Kamis, 18 Juni 2020

SAATNYA MENYIMPAN AIR, BUKAN MEMBUANGNYA


Dewasa kini jamak ditemui fenomena kekeringan di saat musim kemarau dan kebanjiran di saat musin hujan. Kekeringan disebabkan kurangnya persediaan air di tanah. Sedangkan banjir disebabkan saluran air (got, kanal hingga sungai) tak mampu menampung debet air yang melimpah. Selain banjir, fenomena yang sering terjadi adalah becek, yang disebabkan karena air yang tergenang. Air tergenang bisa saja karena faktor kemampuan serap yang rendah.
Kurangnya persediaan air di tanah terjadi karena selama ini air yang turun dari atas langsung di arahkan ke got, yang akhirnya bermuara ke laut. Dengan kata lain, air hujan yang turun dibuang ke laut. Air yang masuk ke tanah sangat terbatas. Hal inilah yang membuat persediaan air di tanah sedikit. Karena itu, sudah saatnya mengubah kebiasaan untuk menyimpan air, bukan membuangnya. Tempat penyimpan yang baik adalah tanah itu sendiri. Ada dua cara penyimpanan air di tanah, yaitu sumur resapan dan biopori.
Sumur Resapan dan Biopori
Sumur Resapan (infiltration Well) adalah sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan/aliran permukaan agar dapat meresap ke alam tanah. Biopori  merupakan lubang vertikal ke dalam tanah yang berfungsi meningkatkan laju peresapan air hujan. Pembuatan lubang resapan biopori ke dalam tanah secara langsung akan memperluas bidang permukaan peresapan air, seluas permukaan dinding lubang.
Biopori atau sumur resapan merupakan teknik baru dalam memperbaiki lingkungan yang ada di sekitar kita. Membuat  biopori atau sumur resapan memang tidak serta merta mengatasi masalah krisis air tanah. Tetapi paling tidak, pembuatannya dapat lebih cepat mengalirkan air permukaan ke dalam tanah. Jadi, selain menambah pasokan air di dalam tanah, sumur ini juga bisa mengurangi banjir.

Senin, 15 Juni 2020

HUKUMAN MATI TAK BUAT ORANG JERA

Masalah hukuman mati sering mengundang pro kontra yang ramai dibicarakan di media-media dan forum-forum diskusi. Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati. Hukuman mati dalam undang-undang hanya dikenakan kepada terpidana kasus narkoba dan kasus kejahatan kemanusiaan, seperti teroris.
Mereka yang menentang hukuman mati mendasarkan alasannya pada aspek hak asasi manusia (HAM), sementara mereka yang mendukung diterapkannya hukuman mati didasarkan pada asalan efek jera. Mereka yang mendukung melihat bahwa dengan efek jera yang ditimbulkan oleh hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan, atau malah menghilangkannya.
Akan tetapi, haruskah pelakunya dihukum mati? Apakah efek jera hanya dengan cara hukuman mati?
Logika Sesat
Seorang mantan hakim yang pernah menjatuhkan hukuman mati mengungkapkan alasan sederhananya bahwa rakyat mendukung. Ia mengambil contoh, ketika terhadap kejahatan berat dijatuhi hukuman bebas, maka rakyat akan marah; namun ketika dijatuhi hukuman mati maka rakyat diam saja. Diamnya rakyat dinilai sebagai bentuk persetujuan pada putusan tersebut. Dapat juga dikatakan diamnya rakyat karena senang, sehingga menjatuhkan hukuman mati berarti menyenangkan rakyat.
Dalam pernyataan tersebut terdapat suatu kesesatan berpikir. Pertama, mantan hakim ini mengambil contoh hitam putih sehingga tidak memberi peluang pada warna lain. Ia hanya memberi putusan antara bebas dan hukuman mati, tanpa memberi kesempatan pada pilihan lain. Sehingga kalau tidak A, maka Z. Padahal antara A dan Z masih ada banyak pilihan. Antara putusan bebas dan hukuman mati, masih ada banyak hukuman lain, mulai dari ringan, agak ringan, agak berat, berat, sangat berat sampai pada hukuman seumur hidup.

Minggu, 14 Juni 2020

SIKAP GEREJA KATOLIK TERHADAP KEHIDUPAN BERAGAMA

Gereja katolik memiliki keyakinan bahwa semua bangsa merupakan satu masyarakat yang mempunyai satu asal dan satu tujuan akhir. Dalam satu masyarakat ini terdapat begitu banyak aneka perbedaan dalam ras, suku, bangsa, budaya dan juga agama. Terkait agama, Gereja katolik yakin bahwa sudah sejak jaman dahulu di antara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya-kekuatan gaib yang menuntut pengakuan umat manusia terhadap Kuasa Ilahi yang tertinggi, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah Allah.
Dalam keaneka-ragaman agama di dunia ini, bagaimana sikap Gereja Katolik? Dan bagaimana pula Gereja katolik menyikapinya dalam terang permintaan Yesus, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu” (Mat 28: 19 – 20)? Akankah permintaan Yesus ini menimbulkan gesekan dengan agama-agama lain?
Pada 11 Oktober 1962 hingga 8 Desember 1965 Gereja katolik mengadakan konsili, yang kemudian dikenal dengan Konsili Vatikan II. Konsili ini dihadiri sekitar 2540 uskup sedunia, 29 pengamat dari 17 Gereja lain, dan para undangan yang bukan katolik. Setidak-tidaknya ada 16 dokumen yang dihasilkan dalam sidang konsili itu. Ada 2 dokumen penting terkait sikap Gereja katolik terhadap kehidupan beragama. Dua dokumen tersebut adalah Nostra Aetate (NA) dan Dignitatis Humanae (DH). Dokumen Nostra Aetate membahas lebih pada sikap Gereja katolik terhadap agama-agama lain, sedangkan Dignitatis Humanae berbicara tentang kebebasan beragama.