Jumat, 02 Desember 2016

PENISTAAN AGAMA: ANEH TAPI NYATA


Setelah mengadakan sidang dan musyawarah antara ulama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada 11 Oktober 2016, mengeluarkan fatwa terkait dengan pernyataan Basuki Tjahaya Purnama, atau biasa disapa Ahok, terhadap Al Quran surah Al Maidah ayat 51. Dalam fatwa itu MUI menyatakan bahwa Ahok telah melakukan (1) penghinaan terhadap Al Quran, dan atau (2) penghinaan terhadap ulama. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa Ahok telah menghina islam.
Pernyataan Ahok, yang kemudian menimbulkan gelombang aksi unjuk rasa bela islam, terjadi pada saat kunjungan dinasnya ke Kabupaten Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Di sela-sela pidatonya Ahok berkata, “…. Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat Al Maidah 51, macem-macem itu…”
Ada orang yang menyayangkan sikap tergesa MUI dalam mengeluarkan fatwa tersebut. Hamka Haq, anggota DPR dari PDI Perjuangan, menilai seharusnya sebelum mengeluarkan fatwa itu MUI mendengarkan terlebih dahulu keterangan Ahok. Karena menurut Hamka, tidak ada unsur penistaan agama yang dilakukan Ahok saat menyebut surat Al Maidah 51. Penilaian Hamka ini sejalan dengan penilaian Nusron Wahid, yang mengatakan bahwa tidak ada kata-kata Ahok yang menistakan Al Quran.
Fatwa MUI ini tentulah menjadi senjata bagi sekelompok umat islam untuk menjalani kepentingannya. Maka, setelah keluar fatwa itu muncullah gerakan untuk mengawal fatwa MUI. Gerakan ini dimotori oleh Front Pembela Islam. Dalam setiap aksinya, FPI selalu menyatakan bahwa gerakan ini merupakan wujud konkret membela agama islam. Soal membela agama (islam) ini sudah diamanatkan Allah dalam Al Quran.
Oleh karena itu, ada banyak umat islam turun ke jalanan ketika ada komando untuk melaksanakan aksi membela islam. Misalnya seperti aksi damai pada 4 November dan dilanjutkan dengan aksi super damai pada 2 Desember. Aksi ini bukan hanya dilakukan oleh umat islam di Jakarta saja, melainkan juga dari luar kota Jakarta. Ada banyak umat islam dari luar DKI Jakarta datang ke Jakarta untuk membela islam.
Akan tetapi, tidak sedikit juga umat islam yang selalu datang ke Rumah Lembang, markas tim pemenangan pasangan Ahok – Jarot. Tidak ada raut kebencian pada wajah mereka ketika bertemu Ahok. Mereka malah cerah ceriah, bahkan berfoto ria dengan Ahok, yang oleh MUI difatwa melakukan penghinaan terhadap islam. Mereka datang untuk memberikan dukungan terhadap pasangan Ahok – Jarot.
Jadi, dalam kasus penistaan agama ini ada yang aneh, dan keanehan ini sangat nyata. Di satu sisi Ahok divonis menista agama sehingga banyak umat islam, sebagai bentuk membela agama sebagaimana diamanatkan Al Quran, membenci, mencela, menghojat bahkan berusaha menjatuhkan Ahok dari pertarungan pilkada DKI, tapi di sisi lain banyak juga umat islam, yang seakan tak terpengaruh dengan fatwa MUI, mencintai dan mendukung Ahok. Beberapa umat non muslim bertanya, “Ada apa dengan fatwa MUI? Koq ada yang begitu antusias mengawalnya, tapi ada pula yang menganggapnya angin lalu.” Sudah saatnya MUI berefleksi diri.
Koba, 1 Desember 2016
by: adrian
Baca juga tulisan lain:

