Senin, 10 Juli 2017

DAMPAK BURUK PERNIKAHAN DINI

Hukum Indonesia menetapkan usia perkawinan orang Indonesia adalah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk perempuan (UU no. 1 Thn 1974, tentang Perkawinan, pasal 7 ayat 1). Dan pada pasal 47 ayat 1 undang-undang yang sama ditegaskan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun, berada dalam kekuasaan orangtuanya. Dengan kata lain, sekalipun sudah berusia 17 tahun, seorang perempuan harus mendapatkan izin dari orangtuanya untuk bisa menikah.
Banyak elemen masyarakat melihat bahwa usia perkawinan yang ada dalam produk hukum Indonesia tersebut terlalu rendah. Karena itu, pernah diadakan judicial review atas pasal tersebut dengan harapan usia perkawinan dinaikkan. Namun, permohonan mereka akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga ketentuan dalam undang-undang tersebut tetap berlaku.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa perkawinan bukan hanya urusan hukum saja. Undang-undang hanya mengatur sah tidaknya sebuah pernikahan, karena pernikahan yang tidak sah bisa dikenai sanksi hukum atas pelanggaran perzinahan atau juga kumpul kebo. Perkawinan pertama-tama demi kebahagiaan suami istri, serta anak-anak yang lahir di dalamnya. Salah satu unsur penting dalam kebahagiaan itu adalah kesehatan serta kerukunan.
Memang batas usia menikah dalam undang-undang perkawinan Indonesia terbilang sangat rendah, tapi bukan lantas berarti sangat dianjurkan orang Indonesia untuk menikah di usia muda. Ada banyak penelitian yang membuktikan bahwa pernikahan di usia muda berdampak pada penderitaan. Tulisan berikut ini memberikan gambaran akibat buruk dari perkawinan dini. Sudah bisa dipastikan bahwa tulisan ini mau mengajak kaum muda untuk mau menunda niat menikah hingga usia yang sudah matang (sekitar 25 tahun). Orangtua juga harus dilibatkan, sebab, sebagaimana bunyi pasal 47 undang-undang perkawinan, orangtua punya hak untuk menentukan anaknya bisa menikah atau tidak. Karena itu, hendaknya para orangtua berusaha menghindari putra-putrinya dari pernikahan usia muda.
Lebih lanjut mengenai tulisan ini silahkan baca di sini: Budak Bangka: Akibat Nikah DiniLengkapi juga informasi tentang hal ini dengan membaca tulisan ini: Pernikahan Dini Memicu KDRT

Sabtu, 08 Juli 2017

UJARAN KEBENCIAN VS CERAMAH KEAGAMAAN

Sejak kasus Ahok, persoalan tentang ujaran kebencian menjadi topik hangat. Terakhir korbannya Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi. Memang kasus tersebut kemudian oleh pihak kepolisian dihentikan. Namun penghentian itu bukan lantas berarti masalahnya selesai. Tentulah pihak pelapor dan mereka yang membenci Jokowi akan menilai bahwa kepolisian berada di bawah tekanan presiden.
Benarkah penghentian itu karena sosok presiden? Jika mencermati permasalahan laporan Muhammad Hidayat, dimana kata yang dipersoalkan adalah ndeso, sama sekali tidak ditemukan adanya unsur ujaran kebencian atau penghinaan. Pernyataan Kaesang sama sekali bukan bertujuan menghina atau merendahkan martabat orang desa. Kata itu sama seperti kata kampungan, yang ditujukan kepada orang yang berpikiran kolot, sempit dan picik. Orang yang berpikiran demikian dapat menghambat perkembangan, baik itu diri sendiri maupun umum. Kata ”kampungan” sama sekali tidak merendahkan martabat orang kampung, karena tidak semua orang kampung itu kampungan.
Kata ndeso atau kampungan bukanlah kata baru dalam khasana bahasa Indonesia. Tapi, mengapa sekarang orang sangat mudah tersinggung dengan kata tersebut? Atau kenapa umumnya sekarang kita mudah sekali merasa tersinggung? Kenapa Muhammad Hidayat melaporkan Kaesang hanya lantaran kata ndeso tapi tak melaporkan begitu banyak orang yang meneriakkan kata kafir? Akarnya adalah kebencian. Rasa benci itu ditujukan pada sosok Jokowi. Kebencian pada seseorang membuat kita tidak bisa melihat hal baik dan positip pada orang lain; yang dilihat adalah keburukan. Itulah yang terjadi pada putra bungsu Jokowi. Sasaran sebenarnya adalah Jokowi, namun batu loncatannya adalah putranya.