Selasa, 09 Mei 2017

PENODAAN AGAMA: DILEMA PARA HAKIM

Selasa, 13 Desember 2016, kasus penodaan agama, dengan tersangka Basuki Tjahaya Purnama, mulai memasuki babak baru. Hari itu proses hukum mulai dijalankan, diawali dengan pembacaan nota keberatan oleh Basuki atau Ahok dan panasehat hukumnya.
Sepintas kita melihat bahwa proses sidang ini tak ubahnya dengan sidang-sidang perkara hukum lainnya. Akan tetapi, jika dicermati dengan budi dan hati yang jernih, tentulah kita dapat melihat keanehan. Sidang kasus penodaan agama ini seakan membuka borok-borok atau carut-marutnya agama islam; bukankah ini sebuah bentuk penistaan?
Sayangnya, MUI tidak menyadari. Ataukah MUI tidak berpikir? Maksud hati ingin menghukum Ahok, namun dalam prosesnya malah membuka aib sendiri. Maksud hati ingin membela islam, yang terjadi justru menghina islam.
Di samping itu persidangan kasus penodaan agama ini menyisahkan dilema pada para hakim. Pertama-tama hakim, baik yang muslim maupun non muslim, berada di bawah tekanan. Yang menekan mereka adalah fatwa atau pendapat keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI).
Bagaimana mungkin hakim kelak memutuskan Ahok tak bersalah dan bebas, sementara MUI sudah memutuskan dengan fatwa bahwa Ahok telah melakukan penodaan agama dan ulama? Kita dapat berkaca pada kasus yang menimpa Arswendo Atmowiloto dengan tabloid Monitor-nya.
Jika hakimnya non muslim, dan memutuskan bebas, pastilah GNPF MUI mengatakan bahwa hakim membela sesama non muslim. Bukan tidak mungkin ada tuduhan bahwa ini merupakan konspirasi untuk menjatuhkan islam. Atau ada juga yang mengatakan bahwa hakimnya bodoh, tak tahu hukum islam. Bukan tidak mungkin juga hakim ini akan dikatakan terlibat penodaan agama. Perkiraan lebih parah adalah demo yang berujung pada kerusuhan. Oleh karena itu, jalan amannya adalah menyatakan Ahok bersalah supaya umat islam senang dan puas. Bandingkan dengan kasus Arswendo.

Senin, 08 Mei 2017

PAUS FRANSISKUS: PEMBANGUNAN HARUS CAKUP FISIK DAN SPIRITUAL MANUSIA

Paus Fransiskus mengatakan bahwa pendekatan katolik terhadap pembangunan harus bertujuan untuk membantu orang mencapai kesejahteraan secara fisik dan spiritual dan mendorong tanggung jawab individual dan hubungan komunitas. Pembangunan “manusia seutuhnya” mengakui bahwa menjadi manusia berarti berada dalam suatu hubungan, yang inklusif bukan eksklusif, yang mengangkat martabat seseorang dari segala macam bentuk eksploitasi dan berjuang untuk kemerdekaan, ungkap Paus dalam konferensi di Vatikan pada 4 April untuk menandai perayaan 50 tahun eksiklikal Populorum Progression dari Beato Paulus VI.
Pembangunan yang integral atau holistik, lanjut Paus Fransiskus, menyertakan semua orang menjadi satu keluarga manusia, menyatukan pribadi-pribadi ke dalam komunitas, serta menyatukan dimensi individu dan komunal dari kehidupan serta menyatukan fisik dan spiritual, demikian laporan Catholic News Service.

Jumat, 05 Mei 2017

PENODAAN AGAMA: HABIB RIZIEQ VS AHOK

Di penghujung tahun 2016 lalu, media disibukkan dengan berita penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok, atau Basuki Tjahaya Purnama. Hal ini terkait dengan pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu pada bulan September 2016, yang oleh ulama Indonesia, atau MUI, dinilai telah menistakan agama islam. Tak tanggung-tanggung, MUI memfatwa Ahok telah melakukan penistaan terhadap agama dan ulama. Buah dari fatwa ini adalah lahirnya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI). Gerakan ini senantiasa memobilisasi massa untuk melakukan aksi demo membela agama. Setidaknya sudah ada dua kali aksi bela islam.
Membela agama ini adalah merupakan satu panggilan bagi umat islam, karena sudah diamanatkan oleh Allah dalam Al Quran. Ini dapat ditemukan dan dibaca dalam surah Muhammad ayat 7, surah al Hajj ayat 40 dan surah al Hadid ayat 25. Karena merupakan kewajiban, maka Buya Hamka pernah berkata, “Jika diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan.” Jadi, jika agama islam sudah dihina, umat islam wajib membelanya. Agama islam di sini termasuk juga Al Quran, Hadits dan Nabi Muhammad. Tidak ada batasan pelakunya; siapa saja yang telah melakukan penodaan agama islam harus dilawan.
Dengan dasar pemikiran inilah maka pernyataan Ahok yang dinilai telah melakukan penodaan agama membangkitkan semangat umat islam untuk membela agamanya. Karena itu, tak heran jika aksi bela islam jilid 2 berhasil mengumpulkan massa sekitar 1 juta umat islam. Pernyataan Ahok, dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, dianggap telah menodakan Al Quran. Ahok menyinggung surah al Maidah ayat 51.
“Dibohongi pakai surah al maidah ayat 51, macam-macam itu.” Demikian sepenggal pernyataan Ahok yang menyulut kontroversial. Dari pernyataan itu, MUI seakan menafsirkan bahwa Ahok telah menyatakan bahwa surah Al Maidah berbohong atau surah Al maidah ayat 51 itu adalah suatu kebohongan. Di samping itu, MUI menilai Ahok telah melecehkan para ulama, karena menganggap ulama berbohong ketika menyampaikan ajaran surah Al Maidah ayat 51.
Fatwa MUI kepada Ahok ini bukannya tanpa meninggalkan tanda tanya besar. Banyak orang mempertanyakan dasarnya. Ada juga yang menyayangkan fatwa itu, karena terkesan MUI gegabah atau telah dipolitisasi. Denny Siregar pernah menulis pada akun facebook-nya, “Tidakkah kalian sadar bahwa agama kalian hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik mereka yang menamakan dirinya ULAMA?”
Satu keanehan fatwa MUI ini ketika kita membandingkan pernyataan Ahok dengan pernyataan Habib Rizieq, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), dalam salah satu ceramahnya. Ceramah tersebut diupload di Youtube pada 7 November 2016; setelah kasus penodaan agama oleh Ahok meledak. Video ceramah tersebut dapat dilihat di sini. Dapat dikatakan bahwa pernyataan kedua orang ini pada hakekatnya sama, hanya berbeda dalam bentuk kalimat. Yang satu menggunakan kalimat pasif, yang lain kalimat aktif. Berikut ini kita paparkan kalimatnya.
Ahok: “Dibohongi pakai surah al maidah ayat 51, macam-macam itu.”
Habib: “Dia nipu umat pakai ayat Quran. Dia nipu umat pakai hadis nabi.”