Senin, 07 September 2020

MENGIKUTI TELADAN RASUL PETRUS


Petrus adalah salah satu rasul Yesus yang terbilang istimewa. Banyak cerita tentang Yesus, yang terekam dalam Injil, selalu terselip nama Petrus. Selain dia, ada dua nama lain yang sering muncul dalam kisah hidup Yesus, yakni Yohanes dan Yakobus. Kisah panggilan Petrus, Yakobus dan Yohanes  sebagai rasul Yesus terekam dalam Lukas 5: 1 –11. Di awali dengan pengajaran Yesus kepada orang banyak di tepi danau Genezareth, lalu mujizat penangkapan ikan dan berakhir dengan panggilan. Ada yang menarik dari kisah tersebut, khususnya dalam sosok Petrus, yang dapat dijadikan teladan hidup manusia zaman kini.

Sebagaimana yang sudah diketahui umum, Petrus adalah seorang nelayan sejati. Orang tua dan kakek-kakeknya adalah nelayan. Sudah sejak kecil ia hidup di atas danau Genezareth itu. Tentulah ia sudah mengetahui seluk beluk danau tersebut. Dan sudah pasti juga ia sudah menguasai “ilmu” penangkapan ikan. Karena itu, soal urusan tangkap menangkap ikan, Petrus adalah ahlinya.

Akan tetapi, pada waktu itu Petrus tak menangkap apa-apa. Sudah semalaman ia mencari ikan, namun hasilnya nihil. Karena itulah, atas permintaan Yesus untuk menangkap ikan, reaksi Petrus adalah bingung. Kiranya kebingungan Petrus beralasan. Ada dua dasar yang membuat Petrus bingung. Pertama, dia ahli dalam urusan tangkap menangkap ikan, karena darah nelayan sudah mengalir dalam dirinya dari kakek-kakek dan ayahnya. Dia tahu bahwa menangkap ikan saat itu akan menjadi sia-sia karena dia sudah semalaman mencari ikan tapi tak seekorpun didapat. Kedua, Yesus bukan seorang nelayan. Jadi, sudah pasti Dia tidak tahu menahu soal perikanan. Maklumlah, Yesus berasal dari Nazareth, daerah pegunungan yang cukup jauh dari danau.

Permintaan Yesus ibarat mengajari ikan berenang. Namun Petrus tidak sombong dengan keahliannya. Mungkin juga, karena letih bekerja semalaman tanpa hasil, Petrus malas berdebat dengan Yesus. Dan untuk meyakinkan Yesus, Petrus hanya mengikuti saran-Nya. “Tapi, karena Engkau yang menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga,” demikian ungkap Petrus.

Minggu, 06 September 2020

JANGAN KALAH PADA KELEMAHAN

Ada sebagian manusia yang kerap  berlaku “tidak ramah” terhadap dirinya. Ketika melihat diri sendiri di depan cermin, ketika merenungkan kembali hidupnya, mereka merasa kecewa dengan apa yang mereka miliki. Mereka tidak puas dengan realita hidup mereka. Segudang kelemahan seakan terpapar di hadapan mereka.
Psikoanalis Maxwell Maltz dalam bukunya Psycho-Cybernetics menandaskan, “jangan pernah menyerah pada kelemahan-kelemahan Anda.” Kekuatan manusia sesungguhnya terletak pada penerimaannya terhadap kelemahan-kelemahannya dan berusaha bangkit menuju keberhasilan. “Sukses merupakan sebuah proses mengatasi kelemahan-kelemahan yang kita miliki, menembus padang gurun menuju padang hijau,” ujar Maltz.

Dengan berani menerima kelemahan-kelemahannya, seseorang telah menerima dirinya secara total. Bagaimanapun, manusia selalu punya kelemahan. Kelemahan seseorang berbeda dengan kelemahan orang lain. Tuhan tidak menciptakan manusia secara massal. Tuhan telah membuat setiap manusia menjadi individu yang unik.
Keunikan setiap manusia sebenarnya merupakan daya hidup yang positif. Tetapi, sebagian manusia telah merusak hidupnya dengan perasaan rendah diri karena keadaannya. Mereka telah membuat rintangan yang menghambat mereka menjadi pribadi yang bahagia. Sebagai insan yang unik, manusia tidak luput dari kelemahan. Bisa jadi kelemahan itu tampak pada penampilan fisik, bisa jadi pada kepribadian. Di manapun  letaknya, setiap manusia pasti punya kelemahan.
Namun, yang passti, setiap manusia memiliki kualitas positif tersendiri. “Jika kualitas itu masih merupakan harta terpendam, ambillah sekop dan tembilang. Galilah semua keluar. Perlihatkan semua kepada diri sendiri sehingga Anda bisa menghargainya dan menggunakannya sebagai kekuatan,” pesan Maltz.
Erich Fromm dalam bukunya “The Art of Loving” mengingatkan bahwa manusia dianugerahi pertimbangan akal. “Dia bertahan hidup karena menyadari dirinya sendiri, dia memiliki kesadaran akan dirinya sendiri, sesamananya, masa lalunya dan kemungkinan masa depannya.”
diambil dari tulisan 8 tahun lalu

Jumat, 04 September 2020

MENGKRITISI SURAH AL-MA’ARIJ AYAT 29 – 30

Al-Qur’an merupakan pusat spiritualitas islam. Umat islam menyakini Al-Qur’an langsung berasal dari Allah SWT. Ada dua versi pemaknaan dari kata “langsung” ini. Versi pertama memahami Al-Qur’an, sebagai sebuah kitab yang utuh diberikan langsung kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini didasarkan pada kisah turunnya wahyu pertama, saat Muhammad bersemedi di gua Hira. Saat itu suatu malaikat menampakkan diri kepada Muhammad dan memberi perintah singkat: Bacalah! Dari kisah ini orang mengartikan bahwa pada waktu itu sudah ada kitab, yang belakangan dikenal dengan nama Al-Qur’an, sehingga malaikat menyuruh Muhammad untuk membacanya.
Versi lain memahami bahwa wahyu Allah SWT diturunkan secara bertahap dalam kurun waktu 23 tahun. Ada dua lokasi besar turunnya wahyu, yaitu Mekkah dan Madinah (jaraknya kurang lebih 450 km). Makna “langsung” di sini Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada Muhammad, dan kemudian ditulis. Kumpulan tulisan wahyu Allah ini kemudian dikumpulkan, dan jadilah Al-Qur’an.
Keyakinan bahwa Al-Qur’an sungguh wahyu Allah diperkuat dengan pernyataan Allah sendiri, yang dapat dibaca dalam surah as-Sajdah: 2 dan surah az-Zumar: 1 – 2, 41. Jadi, ayat-ayat Al-Qur’an tidak hanya dinilai sebagai suci oleh umat islam, tetapi juga benar, karena Allah, yang mewahyukannya, adalah mahabenar. Karena itu, dalam surah al-Haqqah: 51 dikatakan bahwa “Al-Qur’an itu kebenaran yang meyakinkan.”