Sabtu, 08 Juli 2017

UJARAN KEBENCIAN VS CERAMAH KEAGAMAAN

Sejak kasus Ahok, persoalan tentang ujaran kebencian menjadi topik hangat. Terakhir korbannya Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi. Memang kasus tersebut kemudian oleh pihak kepolisian dihentikan. Namun penghentian itu bukan lantas berarti masalahnya selesai. Tentulah pihak pelapor dan mereka yang membenci Jokowi akan menilai bahwa kepolisian berada di bawah tekanan presiden.
Benarkah penghentian itu karena sosok presiden? Jika mencermati permasalahan laporan Muhammad Hidayat, dimana kata yang dipersoalkan adalah ndeso, sama sekali tidak ditemukan adanya unsur ujaran kebencian atau penghinaan. Pernyataan Kaesang sama sekali bukan bertujuan menghina atau merendahkan martabat orang desa. Kata itu sama seperti kata kampungan, yang ditujukan kepada orang yang berpikiran kolot, sempit dan picik. Orang yang berpikiran demikian dapat menghambat perkembangan, baik itu diri sendiri maupun umum. Kata ”kampungan” sama sekali tidak merendahkan martabat orang kampung, karena tidak semua orang kampung itu kampungan.
Kata ndeso atau kampungan bukanlah kata baru dalam khasana bahasa Indonesia. Tapi, mengapa sekarang orang sangat mudah tersinggung dengan kata tersebut? Atau kenapa umumnya sekarang kita mudah sekali merasa tersinggung? Kenapa Muhammad Hidayat melaporkan Kaesang hanya lantaran kata ndeso tapi tak melaporkan begitu banyak orang yang meneriakkan kata kafir? Akarnya adalah kebencian. Rasa benci itu ditujukan pada sosok Jokowi. Kebencian pada seseorang membuat kita tidak bisa melihat hal baik dan positip pada orang lain; yang dilihat adalah keburukan. Itulah yang terjadi pada putra bungsu Jokowi. Sasaran sebenarnya adalah Jokowi, namun batu loncatannya adalah putranya.

Kamis, 06 Juli 2017

DAPATKAH ALLAH SALAH ATAU KELIRU

Bagi orang yang suka akan ilmu alam tentu sudah tak asing lagi dengan teori geosentris dan teori heliosentris. Sekarang ini dunia mengakui kebenaran teori heliosentris. Teori ini telah menggantikan teori sebelumnya, yaitu teori geosentris. Namun, selama ini dunia hanya tahu bahwa permasalahan teori heliosentris hanya melibatkan Gereja Katolik saja. Seolah-olah konflik seputar teori ini hanya terjadi antara Gereja Katolik dan dunia Ilmu Pengetahuan yang diwakili oleh Galileo Galilei.
Memang sejarah mengungkapkan ada pertentangan antara Gereja Katolik dan Galileo Galilei. Akar persoalannya adalah pernyataan Galileo yang mendukung pendapat Nicolas Copernikus tentang matahari sebagai pusat tata surya (dikenal dengan teori heliosentris). Pendapat Copernikus ini bertentangan dengan pendapat umum yang sudah bertahan puluhan abad bahwa yang menjadi pusatnya adalah bumi. Pendapat umum ini dikenal dengan teori geosentris.
Gereja Katolik berada di balik pendapat umum tersebut. Ia mendukung teori geosentris. Dasar dukungannya ada pada Kitab Suci, yaitu Kitab Pengkhotbah 1: 5 yang berbunyi “Matahari terbit, matahari terbenam, lalu  terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali.” Membaca teks ini sangat jelas ada proses pergerakan matahari. Yang tetap adalah bumi, sedangkan matahari bergerak.
Geosentris: Al-Quran vs Alkitab
Sebenarnya bukan cuma kitab suci orang Yahudi dan Kristen saja yang mendukung pendapat teori geosentris. Al-Quran juga ternyata memuat teori ini. Jika kitab suci orang Yahudi dan Kristen hanya sekali saja memuat konsep geosentris (Kitab Pengkhotbah 1: 5), konsep ini tersebar di beberapa surah dalam Al-Quran. Malah ada surah begitu jelas mengatakan bahwa matahari bergerak pada orbitnya. Berikut ini petikan-petikan surah yang menerangkan teori geosentris (kami menggunakan Al-Quran terbitan Departemen Agama RI tahun 2006).

Selasa, 04 Juli 2017

PAUS FRANSISKUS: MENGASIHI BERARTI TURUT MENDERITA

Karya belas kasihan bukan untuk meringankan hati nurani seseorang, tetapi merupakan tindakan untuk turut menderita dengan orang-orang yang menderita. Berbelas kasihan kepada orang lain tidak hanya berarti berbagi rasa sakit namun juga mengambil resiko untuk mereka. Demikian ungkap Paus Fransiskus saat misa pagi di Domanus Sanctae Marthae pada 5 Juni.
“Pikirkan di sini di Roma, di tengah perang. Beberapa orang, dimulai dengan Pius XII, mengambil resiko untuk menyembunyikan orang Yahudi sehingga mereka tidak akan terbunuh, sehingga mereka tidak akan dideportasi. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka! Itu karena karya belas kasih untuk menyelamatkan nyawa orang-orang,” papar Paus Fransiskus.
Homili Paus Fransiskus terfokus pada bacaan pertama hari itu, dari Kitab Tobit, yang menceritakan bagaimana penulisnya, salah satu dari orang Israel di pengasingan, berduka cita atas kematian seorang kerabat yang dibunuh dan menguburkannya, sebuah tindakan yang dilarang pada saat itu.
Sebuah karya belas kasihan, seperti yang dilakukan Tobit, bukan hanya “perbuatan baik sehingga saya bisa menjadi lebih tenang, sehingga saya tidak ada beban,” tetapi ini adalah cara untuk “bersimpati dengan rasa sakit orang lain,” jelas Paus Fransiskus. “Berbagi dan bersimpati tidak bisa dipisahkan. Seseorang yang tahu bagaimana berbagi dan bersimpati dengan masalah orang lain adalah belas kasihan,” tambah Paus Fransiskus.
Tobit tidak hanya mempertaruhkan nyawanya dalam melanggar hukum, dia juga mengalami cemoohan oleh rekan-rekannya sesama orang Israel. Untuk melakukan pekerjaan balas kasihan, Paus Fransiskus menjelaskan, “berarti selalu memanggung ketidaknyamanan.”
“Itu membuat kita tidak nyaman,” tegas Paus Fransiskus. “Tapi Tuhan menanggung ketidaknyamanan bagi kita: Dia dipaku di kayu salib untuk memberi kita selamat.”
sumber: UCAN Indonesia