Rabu, 31 Januari 2018

RAPI DI LUAR, KACAU DI DALAM

Suatu hari Sang Guru bercerita, "Seorang bapak mempunyai dua orang putra. Penampilan kedua putranya ini berbeda satu sama lainnya. Putra pertama selalu tampil keren, rapi dan bersih. Kalau keluar dari kamar, bagian bawah bajunya selalu diisi dalam celana. Isi dalam, istilahnya. Tak ketinggalan aroma minyak wangi selalu mengiringi kemana pun dia pergi.
Penampilannya ini bertolak belakang dengan adiknya. Setiap kali keluar dari kamar tak pernah berpenampilan rapi dan bersih. Rambut acak-acakan seperti tak tersentuh sisir. Pakaian itu-itu saja, lusuh dan terlihat kusam. Penampilan ini bukan hanya saat di rumah, tetapi juga ketika ke luar rumah. Jika abangnya selalu diiringi dengan aroma minya wangi, dia diiringi dengan aroma bau badan.
Suatu hari, ketika mereka dua tidak ada di rumah, bapaknya masuk ke kamar mereka masing-masing. Dia buka kamar anaknya yang pertama. Ketika pintu terbuka lebar, sang ayah kaget bukan kepalang menyaksikan situasi kamar anaknya yang pertama itu. Kamar itu bak kapal pecah; sangat berantakan. Kertas, buku, pakaian kotor, puntung rokok dan abu rokok serta perkakas lainnya berserakan di lantai, di atas kasur dan meja kerjanya. Warna dinding, yang semulanya putih, kini terlihat seperti abu-abu.
Ranjang tak tertata rapi. Selimut tidak dilipat dan seprei tak dirapikan. Perlahan dia mendekati lemari pakaian. Segera dia buka pintu lemari. Tiba-tiba saja jatuh setumpuk pakaian. Dia tak tahu apakah itu pakaian kotor atau bersih. Ternyata kondisi dalam lemari tak jauh beda dengan kamar: sangat berantakan. Buru-buru dia masukkan lagi pakaian itu ke dalam lemari.
Sang ayah segera meninggalkan kamar putranya itu, dan berjalan menuju kamar anaknya yang kedua. Sejenak di depan pintu dia berpikir, “Yang penampilan rapi saja sudah begini, bagaimana yang penampilan kacau. Pasti lebih parah.” Tanpa menunggu lama, takut putranya keburu pulang, dia membuka pintu kamar itu.
Ketika pintu terbuka lebar, sang ayah kaget bukan kepalang menyaksikan situasi kamar anaknya yang kedua itu. Kondisi kamar itu bukan sekedar bersih, tetapi juga tertata rapi. Tidak ada sampah berserakkan di lantai. Buku-buku tertata di rak buku dan sebagian di atas meja. Warna dinding masih seperti warna semula; di dinding tertempel gambar hiasan membuat pemandangan kamar jadi indah. Tempat tidurnya pun terlihat rapi.
Cukup lama sang ayah berdiri termangu kagum melihat situasi kamar anaknya yang kedua itu. Kemudian di berjalan menuju lemari pakaian. Perlahan dia buka pintu lemari itu. Sontak aroma wangi menyebar dari dalam ruang lemari. Pakaian tertata rapi berdasarkan jenisnya meski sebagian besar tidak tersentuh setrika. Sang ayah sungguh terkagum-kagum dibuatnya.
Tanpa menunggu lama, segera sang ayah keluar dari kamar. Dia tak habis pikir melihat fenomena anaknya."
Pertanyaan muncul: dari dua anak tersebut, siapakah yang lebih berkenan di hati ayahnya.
Koba, 29 Agustus 2017
by: adrian

Senin, 29 Januari 2018

CONTOH PERNIKAHAN TIDAK SAH

Joni, yang katolik, menikah dengan Siti, yang islam. Karena keteledoran pastor, mereka diberkati saja tanpa ada surat dispensasi ordinaris wilayah. Setelah 5 tahun hidup bersama, Siti pergi dengan pria lain. Joni mengajukan gugatan ke Tribunal Gereja. Setelah diselidiki berkas kanonik, ternyata tidak ada surat dispensasi nikah beda agama. Hal ini membuat pernikahan mereka selama ini tidak sah. Karena itu, Tribunal bisa memutuskan pembatalan sehingga Joni bisa menikah lagi. Jadi, Joni menikah lagi bukan karena Siti selingkuh, tapi karena perkawinan mereka tidak sah sebelum pemberkatan.
Bagaimana setelah hidup bersama selama 25 tahun, Joni baru mengetahui bahwa perkawinannya dengan Siti tidak sah? Padahal dia sangat mencintai Siti, demikian pula sebaliknya. Keluarga mereka hidup rukun dan harmonis.
Jika terjadi seperti itu, Joni tinggal mengajukan permohonan, baik ke pastor paroki atau ke Tribunal untuk mengesahkan pernikahannya. Hal ini dikenal dengan istilah konvalidasi. Nanti pihak otoritas Gereja akan mengeluarkan surat dispensasi nikah beda agama. Dengan keluarnya surat tersebut, maka pernikahan Joni dan Siti otomatis sah. Jadi tidak perlu diadakan pemberkatan ulang; namun bisa juga diadakan dalam bentuk pembaharuan janji nikah.
Jika dalam perjalanan waktu Siti dibaptis dan Joni belum mengetahui bahwa pernikahannya tidak sah, karena tidak ada dispensasi nikah beda agama, maka pernikahan mereka otomatis sah dan sakramen. Jadi, tak perlu lagi surat dispensasi nikah beda agama.

by: adrian