa kebenaran akan melukai akan berjuang dengan segala macam cara untuk mengurung kebenaran dalam ruang gelap, agar tersembunyi dan tidak tersingkap.

Aletheia

Ada hal yang menarik dari analisis semantik yang dilakukan Martin Heidegger tentang kebenaran. Ia menjelaskan, kebenaran dalam bahasa Yunani adalah aletheia – a (tidak) dan theia (tersembunyi). Kebenaran berarti tidak tersembunyi, apa adanya, tanpa embel-embel. Sesuatu dalam dirinya sebagaimana adanya (das Ding an sich).

Sesuatu itu benar kalau tampil apa adanya, tanpa pemalsuan, rekayasa, embel-embel yang malah menutup atau menyembunyikan kesejatian (autensitas) dari sesuatu itu. Sesuatu dalam kesejatiannya menjadi sesuatu yang objektif. Siapa pun akan melihat dan menemukannya sebagaimana dalam keadaannya yang sebenarnya.

Jumat, 06 Agustus 2021

TELAAH ATAS PENGHARAMAN BABI DALAM AL-QUR’AN


 

Selain dikenal sebagai agama yang mengkafir-kafirkan, islam juga biasa diidentikkan dengan agama yang mengharam-haramkan. Karena itu, dalam sebuah organisasi islam, misalnya seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), ada satu komisi yang bertugas mengurus masalah haram. Komisi ini biasa dijadikan rujukan bagi umat islam untuk bersikap, apakah sesuatu itu boleh atau tidak; haram atau tidak. Fatwa dan juga lebel halal dari komisi ini menjadi penentu bagi sebuah produk, mulai dari makanan hingga lokasi wisata. Jika dirinci, ada begitu banyak jenis fatwa atau label haram atau halal yang telah dikeluarkan oleh MUI. Misalnya, pengharaman mengucapkan selamat natal, pengharaman atas rawon setan dan tahu kuntilanak, pengharaman satu jenis permainan online, dan masih banyak lainnya. Pelebelan “wisata halal” pada salah satu destinasi wisata mengindikasikan adanya “wisata haram” bagi yang tak mendapatkan lebel tersebut.

Bagian ini akan membahas satu jenis pengharaman, yang terkadang sedikit menimbulkan “kontroversi” di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Jenis itu adalah babi. Memang publik sudah tahu kalau babi itu dilarang dalam islam, meski dalam praktek banyak juga umat islam yang mengkonsumsi babi. Pengharaman atau pelarangan atas babi sepertinya sudah final. Umat islam mendasarkan pada wahyu Allah dalam Al-Qur’an. Umat islam memahami larangan itu berasal dari perintah Allah sehingga harus diikuti. Pelanggaran atasnya berarti dosa, dan dosa berarti neraka. Tapi, benarkah Allah sungguh melarangnya?

Dasar Al-Qur’an atas pelarangan babi dapat ditemukan dalam 4 surah, 2 surah dalam kelompok surah Makkiyyah dan 2 lainnya dalam kelompok surah Madaniyyah. Lebih lanjut dapat diperhatikan dalam tebel berikut ini. Pada kutipan ayat-ayat Al-Qur’an ini, pelarangan itu tidak hanya ditujukan kepada babi saja. Ada beberapa jenis makanan lain yang diharamkan Allah, namun di sini pembahasan lebih fokus pada babi.