Tinjauan Buku Perang Suci

Sekitar pertengahan November lalu, sebuah yayasan Vatikan yang menangani korban peperangan dan pertikaian memberikan laporan tahunannya. Salah satu butir laporan itu adalah bahwa gerakan islam ekstremis mengancam kebebasan beragama di beberapa belahan dunia. Kelompok ini akan siap melakukan aksi “genosida”, melenyapkan komunitas agama lain. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan timbulnya gelombang pengungsian.
Fenomena ini seakan kembali menegaskan gambaran teroris yang selalu dilekatkan dengan islam. Memang banyak umat islam selalu mengatakan bahwa ketika orang mengidentikkan islam dengan teroris, orang-orang ini dicap sebagai islam phobia. Sementara itu, tidak ada tindakan untuk meyakinkan orang non muslim untuk tidak perlu takut dengan islam.
Kekerasan dengan mengatas-namakan agama, yang akhir-akhir ini diidentikkan dengan islam, menjadi keprihatinan tersendiri bagi Karen Armstrong. Berangkat dari keprihatinan tersebut, Armstrong menulis 3 buku, salah satunya berjudul: Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World.
Tulisan berikut ini mencoba mengulas dan mengkritisi buku yang ditulis oleh Karen Armstrong ini. Lebih lanjut mengenai ulasannya, silahkan baca di sini: Budak Bangka: Tinjauan Buku Perang Suci

Kamis, 01 Desember 2016

AWAM DAN IMAM DALAM KERANGKA KAUL KEMISKINAN

Liburan November 2016 lalu, saya berkesempatan mengunjungi sahabat lama saya. Dulu kami pernah satu seminari menengah dan kembali bertemu di seminari tinggi yang sama. Akan tetapi, jalan panggilan hidup kami berbeda. Ia memilih menjadi awam, sedangkan saya lanjut menjadi imam.
Saat ini dia bekerja di pemerintahan daerah, di salah satu daerah di Flores sebagai PNS. Posisi jabatannya di pemda terbilang lumayan penting, karena dia tidak hanya bermodalkan ijasah S-1 filsafat, melainkan S-2 manajemen aset, yang diperolehnya di UGM Yogyakarta.
Tiga hari saya tinggal bersama dengannya, ngobrol dan jalan-jalan di daerahnya. Selama itu saya sungguh kagum dengan penampilan sahabat saya ini. Sekalipun tidak mengucapkan kaul/janji kemiskinan seperti para imam, biarawan/biarawati, gaya hidupnya sangat sederhana. Kontras dengan segelintir imam, yang juga pernah hidup bersamanya di seminari tinggi.
Padahal dia tidak terikat dengan kaul dan janji kemiskinan. Gajinya sekitar tiga kali (bahkan empat) uang saku saya. Itu belum termasuk tunjangan dan lainnya. Tapi motor tunggangannya hanyalah Yamaha Jupiter MX King 150 cc, sebuah motor bebek. Harganya berada dalam kisaran 18 – 20 juta. Kontras dengan beberapa imam yang mempunyai motor pribadi dengan harga di atas 50 juta.
Belum lagi soal HP-nya. Selama tinggal bersamanya, tidak pernah saya melihatnya memegang HP lain selain Nokia N70, jenis nokia yang diproduksi tahun 2005. Ini berarti teman saya ini hanya mempunyai 1 HP. Dengan gajinya sebulan, ditambah belum punya beban tanggungan, sebenarnya dia pantas dan layak memiliki HP sekelas Samsung Galaxy dengan harga kisaran 2 – 4 juta. Kepada saya dia hanya mengatakan bahwa dia merasa belum merasa butuh memiliki barang-barang itu, di samping dia belum bisa melepas Nokia N70-nya.
Sikapnya ini sungguh sangat berbeda dengan beberapa rekan imam, yang juga pernah hidup bersamanya di seminari tinggi. Sangat sulit menemukan imam yang hanya memiliki satu HP. Minimal seorang imam mempunyai dua HP. Itu pun harganya jauh di atas uang sakunya.
Di kehidupan awam, khususnya pemerintahan, pegawai yang hidupnya tidak sesuai dengan pendapatannya, patut dicurigai. Contoh konkret adalah Gayus HP Tambunan. Kekayaan yang dimilikinya tidak sebanding dengan gaji yang diterimanya. Karenanya, pantas jika dia terjerat dengan kasus korupsi.
Penampilan sahabat saya ini sungguh-sungguh tamparan bagi saya, dan juga para imam. Dia tidak mengucapkan kaul/janji kemiskinan, tapi menghayati hidup sederhana. Sementara para imam, sekalipun mengucapkan kaul/janji kemiskinan (bahkan setiap tahun selalu diperbaharui), justru bergelimang harta kekayaan.
Semoga sosok sahabat saya ini dapat menjadi inspirasi bagi saya, dan juga para imam, dalam menghayati kaul/janji kemiskinan.
Koba, 26 November 2016
by: adrian
Baca juga tulisan terkait: