Rabu, 26 Oktober 2016

INI ALASAN MUALAF BERBOHONG

Masalah pindah keyakinan atau agama itu adalah hal yang biasa. Hal itu merupakan hak azasi setiap manusia. Tidak ada yang melarang. Akan tetapi, ada hukuman bagi orang yang murtad. Bagaimana jika orang islam yang murtad. Selain hukuman di masa depan, hukuman langsung pun dapat dikenakan. Yang terkenal adalah dibunuh. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad, “Siapa saja yang mengganti agamanya, maka hendaklah kalian bunuh dia.” (HR al-Bukhari, no. 6922). Jadi, umat islam lainnya diperbolehkan membunuh umat islam yang telah murtad. Selain itu, tempat bagi orang murtad adalah neraka (QS Al-Baqarah: 217).
Akan tetapi, kita tidak akan mengusik persoalan itu. Masalah membunuh orang murtad adalah keyakinan orang, yang tidak akan dicampuri. Kita hanya melihat fenomena mualaf, orang kafir yang menjadi islam.
Jika kita perhatikan di media sosial, baik media cetak maupun media elektronik, adalah suatu kebiasaan menjelang Hari Raya Idul Fitri beberapa media menampilkan sharing beberapa tokoh mualaf. Ada tokoh mualaf yang bersharing dari hati, namun tak sedikit juga yang menyampaikan kebohongan. Sekedar menyebut nama:
(a) Ustadz Bangun Samudra, yang konon mengaku sebagai lulusan terbaik Vatikan.
(b) Steven Indra Wibowo, yang mengaku mantan frater anak petinggi PGI, yang berhasil mengislamkan 126 orang
(c) Hj Irene, yang mengaku mantan biarawati

Orang Kudus 25 Oktober: St. Yohanes Stone

SANTO YOHANES STONE, MARTIR
Yohanes Stone adalah seorang biarawan Agustinian di Canterbury, Inggris. Saat Raja Henry VII mengangkat dirinya menjadi pemimpin Gereja di Inggris pada tahun 1538, banyak biarawan yang memberikan pengakuan terhadap Raja Henry sebagai kepala Gereja di Inggris, termasuk para biarawan Agustinian. Akan tetapi, Yohanes menolak mengakui Raja Henry sebagai kepala Gereja di Inggris sehingga ia ditahan.
Pada tahun 1539 Yohanes diadili dan dijatuhi hukuman mati karena tuduhan pengkhianatan. Yohanes Stone meninggal dunia pada 27 Desember 1539 di Dane John, Inggris. Pada 9 Desember 1886 ia dibeatifikasi oleh Paus Leo XIII, dan pada 25 Oktober 1970 dikanonisasi oleh Paus Paulus VI.
Baca juga orang kudus hari ini:

Senin, 24 Oktober 2016

MENGENALKAN EMOSI, ANAK BISA BEREMPATI

Setiap anak perlu diajari mengenali emosi sejak dini. Psikolog Saskia Rosita Pangabean mengatakan bahwa dengan mengenali emosi sendiri, anak pun bisa lebih berempati pada orang lain. “Kalau anak tahu saat dia sedih itu karena begini, begitu, rasanya begini, jadi dia mengerti emosi orang lain juga saat sedih. Jadi, bisa berempati,” ujar Rosita.
Senang, sedih, marah dan takut merupakan empat emosi dasar yang harus dikenali anak sejak dini. Pengenalan macam-macam emosi bisa dimulai pada usia 2 – 3 tahun. Ini menjadi tugas orangtua di rumah. Orangtua harus mengenalkan empat emosi dasar tersebut kepada anak. Kemudian, seiring bertambahnya usia, ajari anak mengidentifikasi emosi dan bagaimana cara mengatasinya atau mengungkapkannya secara positip.
Ketika marah, anak harus sadar bahwa ia sedang marah. Anak juga harus tahu alasan ia marah dan bagaimana cara mengatasinya. Dengan begitu, anak bisa mengontrol emosinya tanpa menyakiti perasaan orang lain. “Kalau anak enggak bisa ngenalin emosinya, dia bisa tantrum atau marah-marah sama ibunya, teman-temannya,” jelas Rosita.
Demikian pula dengan emosi lainnya. Ketika anak pada emosi tersebut, orangtua harus mengokumunikasikannya dengan anak, kenapa emosi itu muncul dan jelaskan juga baik buruknya. Orangtua juga hendaknya dapat membuat pembedaan emosi pada anaknya.
Sayangnya, pengenalan emosi pada anak belum menjadi kebiasaan banyak orangtua. Padahal, pengenalan emosi sangat penting. Menurut Rosita, setidaknya anak-anak sudah menguasai empat emosi dasar sebelum masuk usia sekolah. Dengan mengenal emosi, anak bisa bersosialisasi dengan baik kepada teman-temannya di sekolah.
Anak akan memiliki kecerdasan emosional yang baik, bisa berempati, lebih peka dan memiliki kepedulian. Jadi, anak jangan hanya diberikan kecerdasan intelektual saja, tetapi juga kecerdasan emosional.
sumber: Kompas Health
Baca juga tulisan lain:
Membantu Pertumbuhan Moralitas Anak