Rabu, 21 Desember 2016

Sinterklas atau Santa Claus???

Bagi kebanyakan orang di kota-kota besar, kemeriahan natal belum lengkap tanpa kehadiran kakek tua gendut berpakaian merah. Hampir di setiap mall selalu hadir sosok manusia ini. Hitung-hitung sebagai salah satu daya tarik pembeli.
Sekalipun Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa haram mengenakan atribut agama lain, tetap saja ada umat islam yang ikut terlibat di dalamnya. Fatwa MUI menyatakan kalau ada umat islam mengenakan atribut natal, atau terlibat dalam dialog dengan kakek tua gendut berbaju merah, ia telah berdosa. Akan tetapi, tak sedikit juga umat islam, khususnya anak-anak duduk di pangkuan kakek tua itu sebelum menerima hadiah. Memang banyak juga yang menolak karena semuanya itu najis bagi imannya.
Ada dua istilah untuk menyebut kakek tua gendut berbaju merah itu. Ada yang menyebutnya Sinterklas, ada pula yang memanggilnya Santa Klaus. Mana yang benar? Tulisan berikut mencoba memberikan jawaban. Lebih lanjut silahkan baca di sini: Budak Bangka: Sinterklas atau Santa Claus???

Senin, 19 Desember 2016

ROMO VS UMAT: SATU SATU


Suatu malam diadakan pertemuan panitia natal paroki. Setelah semua hadir, diadakanlah pemilihan ketua. Setiap peserta selalu menolak ketika dirinya ditunjuk sebagai ketua. Semua pada menghindar. Suasana terlihat tegang melihat situasi demikian, Romo Aleks berkomentar.

Rm. Aleks   : Baiklah, kalau tak ada yang mau, nanti saya panggil orang muslim untuk jadi ketuanya.

Spontan umat tertawa, dan suasana menjadi cair.

Keesokan pagi harinya, saat misa harian Romo Agus berhalangan karena sakit. Sudah dua hari terakhir keadaannya tidak sehat. Akan tetapi, tidak ada jadwal pembatalan misa. Karena jam misanya sudah lewat, seorang bapak memberanikan diri untuk menggedor jendela kamar para romo, untuk bertanya siapa yang memimpin misa.

Bapak          : (kamar Rm. Agus) Pagi, Romo. Siapa yang misa?

Tidak ada jawaban. Karena itu, ia pindah ke kamar sebelah.

Bapak          : (kamar Rm. Aleks) Pagi, Romo. Siapa yang misa?

Rm.Aleks     : Saya misa nanti sore di KBG.

Bapak          : (kamar Rm. Aries) Pagi, Romo. Siapa yang misa?

Rm. Aries    : Saya misa arwah nanti malam.

Bapak          : Baiklah Romo. Kalau tak ada yang pimpin misa, saya akan panggil pak haji untuk mimpin misa.
Koba, 16 Desember 2016
by: adrian
Baca juga humor lainnya:

Jumat, 16 Desember 2016

PENISTAAN AGAMA: DILEMA PARA HAKIM

Selasa, 13 Desember 2016, kasus penistaan agama, dengan tersangka BasukiTjahaya Purnama, mulai memasuki babak baru. Hari ini proses hukum mulai dijalankan, diawali dengan pembacaan nota keberatan oleh Basuki atau Ahok dan panasehat hukumnya.
Sepintas kita melihat bahwa proses sidang ini tak ubahnya dengan sidang-sidang perkara hukum lainnya. Akan tetapi, jika dicermati dengan jernih dengan budi dan hati, tentulah kita dapat melihat keanehan. Sidang kasus penistaan agama ini seakan membuka borok-borok atau carut-marutnya agama islam; bukankah ini sebuah bentuk penistaan?
Sayangnya, MUI tidak menyadari. Ataukah MUI tidak berpikir? Maksud hati ingin menghukum Ahok, namun dalam prosesnya malah membuka aib sendiri. Maksud hati ingin membela islam, yang terjadi justru menghina islam.
Di samping itu persidangan kasus penistaan agama ini menyisahkan dilema pada para hakim. Pertama-tama hakim, baik yang muslim maupun non muslim, berada di bawah tekanan. Yang menekan mereka adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI).
Bagaimana mungkin hakim kelak memutuskan Ahok tak bersalah dan bebas, sementara MUI sudah memutuskan dengan fatwa bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama dan ulama? Kita dapat berkaca pada kasus yang menimpa Arswendo Atmowiloto dengan tabloid Monitor-nya.
Jika hakimnya non muslim, dan memutuskan bebas, pastilah GNPF MUI mengatakan bahwa hakim membela sesama non muslim. Bukan tidak mungkin ada tuduhan bahwa ini merupakan konspirasi untuk menjatuhkan islam. Atau ada juga yang mengatakan bahwa hakimnya bodoh, tak tahu hukum islam. Bukan tidak mungkin juga hakim ini akan dikatakan terlibat penistaan agama. Perkiraan lebih parah adalah demo yang berujung pada kerusuhan. Oleh karena itu, jalan amannya adalah menyatakan Ahok bersalah supaya umat islam senang dan puas. Bandingkan dengan kasus Arswendo.
Jika hakimnya seorang muslim, dan memutuskan bebas, pastilah GNPF MUI mengatakan bahwa hakimnya sudah disuap. Mungkin juga orang akan mencari dalil untuk menyerang hakim tersebut. Misalnya dengan mengatas-namakan prinsip “Pembela dari lawanku adalah musuhku.” Bukan tidak mungkin kelompok islam radikal melihat darahnya halal, karena bukannya membela agama (sebagaimana yang diamanatkan Al Quran), taapi malah justru membela musuh islam. Oleh karena itu, jalan amannya adalah menyatakan Ahok bersalah supaya umat islam senang dan puas.
Untuk dapat memutuskan bebas pun, para hakim, baik yang muslim maupun non muslim, dihadapkan pada kebingungan. Akar kebingungan itu ada pada fatwa MUI. Sebagaimana yang diketahui, pada 11 Oktober lalu MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama dan ulama. Agak terasa ganjil jika keputusan hakim bertentangan dengan keputusan MUI, karena urusan agama memang domainnya MUI. Di mata umat islam, khususnya GNPF MUI dan MUI sendiri, proses persidangan hanya tinggal menunggu ketok palu hakim bahwa Ahok bersalah dan dipenjarakan sehingga syahwat kebencian mereka terlampiaskan.
Inilah gambaran di balik proses persidangan penistaan agama dengan tersangkanya Ahok. Jika para ulama dapat berpikir luas dan jernih, sebenarnya proses sidang ini sungguh memalukan umat islam. Karena itu, dibutuhkan keberanian dan kebijaksanaan para ulama, yang tergabung dalam MUI, untuk menarik fatwanya. Biarkanlah para hakim bekerja dalam sikap bebas, tanpa tekanan. Bila perlu proses persidangan ini dihentikan.
Menjadi persoalan, apakah MUI berani dan bijaksana?
Puri Sadhana, 13 Desember 2016
by: adrian
Baca juga tulisan lain: